แชร์

MAMA

ผู้เขียน: Putri putri
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-21 23:22:26

Hari-hari Hani berjalan seperti biasa, berangkat kerja di pagi hari, bekerja sepanjang siang dan pulang menjelang petang sangat berbeda dengan pekerjaannya sebelumnya. Namun ada hal yang paling ia suka sekarang yaitu setiap hari bisa tidur dengan puas sepanjang malam.

Ditempat kerja Hani juga merasa senang karena bisa bertemu banyak orang dengan berbagai karakter. Terkadang ada seseorang pembeli yang baik dan ramah hingga tak mau menerima uang kembalian atau malah bertemu tante-tante judes yang selalu memarahinya dan hal itu cukup membuat hidupnya sedikit berwarna. Semua itu sangat berbeda dengan pekerjaannya dulu yang setiap hari bertemu orang-orang sok manis namun mempunyai tujuan terselubung.

“Yakin enggak mau balik? Om Hari sering nanyain kamu.”

Hani mengingat perkataan Mami Can-mantan bosnya dua hari yang lalu saat mereka tak sengaja bertemu di toko. Meski Hani memilih merantau di berbeda kota, namun dunia ini terlalu sempit untuk menghindari orang-orang dari masa lalunya. Nyatanya, di sini ia bisa bertemu Arif, Rahman bahkan Mami Can.

Meski sudah memutuskan berhenti bahkan telah ditebus oleh Rahman dengan uang yang tak sedikit, tapi sebagai mucikari Mami Can akan selalu menerima anak buahnya yang ingin kembali. Jika yang orang tahu dalam film seorang Mami akan mengeksploitasi anak buahnya demi uang, berbeda dengan Mami Can yang terkesan santai. Ia tak pernah memaksa anak buahnya menerima job jika tak pas dengan kliennya. Mami Can juga tak pernah menghubungi atau mencari lagi anak buahnya yang berniat tobat kecuali mereka bertemu kembali dan dianggapnya masih hidup susah seperti Hani.

“Han, kenalin aku sama Bu Cintya dong.” Tanpa permisi Ica langsung menyelong masuk dan duduk di samping Hani.

“Bu Cintya?” Hani mengernyitkan dahi.

“Yang kemarin kamu panggil Mami, itu mantan bos kamu, kan?”

Hani membulatkan bibirnya membentuk huruf O.

“Aku pengen nyari tambahan,” jelas Ica.

“Enggak usah,” jawab Hani ketus, ia tak mau Ica menyesal jika mengikut jejaknya dulu. Meskipun Ica mau seperti itu pun, Hani tak mau ikut campur apa lagi mengenalkannya.

“Kamu takut punya saingan, yah?”

Hani tersenyum kecut, sejak awal ia merasa ada yang enggak beres dengan Ica karena wanita itu terlalu ingin tahu seputar masa lalunya.

“Aku udah berhenti. Enggak usah pengen yang gitu-gitu.”

“Tapi Han ... “

“Kamu pengen hidup kamu enggak tenang? Kasih makan uang haram buat keluarga?”

Ica menggeleng.

“Dunia malam itu kejam, Ca. Beberapa temanku babak belur karena dilabrak istri pelanggan, ada yang kecanduan obat haram dan yang paling menyedihkan ada yang terkena penyakit mematikan. Kalo kamu masih waras, jangan pernah punya niat buat mencoba masuk dunia seperti itu.”

Hani sengaja menunjukkan hal paling menyakitkan dan menakutkan dalam pekerjaannya dulu. Ia tak mau wanita baik-baik seperti Ica mengambil jalan pintas dan berakhir menyesal seperti dirinya.

“Aku butuh uang, Han. Gaji bekerja di toko enggak bisa menutup kebutuhan keluarga kami. Sejak Bapak kena strooke semuanya berantakan. Terkadang kami harus hutang sana-sini cuma buat sekedar beli beras.”

Hani terdiam mendengar kisah hidup Ica karena kisah hidupnya hampir mirip dari kisahnya dulu. Saat ia terpaksa bekerja demi membantu ekonomi keluarganya hingga memilih jalan salah yang akhirnya menghancurkan semuanya. Mungkin jika ibu dan adiknya masih hidup, ia pun sekarang sedang merasa bingung karena gajinya memang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apalagi dua tahun sebelum ibu meninggal, ia harus rutin cuci darah karena di vonis gagal ginjal.

“Kamu butuh uang berapa?” tanya Hani.

“Kamu mau kasih?”

“Bilang aja berapa?”

“Se-sekitar dua puluh juta. Itu buat bayar hutang pengobatan Bapak.”

Hani bangkit dan mendekati lemari plastik tempatnya menyimpan baju. Ia membuka kotak kecil dan mengambil sebuah benda pipih yang selama ini ia simpan.

“Tulis nomor rekeningmu!” perintah Hani.

“Buat apa?”

“Tulis aja!”

Tak membutuhkan waktu lama Ica terperanjat saat membaca notifikasi di ponselnya jika ia baru saja menerima uang sebesar lima puluh juta.

“Gunakan itu buat lunasih hutang Bapak sama biaya pengobatan selanjutnya,” ucap Hani yang kini tengah menggunting sebuah kartu ponsel menjadi beberapa bagian.

“Ini uang apa?”

“Kamu sudah tahu jawabannya. Yang jelas baik dan buruk uang itu adalah tanggung jawabku.”

“Tapi aku akan lama mengembalikannya.”

“Tak usah dikembalikan, aku sudah berniat membagi-bagikan hartaku dulu pada orang yang membutuhkan dan itu yang terakhir.”

Lunas sudah harapan Hani untuk menghabiskan semua uang hasil dunia gelapnya. Setelah disumbangkan ke panti asuhan, tempat ibadah dan beberapa lembaga sosial akhirnya tabungannya kini kosong tak bersisa. Uang yang diberikan Ica tadi adalah hasil penjualan perhiasan yang ditemukan di puing-puing rumahnya yang sebagian sudah ia sumbangkan untuk membantu tetangga.

Kini harta Hani tinggal uang sisa gaji bulan kemarin yang semoga bisa cukup untuk makan sampai gajian bulan depan.

**

Baru saja tanggal dua puluh sembilan tapi isi dompet Hani hanya tinggal selembar uang merah. Masih tiga hari lagi dari tanggal gajian itu pun kalo tak mundur. Ia yang biasa bergaya hidup boros mau tak mau harus berpusing ria mengatur uang meski hanya untuk sekedar makan. Lidahnya yang sudah terbiasa makan enak dan mempunyai banyak camilan adalah hal paling sulit diubah. Hani tak akan berselera makan jika harus dengan lauk seadanya, yang membuat uangnya cepat habis. Belum lagi kebutuhan skin care berharga mahal yang masih Hani gunakan cukup membuatnya memutar otak mengatur uangnya jika sudah akhir bulan seperti ini.

Dengan malas Hani menyuapkan nasi rames berlau telur dadar yang baru saja ia beli dari warung makan sebelah kontrakan. Entah sudah berapa tahun setelah ia tak makan makanan seperti itu, padahal saat masih di kampung telur dadar adalah makanan favorit dan terenak yang pernah ia makan.

Hani merasa miris melihat air minum ditangannya yang kini ia anggap mahal. Ternyata satu setengah liter air putih seharga lima ribu itu berhasil membuatnya pusing karena berhasil mengurangi pundi-pundi uangnya yang sudah sangat menipis padahal dulu ia mudah saja membeli secangkir kopi seharga lima puluh ribu.

“Mama ...!”

Hani memijat pelipisnya yang tiba-tiba pusing setelah mendengar suara anak kecil yang sudah sangat dihafalnya. Benar saja, tak lama kemudian sesosok anak kecil berkaus putih dan bercelana pendek hitam muncul dari balik pintu. Tanpa aba-aba anak itu langsung menghampiri dan duduk dipangkuan Hani.

Merasa sebal, Hani hanya terdiam sembari mengelus lembut rambut Danish yang harum aroma stroberi sembari terus memandang ke arah pintu menunggu ayah tak bertanggung jawab itu muncul. Beberapa menit menunggu, orang itu tak juga menampakkan batang hidungnya.

“Danish udah makan?” tanya Hani basa-basi. Walau bagaimanapun juga ia tak tega bersikap cuek pada anak tak berdosa itu.

“Belum, Ma.”

“Mau makan?” Hani menunjuk nasi bungkus di depannya. Jatah makan malam limited edition yaitu nasi setengah porsi plus telor ceplok.

Danish mengangguk.

Meski setengah tak rela, tapi Hani tetap menyuapkan makanan itu pada Danish. Ia merasa miris saat melihat anak itu makan dengan lahapnya seolah tak makan beberapa hari.

“Apa ayahmu enggak pernah kasih makan?” gerutu Hani sembari mengelap ceceran kecap di bibir Danish.

Hani mengembuskan nafas kasar saat melihat jatah makan malamnya habis tak bersisa. Untung saja ia masih punya sisa snack dari tempat kerjanya tadi siang dan itu cukup untuk mengganjal perutnya malam ini.

Sebagai anak berumur empat tahun, Danish termasuk anak yang irit bicara. Ia lebih suka bermain sendiri atau diam begitu saja. Seperti saat ini, Danish dengan santainya tengkurap di lantai sembari mencoret-coret di kertas yang ia ambil di atas meja.

“Danish, kamu lagi ngapain?” tanya Arif yang dengan santainya masuk tanpa permisi.

“Dari mana saja kamu?” Hani memandang tajam lelaki berkumis tipis itu.

“Beli ini.” Arif meletakkan beberapa kantong kresek berwarna putih berlogo minimarket di hadapan Hani.

Mata Hani langsung berbinar melihat berbagai merek biskuit dan makanan ringan dalam kantong itu juga beberapa macam buah dan minuman kemasan di kantong yang lain. Kata-kata yang telah ia siapkan untuk memarahi Arif seketika hilang saat mengingat jika makanan itu bisa untuk mengganjal perutnya jika nanti uangnya benar-benar habis.

“Ngapain ke sini malam-malam?” tanya Hani ketus sembari membuka sebungkus biskuit coklat untuk mengganti nasinya yang di makan Denish tadi.

“Tadi niatnya mau kondangan, tapi Danish enggak mau masuk, malah nanyain kamu terus. Ya udah kita jalan ke sini.”

Hani mengangguk paham. Meski sudah berusaha menghindar, ia tak bisa berbuat apa-apa saat melihat Danish merengek. Apalagi Arif pernah bercerita jika anak itu pernah beberapa kali sesak nafas saat menangis jadi Hani membiarkan saja mereka menemuinya, toh tidak setiap hari.

“Ini gratis, kan?” Hani menjeda makannya.

“Kalo short time bagaimana?” Arif menaik turunkan alisnya.

“Udah miskin kamu?” sindir Hani.

Hani tahu betul jika Arif paham harga sekali kencan singkat, tak sebanding dengan harga semua makanan yang di bawanya. Jika satu kantong makanan itu cukup membuat bahagia orang kelaparan, berapa banyak orang bisa dibantu dengan uang yang biasa mereka gunakan untuk sekedar hura-hura.

Jam sudah hampir menunjuk angka sepuluh, namun Danish masih enggan diajak pulang. Segala cara dan alasan yang dilakukan tak membuat anak itu mau beranjak dan tetap asyik bermain apa saja di rumah kontrakan Hani yang hanya terdiri dari tiga ruangan.

“Ayo Danish, kita pulang dulu! Kamu harus istirahat,” bujuk Arif lembut.

Anak itu hanya bergeming sembari memakan potongan buah yang baru saja dimintanya.

“Mama juga mau istirahat, besok harus kerja,” ucap Arif lagi.

“Kenapa mama harus kerja? Kan uang papa udah banyak. Kenapa enggak minta sama papa aja?”

Arif menahan nafas menahan emosinya. Ia tak mau salah bicara yang bisa membuat kecewa anak semata wayangnya.

“Mama ikut pulang, ya ...” ucap Danish dengan nada memohon.

Hani menggeleng, ia sengaja tak mau bicara karena tak tega melihat Danish sedih.

“Papa, bujuk mama, dong!” bentak Danish.

Hani menahan tawa melihat wajah Arif yang seketika menciut setelah dibentak oleh anak berumur empat tahun.

“Mama, ikut pulang, yuk!” ucap Arif dengan nada manja sembari mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Sialan kau, Arif!” batin Hani.

Hani merasa saat ini ia ingin menghilang saja. Ia sudah tak tahan menghadapi situasi seperti. Ia memang kasihan dengan Danish tapi tidak untuk menjadi mamanya.

“Mama pulang, ya. Aku pengen bobo sama mama,” ucap Danish dengan mata berkaca-kaca.

“Ayo, Ma ...”

“Mama ... “

Seketika Hani menutup mata dan kedua telinganya, suara Danish saat memanggil dirinya dengan sebutan ‘mama’ begitu mendayu-dayu yang seketika membawa ingatannya pada anak yang pernah berada dalam kandungannya. Ia mengingat betul saat dia baru pertama dinyatakan hamil lalu perlahan perutnya membesar. Ia pun belum lupa saat mendengar detak jantung janinnya setiap periksa dan merasakan gerakannya setiap malam hingga tiba saat ia mendengar tangis bayinya untuk pertama dan terakhir sesaat setelah melahirkan. Seharusnya anak itu yang memanggilnya mama bukan Danish atau siapa pun.

“Mama macam apa aku?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • DILEMA WANITA PENDOSA   KETAHUAN

    “Selamat nambah cucu, Ma,” bisik Arif tepat di telinga Bu Rohmah begitu ia sampai di rumah.“Beneran Sayang?” tanya Bu Rohmah setengah tak percaya.“Iya, Ma, dan kemungkinan kembar,” jawab Hani.“Ke-kembar?” Hani mengangguk. “Selamat ya, Sayang.” Bu Rohmah meraih tubuh Hani dan memeluknya erat.Tak ada hal yang paling membahagiakan bagi orang tua selain berita hadirnya seorang cucu. Membayangkan rumahnya akan ramai oleh tangis bayi akan memberikan energi tersendiri bagi seorang yang sudah hampir memasuki lanjut usia. Bu Rohmah sangat bersyukur karena dimasa tuanya ia tak pernah kesepian. Apalagi sebentar lagi anggota keluarganya yang akan bertambah dua orang pasti akan membuat rumahnya semakin hangat.“Jangan capek-capek ya, Sayang. Katanya hamil kembar itu tenaganya harus ekstra. Kuat-kuat ya, Sayang. Nenek udah enggak sabar kepengin ketemu kalian.” Bu Rohmah mengelus perut Hani yang masih rata.“Aku enggak pernah capek, Ma.” Hani menyunggingkan senyum. “Kalo perlu kamu enggak usa

  • DILEMA WANITA PENDOSA   ANUGRAH

    “Tidakkah kau ingat saat kita berbagi kehangatan dulu.” Rahman mengelus lembut wajah wanita yang memenuhi layar ponselnya. Terhitung lebih dari seratus pose wanita itu tersimpan rapi di folder rahasia yang ia sendiri yang dapat membukanya.“Cantik.”Lagi-lagi Rahman memuji wanita cantik yang terlihat tengah tertawa renyah dengan salah satu temannya.Seperti biasa, disela kesibukan pekerjaannya, Rahman selalu menyempatkan diri bersua dengan wanita yang kini berhasil memorak-porandakan dunianya meski hanya sebatas gambar dan dunia maya. Hanya di kantor inilah Rahman bisa bebas mengekspresikan perasaannya pada wanita itu karena setelah pulang ke rumah nanti, ia harus berubah menjadi ayah sekaligus suami yang baik untuk anak dan istrinya.Rahman mengakui jika dirinya sudah setengah gila karena terus mengharapkan Hani. Meski wanita itu hanya hadir sesaat dalam hidupnya tapi telah berhasil meninggalkan bekas yang begitu dalam hingga ia tak dapat menghapusnya.[Jangan lupa makan, Sayang.]

  • DILEMA WANITA PENDOSA   BIARKAN AKU BAHAGIA

    “Hani?”“Caca?”Hani berlari kecil menghampiri salah satu teman seperjuangan dulu. Layaknya sebuah keluarga, mereka pernah bersama merasakan suka duka menjadi seorang wanita penghibur hingga Hani memutuskan untuk mengakhiri semuanya.“Kamu apa kabar? Denger-denger kamu udah nikah sama Mas Arif, ya? Selamat, ya,” ucap anita berpakaian minim itu terus memeluk Hani.“Makasih ya, Ca. Kamu sama siapa?” Hani melepaskan pelukannya, melihat penampilan Caca kali ini ia seperti melihat dirinya di masa lalu yang juga sering berpakaian seperti itu.“Aku sama Papi, Cuma dia ketemu klien bentar jadi aku jalan-jalan dulu, deh.”Hani mengangguk, ia tahu siapa yang Caca maksud sebagai Papi yaitu sebutan seorang klien yang umurnya sudah mendekati senja namun tak ingat dosa sehingga masih bermain-main dengan seorang wanita. Sebagian besar temannya memang malas dan malu jika berhubungan dengan seorang kakek-kakek namun jika ingat uangnya mereka langsung mengesampingkan rasa itu dan mau tak mau harus mene

  • DILEMA WANITA PENDOSA   PROGRAM

    Rahman menggeliat kan bada untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Berbulan mencoba, akhirnya ia bisa menemukan cara untuk sedikit melupakan Hani. Dengan banyak bekerja ia bisa sedikit mengalihkan perhatian agar bayangan wanita itu tak masuk dalam pikirannya. Hampir setiap hari Rahman kerja sejak pagi hingga larut malam selain hari minggu yang khusus ia sediakan untuk anak semata wayangnya."Cantik." Rahman tersenyum melihat foto yang terpajang di meja kerjanya.Sebuah foto anak kecil berbaju pink bunga-bunga dipadukan dengan topi lebar dan sepatu kets berwarna putih seolah tengah tersenyum padanya. Foto itu ia ambil saat mereka berdua sedang berlibur ke luar negeri beberapa minggu yang lalu.Setelah Hani dan Arif melaksanakan syukuran bersama gengnya. Rahman memboyong keluarganya untuk berlibur ke luar negeri untuk sedikit menenangkan pikiran. Memang selama satu minggu di negeri tetangga, ia merasa sedikit tenang, namun setelah kembali r

  • DILEMA WANITA PENDOSA   KEBENARAN

    Sudah seharian Hani mendiamkan suaminya. Sejak Arif pulang kemarin sore, ia terus berusaha menghindar agar tak terlalu sering berinteraksi dengannya. Meski ia tetap melakukan tugasnya sebagai istri, namun sebisa mungkin ia bersikap dingin berharap lelaki itu tahu jika ia sedang dalam masalah.“Kamu sakit?” tanya Arif yang sudah mulai merasa berbeda dengan sikap istrinya.“Enggak,” jawab Hani singkat.“Perasaan dari kemarin diam aja. Kamu pengen sesuatu? Mau jalan-jalan atau makan di luar?” “Enggak.”“Terus? Uang belanja kurang?”Hani menggeleng.“Terus kenapa? Bilang dong! Aku bukan dukun. Aku salah apa?” Arif menarik tangan Hani yang hendak beranjak, ia paling sebal menghadapi wanita yang sedang dalam mode senyap seperti ini.“Kalo aku bilang, kamu mau jujur?” lirih Hani.“Iya, Sayang.”Hani melepaskan tangannya, ia berjalan menuju laci nakas tempat ia menyimpan nota yang ia temukan

  • DILEMA WANITA PENDOSA   KARMA

    “Kayaknya kita harus sering curi-curi waktu buat berduaan kayak gini,” ucap Arif saat bersiap untuk pulang.“Tapi tak perlu di hotel seperti ini. Aku serasa kembali ke masa lalu jadinya.”Arif terkekeh. Hani benar, dengan berada di sebuah hotel bersama, ia merasa sedang mengenang masa lalu yang begitu kelam. Namun kini, ia berjanji tak akan kembali ke masa itu dan akan mulai fokus menata masa depan dengan wanita yang kini telah berhasil ia perjuangkan.Sejauh ini, Arif tak pernah mengira akan sampai di sebuah titik di mana ia mau berkomitmen secara resmi dengan seorang wanita karena sebelumnya ia lebih memilih bebas dan tak mau terikat. Namun pada kenyataannya takdir telah mengubah semuanya. Dengan hadirnya Hani dalam hidupnya, membuat ia sadar jika seseorang lelaki juga butuh seseorang untuk bersandar. Tak hanya untuk dirinya tapi untuk anak semata wayangnya. Dan pilihan itu jatuh kepada Hani.“Terima kasih, Sayang.”Arif mengecup pipi

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status