Mata Firman membulat. Apa? Rani pindah ke Jakarta? Bahkan dia belum mengetahui berita ini. Apa Rani sengaja menyembunyikan rencana ini? pikir Firman.
Kadang wanita penuh kejutan. Mereka sulit ditebak.
“Dua hari lagi dia akan datang. Kembalilah engkau padanya. Dia lebih membutuhkanmu,” lanjut Citra.
Seketika Firman merasakan lututnya lemas. Dia luruh terjatuh di lantai. Pandangannya kosong.
“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan,” desis Firman lirih nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk. Bahkan tangannya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa.
Dengan gerak cepat, Citra segera menyelesaikan mengemas barang-barang Firman, lalu ia menutup koper tersebut.
“Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau kamu yang pergi!” seru Citra.
Citra makin mantap untuk berpisah. Tak ada gunanya dipertahankan. Bahkan berbicara saja rasanya enggan.
Sejak peristiwa pengkianatan itu tersingkap, Citra merasa tak ada upaya dari Firman untuk berbicara baik-baik dengannya. Tak pernah ada pembicaraan tentang kelanjutan hidup mereka. Ketika Citra memilih diam karena menahan sakit, Firman pun juga diam. Lalu, buat apa dipertahankan? Padahal, Citra menunggu itikat baik dari Firman.
Firman hanya dapat menatap Citra dengan tatapan kosong. Rasanya hukuman ini belum seberapa berat dengan kesalahan yang dia perbuat.
“Aku pergi, Citra. Tapi untuk kembali. Aku akan kembali kepadamu setelah kuselesaikan urusanku dengan Rani.” Firman mengambil koper dan melangkah gontai keluar kamar.
Firman menuruni tangga. Dari tempatnya, terlihat anak-anak mereka yang ceria bermain di ruang tengah. Hatinya berdenyut nyeri. Tidak! Semua tak boleh berakhir, guman Firman. Semua harus bertahan. Janjinya dalam hati.
“Papa mau kerja lagi?”
Rio yang sedang bermain di ruang tengah menghampiri papanya. Seperti bukan hal yang aneh melihat Firman keluar masuk rumah membawa koper. Sayangnya, Firman harus membayar pemahaman anak-anaknya dengan sebuah pengkianatan. Lelaki macam apa aku ini? gumamnya dalam hati.
Firman ingin menjerit. Matanya terasa panas, namun harus dia tahan, agar tak ada airmata yang mengalir.
“Iya, Sayang. Jaga mama, ya. Papa kerja dulu,” bohong Firman.
Dipeluknya buah hati tersayangnya. Tak lama Romi juga berlari menghampiri dan memeluk kaki Firman.
Firman semakin tak dapat menahan emosinya. Suara Rara digendongan Mba Susi dengan celotehan bayinya turut memanggil-manggilnya. Kepala Firman menjadi terasa pening. Namun, harus dia tahan.
Setelah mencium satu-satu kening anak-anak tercintanya, Firman pergi meninggalkan rumah. Tanpa pelukan dan ambaian tangan Citra yang biasa mengiringi kepergiannya.
Sementara, Citra menatap kosong kepergian Firman dari balik jendela kamar Rara. Ditariknya nafas panjang dan dikeluarkannya kembali. Waktulah yang akan dapat menyembuhkan lukanya.
***ETW***
Firman usai merapikan baju-bajunya ke dalam lemari di apartemennya. Dia terduduk termenung di sisi ranjang. Hanya kesunyian yang dia rasakan.
Enam tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama Citra, dia tak pernah merasakan sesunyi ini. Tahun pertama, rengekan manja dan cerewet Citra selalu memenuhi hari-harinya.
Tahun berganti bertambah suara anak-anak yang selalu menambah keceriaannya.
Meskipun lelah seharian bekerja, gelayut manja anak-anak dan istrinya adalah pengobat kepenatannya. Hingga, Firman merasakan silaunya kenikmatan sesaat di saat dia merasa kesepian di Surabaya. Harusnya, dia bisa menahan semua itu.
Firman baru menyadari, lima bulan lamanya dia hidup dalam kebohongan. Dan kini, setelah semuanya terbongkar, tak ada lagi tempat baginya bersembunyi. Hanya kesunyian yang dia dapat.
Firman mendesah.
Dua hari lagi Rani akan pindah ke Jakarta? Bagaimana kalau orang tua Rani mendesak agar ia segera mengurus dokumen pernikahan sah nya?
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri