“Rokok terus! Kopi terus!” Sambil menyiram bunga Hani melirik pada lelaki yang kini tengah duduk di teras samping sambil terus terbatuk.
“Iya besok dikurangi, Sayang!”“Bilangnya setiap hari mau ngurangin tapi nyatanya setiap hari habis dua bungkus,” sindir Hani.Arif hanya tersenyum sambil mengerlingkan mata pada Hani. Sudah menjadi kebiasaan jika ia batuk, maka istrinya pasti akan terus menyindirnya.Hani yang melihat tingkah suaminya hanya mendengkus kesal, di usianya yang lebih dari 45 tahun Arif masih saja kuat merokok. Sebenarnya tak apa jika badan lelaki itu selalu sehat tapi pada kenyataannya Arif sering sekali menderita batuk yang membuat Hani sangat geram karena susah dinasihati.“Udah tahu batuk begitu, ngerokok terus!” Hani masih terus mengomel meski tahu itu hanya dianggap angin oleh Arif.“Jangan ngomel terus, mama, nanti cantiknya ilang.” Danish yang baru saja keluar langsung mengecup lembut pipi Hani.“Gimana enggak marah, papamu itu susahHani terdiam mengamati kerlap kerlip lampu jalan yang kini dilewatinya. Semenjak berangkat beberapa saat yang lalu, jantungnya terus berdebar tak karuan memikirkan tentang pertemuan keluarga yang akan dilakukan nanti. Saat ini Hani dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju sebuah restoran untuk memenuhi undangan Amel dan keluarganya. Meski hanya makan malam biasa namun Hani merasa ini pertemuan tak biasa. Arif menggandeng Hani menelusuri lorong yang dihiasi banyak lampu cantik berwarna-warni memasuki restoran bertema outdoor dengan banyak kolam di areanya. “Itu mereka di sana, Pa, ma.” Danish menunjuk ke sebuah ruangan privat yang dibatasi dengan kaca. Amel dan Danish sengaja memilih ruangan itu agar mereka bisa nyaman mengobrol. Keduanya juga tahu pertemuan ini pasti akan dijadikan ajang reuni oleh orang tua mereka. Hani terkesiap saat pandangan matanya menangkap sosok lelaki berbadan tegap yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat
“Rokok terus! Kopi terus!” Sambil menyiram bunga Hani melirik pada lelaki yang kini tengah duduk di teras samping sambil terus terbatuk.“Iya besok dikurangi, Sayang!”“Bilangnya setiap hari mau ngurangin tapi nyatanya setiap hari habis dua bungkus,” sindir Hani.Arif hanya tersenyum sambil mengerlingkan mata pada Hani. Sudah menjadi kebiasaan jika ia batuk, maka istrinya pasti akan terus menyindirnya.Hani yang melihat tingkah suaminya hanya mendengkus kesal, di usianya yang lebih dari 45 tahun Arif masih saja kuat merokok. Sebenarnya tak apa jika badan lelaki itu selalu sehat tapi pada kenyataannya Arif sering sekali menderita batuk yang membuat Hani sangat geram karena susah dinasihati.“Udah tahu batuk begitu, ngerokok terus!” Hani masih terus mengomel meski tahu itu hanya dianggap angin oleh Arif.“Jangan ngomel terus, mama, nanti cantiknya ilang.” Danish yang baru saja keluar langsung mengecup lembut pipi Hani.“Gimana enggak marah, papamu itu susah
“Sayang, aku besok pergi ke luar kota dua hari kamu mau ikut?” tanya Arif sambil menikmati sarapannya.“Em .... mungkin enggak. Besok Danish ujian jadi aku harus standby buat dia.”“Tapi kamu enggak apa-apa ‘kan aku tinggal? Soalnya ini penting banget dan gak bisa diwakilkan.”“Iya, Mas, aku baik-baik aja. Paling kamu yang sebentar-sebentar telepon aku bilang kangen.” Hani mengerlingkan matanya.“Aku memang selalu kangen kamu.” Arif menjentikkan jarinya hingga berbentuk hatiSeperti biasa, obrolan hangat selalu tercipta setiap pagi di meja makan. Hani yang sudah menemukan kembali semangat hidupnya, kini sudah beraktivitas penuh menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.“Sayang, ayo sarapan!” Sambil menata makanan di meja, Hani memanggil Danish agar cepat turun.“Jangan terlalu capek, Nak. Kalo repot, kamu bisa langganan catering untuk sarapan atau kami bisa makan roti setiap hari.” Bu Rohmah yang baru sa
Tak ada yang spesial pada hari-hari Hani saat ini. Rumah mewah, makanan lezat serta uang yang ia miliki sudah tak berarti lagi. Wanita itu seakan kehilangan setengah jiwanya semenjak dinyatakan tak bisa hamil untuk selamanya.“Sayang, aku mau nongkrong. Ikut, yuk!” ajak Arif yang langsung bergelendot manja pada Hani yang kini duduk ranjang.“Aku lagi enggak pengen kemana-mana, Mas,” jawab Hani lirih.“Jangan begini terus, yakinlah semua akan baik-baik saja. Aku sayang kamu dan selamanya akan seperti itu. Aku bisa menerima masa lalumu jadi aku pasti bisa menerima keadaanmu sekarang. Aku dan kamu dulu memang pendosa jadi kita harus terima jika tuhan memberi karma.”Mendengar kata karma membuat air mata Hani perlahan luruh. Ya, dia kini memang tengah mendapatkan karma. Tapi jujur saja ia belum siap menanggung semuanya. Ketakutan jika Arif memilih menikah lagi terus saja terngiang di kepalanya.“Tapi seharusnya kamu tak perlu ikut menanggung karmaku, Mas! Biar aku saja yang menanggungnya.
“Kamu sudah sadar, Sayang? Jangan seperti ini lagi, aku takut.”Arif terus meracau sembari menggenggam erat tangan Hani dan berkali-kali mengecupnya. Ia sangat bahagia karena istrinya akhirnya membuka mata. Meski keadaannya masih sangat lemah, tapi bagi Arif hal itu sudah cukup membuatnya tenang.“Danish mana?” lirih Hani dengan suara yang hampir tak terdengar.“Seperti biasa, dia selalu menanyakanmu. Cepatlah sembuh, kami merindukanmu.”“Maafkan aku, maaf karena tak bisa menjaga diri.” Suara Hani terdengar parau.“Sttt ... jangan berpikir macam-macam. Aku hampir gila melihatmu begini.”“Bagaimana keadaan anak kita?”“Mereka—“Lidah Arif mendadal kelu, sebelum Hani dinyatakan koma, dokter telah memberitahu jika bayi dalam kandungan Hani tidak bisa diselamatkan. Bukan hanya itu, dokter juga terpaksa mengangkat rahim Hani karena luka akibat benturan keras dan ditakutkan bisa terkena infeksi jika tak segera di angkat.“Jawab, Mas!” Hani membentak meski suaranya masih terdengar lemah.“Me
“Maaf, aku hanya mengecek. Tadi perawat bilang kalo Hani menunjukkan pergerakan dan aku di suruh masuk karena mereka pikir aku suaminya,” bohong Rahman.“Hani sadar?” tanya Arif antusias.Rahman menggeleng.“Terus?”“Mungkin dia kecewa karena bukan kamu yang masuk, Maaf.” Rahman menunduk, dadanya sedikit bergetar karena takut alasannya terlihat mengada-ngada.Tanpa pikir panjang, Arif bergegas masuk. Ia sudah tak sabar untuk menemui istrinya berharap Hani bisa segera membuka mata seperti apa yang baru saja dikatakan Rahman.“Kamu sadar, Sayang?” tanya Arif yang sudah berdiri disamping Hani.Raut wajah Arif berubah kecewa saat mendapati wanita yang begitu dicintainya masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Istrinya masih dalam posisi yang sama dan matanya tetap terpejam.“Maaf, Sayang. Tadi aku nganterin Danish dulu. Danish berharap kamu segera pulang. Anak itu akan susah tidur kalo kamu tak ada di rumah.”“Jangan siksa aku seperti ini, Say