Hari-hari Hani berjalan seperti biasa, berangkat kerja di pagi hari, bekerja sepanjang siang dan pulang menjelang petang sangat berbeda dengan pekerjaannya sebelumnya. Namun ada hal yang paling ia suka sekarang yaitu setiap hari bisa tidur dengan puas sepanjang malam.
Ditempat kerja Hani juga merasa senang karena bisa bertemu banyak orang dengan berbagai karakter. Terkadang ada seseorang pembeli yang baik dan ramah hingga tak mau menerima uang kembalian atau malah bertemu tante-tante judes yang selalu memarahinya dan hal itu cukup membuat hidupnya sedikit berwarna. Semua itu sangat berbeda dengan pekerjaannya dulu yang setiap hari bertemu orang-orang sok manis namun mempunyai tujuan terselubung. “Yakin enggak mau balik? Om Hari sering nanyain kamu.” Hani mengingat perkataan Mami Can-mantan bosnya dua hari yang lalu saat mereka tak sengaja bertemu di toko. Meski Hani memilih merantau di berbeda kota, namun dunia ini terlalu sempit untuk menghindari orang-orang dari masa lalunya. Nyatanya, di sini ia bisa bertemu Arif, Rahman bahkan Mami Can. Meski sudah memutuskan berhenti bahkan telah ditebus oleh Rahman dengan uang yang tak sedikit, tapi sebagai mucikari Mami Can akan selalu menerima anak buahnya yang ingin kembali. Jika yang orang tahu dalam film seorang Mami akan mengeksploitasi anak buahnya demi uang, berbeda dengan Mami Can yang terkesan santai. Ia tak pernah memaksa anak buahnya menerima job jika tak pas dengan kliennya. Mami Can juga tak pernah menghubungi atau mencari lagi anak buahnya yang berniat tobat kecuali mereka bertemu kembali dan dianggapnya masih hidup susah seperti Hani. “Han, kenalin aku sama Bu Cintya dong.” Tanpa permisi Ica langsung menyelong masuk dan duduk di samping Hani. “Bu Cintya?” Hani mengernyitkan dahi. “Yang kemarin kamu panggil Mami, itu mantan bos kamu, kan?” Hani membulatkan bibirnya membentuk huruf O. “Aku pengen nyari tambahan,” jelas Ica. “Enggak usah,” jawab Hani ketus, ia tak mau Ica menyesal jika mengikut jejaknya dulu. Meskipun Ica mau seperti itu pun, Hani tak mau ikut campur apa lagi mengenalkannya. “Kamu takut punya saingan, yah?” Hani tersenyum kecut, sejak awal ia merasa ada yang enggak beres dengan Ica karena wanita itu terlalu ingin tahu seputar masa lalunya. “Aku udah berhenti. Enggak usah pengen yang gitu-gitu.” “Tapi Han ... “ “Kamu pengen hidup kamu enggak tenang? Kasih makan uang haram buat keluarga?” Ica menggeleng. “Dunia malam itu kejam, Ca. Beberapa temanku babak belur karena dilabrak istri pelanggan, ada yang kecanduan obat haram dan yang paling menyedihkan ada yang terkena penyakit mematikan. Kalo kamu masih waras, jangan pernah punya niat buat mencoba masuk dunia seperti itu.” Hani sengaja menunjukkan hal paling menyakitkan dan menakutkan dalam pekerjaannya dulu. Ia tak mau wanita baik-baik seperti Ica mengambil jalan pintas dan berakhir menyesal seperti dirinya. “Aku butuh uang, Han. Gaji bekerja di toko enggak bisa menutup kebutuhan keluarga kami. Sejak Bapak kena strooke semuanya berantakan. Terkadang kami harus hutang sana-sini cuma buat sekedar beli beras.” Hani terdiam mendengar kisah hidup Ica karena kisah hidupnya hampir mirip dari kisahnya dulu. Saat ia terpaksa bekerja demi membantu ekonomi keluarganya hingga memilih jalan salah yang akhirnya menghancurkan semuanya. Mungkin jika ibu dan adiknya masih hidup, ia pun sekarang sedang merasa bingung karena gajinya memang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apalagi dua tahun sebelum ibu meninggal, ia harus rutin cuci darah karena di vonis gagal ginjal. “Kamu butuh uang berapa?” tanya Hani. “Kamu mau kasih?” “Bilang aja berapa?” “Se-sekitar dua puluh juta. Itu buat bayar hutang pengobatan Bapak.” Hani bangkit dan mendekati lemari plastik tempatnya menyimpan baju. Ia membuka kotak kecil dan mengambil sebuah benda pipih yang selama ini ia simpan. “Tulis nomor rekeningmu!” perintah Hani. “Buat apa?” “Tulis aja!” Tak membutuhkan waktu lama Ica terperanjat saat membaca notifikasi di ponselnya jika ia baru saja menerima uang sebesar lima puluh juta. “Gunakan itu buat lunasih hutang Bapak sama biaya pengobatan selanjutnya,” ucap Hani yang kini tengah menggunting sebuah kartu ponsel menjadi beberapa bagian. “Ini uang apa?” “Kamu sudah tahu jawabannya. Yang jelas baik dan buruk uang itu adalah tanggung jawabku.” “Tapi aku akan lama mengembalikannya.” “Tak usah dikembalikan, aku sudah berniat membagi-bagikan hartaku dulu pada orang yang membutuhkan dan itu yang terakhir.” Lunas sudah harapan Hani untuk menghabiskan semua uang hasil dunia gelapnya. Setelah disumbangkan ke panti asuhan, tempat ibadah dan beberapa lembaga sosial akhirnya tabungannya kini kosong tak bersisa. Uang yang diberikan Ica tadi adalah hasil penjualan perhiasan yang ditemukan di puing-puing rumahnya yang sebagian sudah ia sumbangkan untuk membantu tetangga. Kini harta Hani tinggal uang sisa gaji bulan kemarin yang semoga bisa cukup untuk makan sampai gajian bulan depan. ** Baru saja tanggal dua puluh sembilan tapi isi dompet Hani hanya tinggal selembar uang merah. Masih tiga hari lagi dari tanggal gajian itu pun kalo tak mundur. Ia yang biasa bergaya hidup boros mau tak mau harus berpusing ria mengatur uang meski hanya untuk sekedar makan. Lidahnya yang sudah terbiasa makan enak dan mempunyai banyak camilan adalah hal paling sulit diubah. Hani tak akan berselera makan jika harus dengan lauk seadanya, yang membuat uangnya cepat habis. Belum lagi kebutuhan skin care berharga mahal yang masih Hani gunakan cukup membuatnya memutar otak mengatur uangnya jika sudah akhir bulan seperti ini. Dengan malas Hani menyuapkan nasi rames berlau telur dadar yang baru saja ia beli dari warung makan sebelah kontrakan. Entah sudah berapa tahun setelah ia tak makan makanan seperti itu, padahal saat masih di kampung telur dadar adalah makanan favorit dan terenak yang pernah ia makan. Hani merasa miris melihat air minum ditangannya yang kini ia anggap mahal. Ternyata satu setengah liter air putih seharga lima ribu itu berhasil membuatnya pusing karena berhasil mengurangi pundi-pundi uangnya yang sudah sangat menipis padahal dulu ia mudah saja membeli secangkir kopi seharga lima puluh ribu. “Mama ...!” Hani memijat pelipisnya yang tiba-tiba pusing setelah mendengar suara anak kecil yang sudah sangat dihafalnya. Benar saja, tak lama kemudian sesosok anak kecil berkaus putih dan bercelana pendek hitam muncul dari balik pintu. Tanpa aba-aba anak itu langsung menghampiri dan duduk dipangkuan Hani. Merasa sebal, Hani hanya terdiam sembari mengelus lembut rambut Danish yang harum aroma stroberi sembari terus memandang ke arah pintu menunggu ayah tak bertanggung jawab itu muncul. Beberapa menit menunggu, orang itu tak juga menampakkan batang hidungnya. “Danish udah makan?” tanya Hani basa-basi. Walau bagaimanapun juga ia tak tega bersikap cuek pada anak tak berdosa itu. “Belum, Ma.” “Mau makan?” Hani menunjuk nasi bungkus di depannya. Jatah makan malam limited edition yaitu nasi setengah porsi plus telor ceplok. Danish mengangguk. Meski setengah tak rela, tapi Hani tetap menyuapkan makanan itu pada Danish. Ia merasa miris saat melihat anak itu makan dengan lahapnya seolah tak makan beberapa hari. “Apa ayahmu enggak pernah kasih makan?” gerutu Hani sembari mengelap ceceran kecap di bibir Danish. Hani mengembuskan nafas kasar saat melihat jatah makan malamnya habis tak bersisa. Untung saja ia masih punya sisa snack dari tempat kerjanya tadi siang dan itu cukup untuk mengganjal perutnya malam ini. Sebagai anak berumur empat tahun, Danish termasuk anak yang irit bicara. Ia lebih suka bermain sendiri atau diam begitu saja. Seperti saat ini, Danish dengan santainya tengkurap di lantai sembari mencoret-coret di kertas yang ia ambil di atas meja. “Danish, kamu lagi ngapain?” tanya Arif yang dengan santainya masuk tanpa permisi. “Dari mana saja kamu?” Hani memandang tajam lelaki berkumis tipis itu. “Beli ini.” Arif meletakkan beberapa kantong kresek berwarna putih berlogo minimarket di hadapan Hani. Mata Hani langsung berbinar melihat berbagai merek biskuit dan makanan ringan dalam kantong itu juga beberapa macam buah dan minuman kemasan di kantong yang lain. Kata-kata yang telah ia siapkan untuk memarahi Arif seketika hilang saat mengingat jika makanan itu bisa untuk mengganjal perutnya jika nanti uangnya benar-benar habis. “Ngapain ke sini malam-malam?” tanya Hani ketus sembari membuka sebungkus biskuit coklat untuk mengganti nasinya yang di makan Denish tadi. “Tadi niatnya mau kondangan, tapi Danish enggak mau masuk, malah nanyain kamu terus. Ya udah kita jalan ke sini.” Hani mengangguk paham. Meski sudah berusaha menghindar, ia tak bisa berbuat apa-apa saat melihat Danish merengek. Apalagi Arif pernah bercerita jika anak itu pernah beberapa kali sesak nafas saat menangis jadi Hani membiarkan saja mereka menemuinya, toh tidak setiap hari. “Ini gratis, kan?” Hani menjeda makannya. “Kalo short time bagaimana?” Arif menaik turunkan alisnya. “Udah miskin kamu?” sindir Hani. Hani tahu betul jika Arif paham harga sekali kencan singkat, tak sebanding dengan harga semua makanan yang di bawanya. Jika satu kantong makanan itu cukup membuat bahagia orang kelaparan, berapa banyak orang bisa dibantu dengan uang yang biasa mereka gunakan untuk sekedar hura-hura. Jam sudah hampir menunjuk angka sepuluh, namun Danish masih enggan diajak pulang. Segala cara dan alasan yang dilakukan tak membuat anak itu mau beranjak dan tetap asyik bermain apa saja di rumah kontrakan Hani yang hanya terdiri dari tiga ruangan. “Ayo Danish, kita pulang dulu! Kamu harus istirahat,” bujuk Arif lembut. Anak itu hanya bergeming sembari memakan potongan buah yang baru saja dimintanya. “Mama juga mau istirahat, besok harus kerja,” ucap Arif lagi. “Kenapa mama harus kerja? Kan uang papa udah banyak. Kenapa enggak minta sama papa aja?” Arif menahan nafas menahan emosinya. Ia tak mau salah bicara yang bisa membuat kecewa anak semata wayangnya. “Mama ikut pulang, ya ...” ucap Danish dengan nada memohon. Hani menggeleng, ia sengaja tak mau bicara karena tak tega melihat Danish sedih. “Papa, bujuk mama, dong!” bentak Danish. Hani menahan tawa melihat wajah Arif yang seketika menciut setelah dibentak oleh anak berumur empat tahun. “Mama, ikut pulang, yuk!” ucap Arif dengan nada manja sembari mengerjap-ngerjapkan matanya. “Sialan kau, Arif!” batin Hani. Hani merasa saat ini ia ingin menghilang saja. Ia sudah tak tahan menghadapi situasi seperti. Ia memang kasihan dengan Danish tapi tidak untuk menjadi mamanya. “Mama pulang, ya. Aku pengen bobo sama mama,” ucap Danish dengan mata berkaca-kaca. “Ayo, Ma ...” “Mama ... “ Seketika Hani menutup mata dan kedua telinganya, suara Danish saat memanggil dirinya dengan sebutan ‘mama’ begitu mendayu-dayu yang seketika membawa ingatannya pada anak yang pernah berada dalam kandungannya. Ia mengingat betul saat dia baru pertama dinyatakan hamil lalu perlahan perutnya membesar. Ia pun belum lupa saat mendengar detak jantung janinnya setiap periksa dan merasakan gerakannya setiap malam hingga tiba saat ia mendengar tangis bayinya untuk pertama dan terakhir sesaat setelah melahirkan. Seharusnya anak itu yang memanggilnya mama bukan Danish atau siapa pun. “Mama macam apa aku?”Hani terdiam mengamati kerlap kerlip lampu jalan yang kini dilewatinya. Semenjak berangkat beberapa saat yang lalu, jantungnya terus berdebar tak karuan memikirkan tentang pertemuan keluarga yang akan dilakukan nanti. Saat ini Hani dan keluarga sedang dalam perjalanan menuju sebuah restoran untuk memenuhi undangan Amel dan keluarganya. Meski hanya makan malam biasa namun Hani merasa ini pertemuan tak biasa. Arif menggandeng Hani menelusuri lorong yang dihiasi banyak lampu cantik berwarna-warni memasuki restoran bertema outdoor dengan banyak kolam di areanya. “Itu mereka di sana, Pa, ma.” Danish menunjuk ke sebuah ruangan privat yang dibatasi dengan kaca. Amel dan Danish sengaja memilih ruangan itu agar mereka bisa nyaman mengobrol. Keduanya juga tahu pertemuan ini pasti akan dijadikan ajang reuni oleh orang tua mereka. Hani terkesiap saat pandangan matanya menangkap sosok lelaki berbadan tegap yang duduk memunggunginya. Tanpa melihat
“Rokok terus! Kopi terus!” Sambil menyiram bunga Hani melirik pada lelaki yang kini tengah duduk di teras samping sambil terus terbatuk.“Iya besok dikurangi, Sayang!”“Bilangnya setiap hari mau ngurangin tapi nyatanya setiap hari habis dua bungkus,” sindir Hani.Arif hanya tersenyum sambil mengerlingkan mata pada Hani. Sudah menjadi kebiasaan jika ia batuk, maka istrinya pasti akan terus menyindirnya.Hani yang melihat tingkah suaminya hanya mendengkus kesal, di usianya yang lebih dari 45 tahun Arif masih saja kuat merokok. Sebenarnya tak apa jika badan lelaki itu selalu sehat tapi pada kenyataannya Arif sering sekali menderita batuk yang membuat Hani sangat geram karena susah dinasihati.“Udah tahu batuk begitu, ngerokok terus!” Hani masih terus mengomel meski tahu itu hanya dianggap angin oleh Arif.“Jangan ngomel terus, mama, nanti cantiknya ilang.” Danish yang baru saja keluar langsung mengecup lembut pipi Hani.“Gimana enggak marah, papamu itu susah
“Sayang, aku besok pergi ke luar kota dua hari kamu mau ikut?” tanya Arif sambil menikmati sarapannya.“Em .... mungkin enggak. Besok Danish ujian jadi aku harus standby buat dia.”“Tapi kamu enggak apa-apa ‘kan aku tinggal? Soalnya ini penting banget dan gak bisa diwakilkan.”“Iya, Mas, aku baik-baik aja. Paling kamu yang sebentar-sebentar telepon aku bilang kangen.” Hani mengerlingkan matanya.“Aku memang selalu kangen kamu.” Arif menjentikkan jarinya hingga berbentuk hatiSeperti biasa, obrolan hangat selalu tercipta setiap pagi di meja makan. Hani yang sudah menemukan kembali semangat hidupnya, kini sudah beraktivitas penuh menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang ibu.“Sayang, ayo sarapan!” Sambil menata makanan di meja, Hani memanggil Danish agar cepat turun.“Jangan terlalu capek, Nak. Kalo repot, kamu bisa langganan catering untuk sarapan atau kami bisa makan roti setiap hari.” Bu Rohmah yang baru sa
Tak ada yang spesial pada hari-hari Hani saat ini. Rumah mewah, makanan lezat serta uang yang ia miliki sudah tak berarti lagi. Wanita itu seakan kehilangan setengah jiwanya semenjak dinyatakan tak bisa hamil untuk selamanya.“Sayang, aku mau nongkrong. Ikut, yuk!” ajak Arif yang langsung bergelendot manja pada Hani yang kini duduk ranjang.“Aku lagi enggak pengen kemana-mana, Mas,” jawab Hani lirih.“Jangan begini terus, yakinlah semua akan baik-baik saja. Aku sayang kamu dan selamanya akan seperti itu. Aku bisa menerima masa lalumu jadi aku pasti bisa menerima keadaanmu sekarang. Aku dan kamu dulu memang pendosa jadi kita harus terima jika tuhan memberi karma.”Mendengar kata karma membuat air mata Hani perlahan luruh. Ya, dia kini memang tengah mendapatkan karma. Tapi jujur saja ia belum siap menanggung semuanya. Ketakutan jika Arif memilih menikah lagi terus saja terngiang di kepalanya.“Tapi seharusnya kamu tak perlu ikut menanggung karmaku, Mas! Biar aku saja yang menanggungnya.
“Kamu sudah sadar, Sayang? Jangan seperti ini lagi, aku takut.”Arif terus meracau sembari menggenggam erat tangan Hani dan berkali-kali mengecupnya. Ia sangat bahagia karena istrinya akhirnya membuka mata. Meski keadaannya masih sangat lemah, tapi bagi Arif hal itu sudah cukup membuatnya tenang.“Danish mana?” lirih Hani dengan suara yang hampir tak terdengar.“Seperti biasa, dia selalu menanyakanmu. Cepatlah sembuh, kami merindukanmu.”“Maafkan aku, maaf karena tak bisa menjaga diri.” Suara Hani terdengar parau.“Sttt ... jangan berpikir macam-macam. Aku hampir gila melihatmu begini.”“Bagaimana keadaan anak kita?”“Mereka—“Lidah Arif mendadal kelu, sebelum Hani dinyatakan koma, dokter telah memberitahu jika bayi dalam kandungan Hani tidak bisa diselamatkan. Bukan hanya itu, dokter juga terpaksa mengangkat rahim Hani karena luka akibat benturan keras dan ditakutkan bisa terkena infeksi jika tak segera di angkat.“Jawab, Mas!” Hani membentak meski suaranya masih terdengar lemah.“Me
“Maaf, aku hanya mengecek. Tadi perawat bilang kalo Hani menunjukkan pergerakan dan aku di suruh masuk karena mereka pikir aku suaminya,” bohong Rahman.“Hani sadar?” tanya Arif antusias.Rahman menggeleng.“Terus?”“Mungkin dia kecewa karena bukan kamu yang masuk, Maaf.” Rahman menunduk, dadanya sedikit bergetar karena takut alasannya terlihat mengada-ngada.Tanpa pikir panjang, Arif bergegas masuk. Ia sudah tak sabar untuk menemui istrinya berharap Hani bisa segera membuka mata seperti apa yang baru saja dikatakan Rahman.“Kamu sadar, Sayang?” tanya Arif yang sudah berdiri disamping Hani.Raut wajah Arif berubah kecewa saat mendapati wanita yang begitu dicintainya masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Istrinya masih dalam posisi yang sama dan matanya tetap terpejam.“Maaf, Sayang. Tadi aku nganterin Danish dulu. Danish berharap kamu segera pulang. Anak itu akan susah tidur kalo kamu tak ada di rumah.”“Jangan siksa aku seperti ini, Say