“Selamat bekerja, semoga betah, ya!”
Hani tersenyum menyambut pelukan seorang wanita berambut pirang yang baru saja membatunya untuk agar bisa bekerja di sebuah toko roti langganannya. Wanita itu adalah salah satu seniornya di lokalisasi yang kini telah berhasil keluar dan berhasil membangun sebuah keluarga yang bahagia. Kini giliran Hani yang sedang berjuang. Meski sedikit terlambat, tapi ia tetap bersyukur Tuhan memberinya kesempatan dan membuka matanya meski dengan cara yang sangat menyakitkan. Tak ingin mengecewakan, Hani berusaha bekerja sungguh-sungguh meski ia tahu gaji yang dapatkan hanya cukup untuk makan dan membayar kontrakan rumah. Berbeda dengan pekerjaannya dulu yang dalam sekali bayaran bisa untuk membeli sebuah sepeda motor. “Bekerja keraslah, Hani! Perut kamu butuh makan,” batinnya. Awal merantau ke kota, Hani juga bekerja menjadi pelayan cafe. Dari situlah awal mula ia mengenal dunia hitam yang sempat mengubah hidupnya. Ia yang saat itu sangat membutuhkan uang untuk menebus sertifkat rumah yang digadaikan ayahnya, tergiur dengan bayaran yang di dapatkan teman kerjanya yang lebih dulu berprofesi sebagai wanita panggilan. Hingga suatu saat ia berhasil mencoba dan mendapatkan bayaran fantastis dari seorang lelaki yang pertama memakai jasanya. Tangan Hani begitu gemetar saat melihat ratusan lembar uang merah yang baru saja ia terima. Seumur-umur ia tak pernah bermimpi memegang uang sebanyak itu bahkan memilikinya. Mulai saat itu Hani memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai pelayan dan menekuni dunia yang bisa membantunya membayar hutang lebih dari seratus juta hanya dengan tiga bulan bekerja. Tapi saat ini semua itu hanya kenangan, Hani memutuskan untuk kembali ke tempat asalnya yaitu sebagai pelayan toko, sebuah pekerjaan yang pas bagi wanita yang tak pernah mengenyam pendidikan sekolah lanjutan. “Hani, sedang apa kamu di sini?” Hani terperanjat melihat lelaki yang sebenarnya tak ingin ia temui selamanya. “Selamat datang, Pak, ada yang bisa saya bantu?” Hani berusaha profesional sebagai pekerja. “Jawab, Hani! Atau aku akan membuat keributan di sini,” ancam Rahman yang kebetulan mampir untuk mengambil pesanan Nara. “Saya kerja, Pak!” “Kerja? Untuk apa? Bukankah uang kamu ...” Rahman begitu tak mengerti dengan keadaan wanita yang tak lain adalah mantan istri kontraknya. Ia tak habis pikir apakah uang yang ia berikan pada Hani sudah habis sampai ia rela bekerja sebagai pelayan padahal nominalnya lebih dari cukup untuk menganggur selama beberapa tahun. “Jangan tanyakan itu, semuanya sudah habis.” “Sebenarnya berapa banyak kebutuhanmu? Apa hutang bapakmu sebanyak itu?” “Tolong berhenti mengurusi hidupku, kerja sama kita sudah selesai. Biarkan aku hidup dengan caraku.” “Tidak, datanglah ke apartemen tempat tinggalmu dulu, aku tunggu di sana. Bagaimanapun juga aku berhutang budi padamu, dan akan aku harus memastikan kamu baik-baik saja.” “Terserah! Tak perlu menunggu karena aku tak akan pernah datang.” Hani memilih pergi saat sepasang mata memperhatikan obrolan mereka. Ia tak mau nantinya ditegur karena terlalu banyak berbicara tak penting dengan seorang pelanggan. “Kenal Pak Rahman?” tanya teman wanita yang baru dikenalnya. “Kenal,” jawab Hani singkat. “Kelihatannya akrab banget.” “Memang, dia mantan pelangganku.” “Pe-pelanggan?” ujar wanita bernama Ica itu tergagap. Hani tak mau ambil pusing, daripada menutupi lebih baik ia berkata sebenarnya jika dirinya memang mantan wanita malam yang sedang berusaha bertobat. Hal itu ia lakukan agar temannya bisa memilih untuk tetap dekat atau menjauhinya. Hani tak mau orang-orang yang dekat dengannya dipandang sama buruknya dengan dirinya. Tepat jam empat sore, Hani keluar dari tempat kerja dan memutuskan untuk langsung pulang ke rumah kontrakan yang berada tak jauh dari toko tempat kerjanya. Baru saja beberapa langkah meninggalkan toko, Hani dikejutkan oleh anak yang tiba-tiba menghadangnya. “Mama ...!” Hani mengembuskan nafas kasar saat melihat Danish yang kini tengah memandangnya sambil tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang sudah hitam sebagian. “Aku bukan mamamu,” jawab Hani ketus. Tak disangka anak laki-laki bertopi biru yang tadinya tersenyum manis tiba-tiba berubah datar dan langsung menunduk. Dari jarak yang cukup dekat Hani bisa melihat dada Danish naik turun serta beberapa kali mengambil nafas panjang yang artinya anak itu sedang menahan tangis. Merasa bersalah, Hani memutuskan mendekat dan meraih anak itu ke dalam pelukannya. Meski sebal, tapi ia tetaplah seorang wanita yang mempunyai naluri sebagai ibu. Mungkin Danish belum tahu jika ia tak bisa seenaknya menganggap wanita asing sebagai mamanya. Hani memandang tajam lelaki yang kini berdiri tak jauh dari dirinya. Sebagai seorang ayah, seharusnya Arif bisa menasihati anaknya agar tak selalu dekat dengan dirinya. Sejak pertemuan pertama, terhitung sudah lebih dari tiga kali anak dan ayah itu menghadang Hani di jalan. Demi menebus rasa bersalahnya, kini Hani telah duduk sebuah kedai es krim untuk menemani Denish dan tentu saja dengan ayah dari anak itu juga. “Memangnya mama Danish dimana?” tanya Hani setengah berbisik. “Meninggal tiga bulan yang lalu,” jawab Arif santai. Hani merasa sejak pertama bertemu raut wajah Danish berbeda dengan anak pada umumnya, rupanya ia tengah merasakan kepedihan karena kehilangan wanita yang telah melahirkannya. Pasti istri Arif mati muda karena memikirkan suami yang suka jajan diluar dan selalu membawa wanita lain saat dinas di luar kota karena ia sendiri sudah dua kali diajaknya. Benar-benar kasihan anak itu memiliki ayah bejat seperti Arif. “Pokoknya aku enggak mau tahu, kamu harus beri dia pengertian kalo aku bukan mamanya. Aku enggak mau Danish terlalu berharap dan membuatnya sakit untuk kedua kalinya,” tegas Hani. “Aku enggak bisa, dia sudah lima kali keluar masuk rumah sakit karena terus memikirkan mamanya dan saat dia sudah menemukan wanita yang dianggapnya sebagai mama, aku juga tak akan melepaskannya. Untung saja itu kamu!” “Aku enggak mau, titik!” “Aku kasih apa punya kamu minta, asal bukan nyawaku.” “Sori, ya, aku udah pensiun. Aku sedang berubah jadi wanita baik-baik, jadi kamu jangan mengacaukan rencanaku!” Hani memperingatkan. Ia tersenyum saat Danish tiba-tiba menyodorkan satu sendok es krim ke arahnya yang dengan cepat ia terima. Rupanya Danish tahu jika hatinya sedang panas sehingga anak itu berinisiatif untuk mendinginkannya. “Pantas saja aku enggak pernah bisa hubungi kamu. Kamu juga enggak ada di daftar cewek yang ditawarkan mami.” “Dasar lelaki buaya, jangan-jangan istrimu meninggal belum empat puluh hari kamu udah nyari pelampiasan,” tebak Hani. “Itu tahu.” Dasar garangan tak punya hati. Hani yakin mendiang istri Arif adalah wanita sholehah yang begitu mencintai suaminya hingga rela menahan rasa sakit hingga Tuhan memutuskan mengambilnya karena tak mau ia terus menjadi korban dari semua keburukan yang suaminya lakukan. “Tolong pikirkanlah penawaranku, jika tak langsung menikah, paling tidak kita bisa bersandiwara sebagai suami istri di depan Danish dan akan aku anggap kamu sedang bekerja padaku sebagai seorang pengasuh dan aku akan menggajimu sepuluh kali lipat dari gajimu bekerja di toko itu.” Arif memohon. “Maaf, aku tak bisa. Aku tak mau lagi hidup dalam sandiwara.” “Kalo begitu kita menikah secara nyata, bukankah pendosa akan berjodoh dengan pendosa?” Jika benar Tuhan menyiapkan jodoh dari kalangan yang sama, apakah begini caraNya mempertemukan?Hani terdiam mengamati kerlap kerlip lampu jalan yang kini dilewatinya. Semenjak berangkat beberapa saat yang lalu, jantungnya terus berdebar tak karuan memikirkan tentang pertemuan keluarga yang akan dilakukan nanti. Saat ini Hani dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju sebuah restoran untuk memenuhi undangan Amel dan keluarganya. Meski hanya makan malam biasa namun Hani merasa ini pertemuan tak biasa. Arif menggandeng Hani menelusuri lorong yang dihiasi banyak lampu cantik berwarna-warni memasuki restoran bertema outdoor dengan banyak kolam di areanya. “Itu mereka di sana, Pa, ma.” Danish menunjuk ke sebuah ruangan privat yang dibatasi dengan kaca. Amel dan Danish sengaja memilih ruangan itu agar mereka bisa nyaman mengobrol. Keduanya juga tahu pertemuan ini pasti akan dijadikan ajang reuni oleh orang tua mereka. Hani terkesiap saat pandangan matanya menangkap sosok lelaki berbadan tegap yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat
“Rokok terus! Kopi terus!” Sambil menyiram bunga Hani melirik pada lelaki yang kini tengah duduk di teras samping sambil terus terbatuk.“Iya besok dikurangi, Sayang!”“Bilangnya setiap hari mau ngurangin tapi nyatanya setiap hari habis dua bungkus,” sindir Hani.Arif hanya tersenyum sambil mengerlingkan mata pada Hani. Sudah menjadi kebiasaan jika ia batuk, maka istrinya pasti akan terus menyindirnya.Hani yang melihat tingkah suaminya hanya mendengkus kesal, di usianya yang lebih dari 45 tahun Arif masih saja kuat merokok. Sebenarnya tak apa jika badan lelaki itu selalu sehat tapi pada kenyataannya Arif sering sekali menderita batuk yang membuat Hani sangat geram karena susah dinasihati.“Udah tahu batuk begitu, ngerokok terus!” Hani masih terus mengomel meski tahu itu hanya dianggap angin oleh Arif.“Jangan ngomel terus, mama, nanti cantiknya ilang.” Danish yang baru saja keluar langsung mengecup lembut pipi Hani.“Gimana enggak marah, papamu itu susah
“Sayang, aku besok pergi ke luar kota dua hari kamu mau ikut?” tanya Arif sambil menikmati sarapannya.“Em .... mungkin enggak. Besok Danish ujian jadi aku harus standby buat dia.”“Tapi kamu enggak apa-apa ‘kan aku tinggal? Soalnya ini penting banget dan gak bisa diwakilkan.”“Iya, Mas, aku baik-baik aja. Paling kamu yang sebentar-sebentar telepon aku bilang kangen.” Hani mengerlingkan matanya.“Aku memang selalu kangen kamu.” Arif menjentikkan jarinya hingga berbentuk hatiSeperti biasa, obrolan hangat selalu tercipta setiap pagi di meja makan. Hani yang sudah menemukan kembali semangat hidupnya, kini sudah beraktivitas penuh menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.“Sayang, ayo sarapan!” Sambil menata makanan di meja, Hani memanggil Danish agar cepat turun.“Jangan terlalu capek, Nak. Kalo repot, kamu bisa langganan catering untuk sarapan atau kami bisa makan roti setiap hari.” Bu Rohmah yang baru sa
Tak ada yang spesial pada hari-hari Hani saat ini. Rumah mewah, makanan lezat serta uang yang ia miliki sudah tak berarti lagi. Wanita itu seakan kehilangan setengah jiwanya semenjak dinyatakan tak bisa hamil untuk selamanya.“Sayang, aku mau nongkrong. Ikut, yuk!” ajak Arif yang langsung bergelendot manja pada Hani yang kini duduk ranjang.“Aku lagi enggak pengen kemana-mana, Mas,” jawab Hani lirih.“Jangan begini terus, yakinlah semua akan baik-baik saja. Aku sayang kamu dan selamanya akan seperti itu. Aku bisa menerima masa lalumu jadi aku pasti bisa menerima keadaanmu sekarang. Aku dan kamu dulu memang pendosa jadi kita harus terima jika tuhan memberi karma.”Mendengar kata karma membuat air mata Hani perlahan luruh. Ya, dia kini memang tengah mendapatkan karma. Tapi jujur saja ia belum siap menanggung semuanya. Ketakutan jika Arif memilih menikah lagi terus saja terngiang di kepalanya.“Tapi seharusnya kamu tak perlu ikut menanggung karmaku, Mas! Biar aku saja yang menanggungnya.
“Kamu sudah sadar, Sayang? Jangan seperti ini lagi, aku takut.”Arif terus meracau sembari menggenggam erat tangan Hani dan berkali-kali mengecupnya. Ia sangat bahagia karena istrinya akhirnya membuka mata. Meski keadaannya masih sangat lemah, tapi bagi Arif hal itu sudah cukup membuatnya tenang.“Danish mana?” lirih Hani dengan suara yang hampir tak terdengar.“Seperti biasa, dia selalu menanyakanmu. Cepatlah sembuh, kami merindukanmu.”“Maafkan aku, maaf karena tak bisa menjaga diri.” Suara Hani terdengar parau.“Sttt ... jangan berpikir macam-macam. Aku hampir gila melihatmu begini.”“Bagaimana keadaan anak kita?”“Mereka—“Lidah Arif mendadal kelu, sebelum Hani dinyatakan koma, dokter telah memberitahu jika bayi dalam kandungan Hani tidak bisa diselamatkan. Bukan hanya itu, dokter juga terpaksa mengangkat rahim Hani karena luka akibat benturan keras dan ditakutkan bisa terkena infeksi jika tak segera di angkat.“Jawab, Mas!” Hani membentak meski suaranya masih terdengar lemah.“Me
“Maaf, aku hanya mengecek. Tadi perawat bilang kalo Hani menunjukkan pergerakan dan aku di suruh masuk karena mereka pikir aku suaminya,” bohong Rahman.“Hani sadar?” tanya Arif antusias.Rahman menggeleng.“Terus?”“Mungkin dia kecewa karena bukan kamu yang masuk, Maaf.” Rahman menunduk, dadanya sedikit bergetar karena takut alasannya terlihat mengada-ngada.Tanpa pikir panjang, Arif bergegas masuk. Ia sudah tak sabar untuk menemui istrinya berharap Hani bisa segera membuka mata seperti apa yang baru saja dikatakan Rahman.“Kamu sadar, Sayang?” tanya Arif yang sudah berdiri disamping Hani.Raut wajah Arif berubah kecewa saat mendapati wanita yang begitu dicintainya masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Istrinya masih dalam posisi yang sama dan matanya tetap terpejam.“Maaf, Sayang. Tadi aku nganterin Danish dulu. Danish berharap kamu segera pulang. Anak itu akan susah tidur kalo kamu tak ada di rumah.”“Jangan siksa aku seperti ini, Say