Firman masih diam mematung di kamarnya, ketika bel apartemennya berbunyi. Mungkin hanya pengelola apartemen, batinnya. Karena hanya mereka yang bisa langsung naik hingga depan unitnya. Tamu yang tak punya kartu akses tak bisa langsung ke atas.
Firman beranjak, bergegas membuka pintu.
“KEJUTAN!” teriak Rani. Wanita muda itu sudah berdiri di depan pintu membawa dua buah koper besar dengan kedua tangan terentang siap memeluknya.
Mata Firman terbelalak. Tak menyangka, secepat itu istri mudanya datang. Untungnya Citra segera menyuruhnya pergi. Jika tidak? Bagaimana kalau Rani sampai tahu sebenarnya dia tak tinggal di tempat itu.
“Aku pindah Jakarta, Mas. Aku bahagia akhirnya bisa bersamamu!” Rani memeluk Firman yang masih mematung.
“Kenapa? Kamu kaget ya?” tanya Rani sambil mendorong kopernya masuk ke dalam.
Firman masih seperti bangun dari mimpi. Berkali-kali dia mengerjap, namun kemudian dia tersadar dan membantu Rani memasukkan barangnya ke apartemen.
“Aku sengaja nggak ngabarin kamu, Mas. Aku pengen ngasih kamu kejutan,” sambung Rani. Nada bicaranya sangat bersemangat. Dia sangat senang. Impiannya hidup bersama dengan Firman menjadi kenyataan.
“Lusa aku mulai kerja. Jadi, aku harus siap-siap,” jelas Rani.
Firman memperhatikan Rani, tapi ia tetap bungkam. Lidahnya terasa kelu meski sekedar hanya menanggapi ucapan Rani.
Beruntung hari ini dia segera memindah barangnya, kalau tidak? Apa yang harus dikatakannya kepada Rani.
“Wah, bajumu banyak juga. Kemaren hampir ngga ada,” kata Rani saat akan membereskan bajunya ke lemari. Satu persatu baju dikeluarkan dari koper dan dipindahkan ke lemari yang ada di kamar utama.
“Aku masukin laundry, Ran,” jawab Firman berbohong. Kini, Firman menyadari, kehadiran Rani justru menimbun kebohongannya. Dari hal kecil, hingga hal besar. Sampai kapan dia bertahan dalam kepalsuan?
Rani menyelesaikan urusan perlengkapan pribadinya, sebelum kemudian dia pindah ke dapur. Bagi wanita yang sudah berumah tangga, dapur adalah istananya.
“Mas, kayaknya kamu nggak punya apa-apa di kulkas. Sepertinya kita harus belanja,” kata Rani sambil mengecek kondisi dapur. Dibukanya satu persatu lemari kitchen set. Dia mulai membuat daftar di kepalanya, apa saja yang diperlukan.
“Besok aja, Ran. Sudah malam,” sahut Firman. Dia merasa sangat lelah dengan pikiran yang mendera. Tidak mood melakukan appaun. Ia ingin segera dituntaskan masalah pelik hidupnya, namun bagaimana caranya, Firman belum menemukan jalannya.
***ETW***
Pagi-pagi Firman sudah siap-siap mau ke kantor. Biasanya, dia minum kopi dan sarapan bersama anak-anak selama ada di Jakarta. Namun, hari ini, batinnya harus menjerit mengingat hal manis itu tidak dirasanya pagi ini.
Sebenarnya Firman sudah terbiasa dinas keluar kota. Tapi hari ini, kehilangan itu sangat terasa.
“Mas, aku mau buatkan kamu kopi, ternyata kita belum belanja,” kata Rani sambil duduk di sebelah Firman, seolah paham apa yang dipikirkan suaminya. Lima bulan bersama, saat ke Surabaya, Rani sudah hafal apa yang harus dilakukan di pagi hari.
“Hari ini aku belum kerja, jadi aku bisa belanja,” kata Rani kemudian. Sebagai bukan wanita rumahan, meski pun tinggal di kota yang baru baginya, namun tak membuatnya tak tahu apa-apa. Dia bisa mencari informasi lewat internet, dimana harus berbelanja, tanpa tergantung pada Firman.
Firman hanya mengangguk.
“Mas, aku ingin kita segera mengurus pernikahan kita. Nggak enak kita sudah tinggal berdua, tapi aku nggak pegang surat nikah.” Rani mengingatkan. Saat sudah pindah begini, pasti urusan jauh lebih mudah. Tidak ada lagi gangguan komunikasi.
Ucapan Rani seperti mengoyak hati Firman. Cepat atau lambat, pasti Rani akan segera minta dokumen pernikahan sah itu. Sebagai wanita terpelajar dan pegawai kantoran, pasti melaporkan status barunya sangat penting. Tak mungkin kalau dia harus mengatakan hanya menikah secara siri. Hanya mereka yang buta oleh cinta yang melakukannya, termasuk Firman!
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri