Share

BAB 6A

Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani. 

Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya. 

Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua. 

Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon. 

“Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga. 

Pikiran Citra menjadi kalut. Bagaimana kalau benar Rani akan mutasi ke Jakarta? Pasti cepat atau lambat semua bangkai ini akan tercium olehnya. Kenapa secepat itu? Kenapa harus lusa? 

Bisa jadi, Rani sudah lama mengajukan kepindahan, dan dia punya alasan kuat karena suaminya ada di Jakarta. Meski belum resmi, bisa jadi alasan itu dapat diterima secara personal oleh perusahaannya. Apalagi perusahaan tempat Rani bekerja pasti mengenal Firman, karena mereka dahulunya bekerja sama. 

“Halo, Halo … Citra? Masih di sana?” tanya Rani karena tidak mendengar respon dari Citra.

Suara Rani membuat Citra tersentak dari lamunan. “Iya, Ran. Aku turut seneng kalian bisa bersama,” jawab Citra dengan perasaan tak karuan. Dia tak dapat membayangkan nasib keluarganya ke depan. Terbanyang ketiga anak-anak mereka yang masih kecil dan butuh kasih sayang papanya. Bahkan selama ini mereka cukup dekat, haruskah terpisahkan dengan cepat? 

Citra sekuat tenaga menahan agar air matanya tak harus menetes. “Maaf, ya, Ran. Nanti kita sambung lagi. Aku dipanggil Bos," dalih Citra, tak mau memperpanjang pembicaraan, sekaligus ingin menutupi kepedihan hatinya. 

Citra menghela nafas setelah menutup telponnya. 

Sepertinya, dia harus segera menuntaskan masalah ini dengan Firman. Keputusannya sudah bulat. Sepertinya, dia sudah tak mampu bertahan dengan pengkianatan. Apapun alasannya. 

Citra kembali ke mejanya. Benaknya masih mengingat-ingat. Bagaimana bisa dia lima tahun hidup dalam pengkhianatan? Apakah dia bisa dengan mudah memaafkan dan melupakannya? Sementara kini, hatinya terasa sudah membeku. Setiap melihat Firman, rasanya hati tersayat sembilu. 

Kalau orang lain, bisa saja menyebut Rani seorang pelakor. Tapi, Citra tahu, Rani tidak salah. Firman lah yang membuka pintu untuk Rani. 

***ETW***

Tidak seperti biasanya, Citra ijin pulang lebih cepat. Keputusan berpisah dengan Firman harus segera dia selesaikan. Dia tak ingin lebih lama tersakiti. Keberadaan Rani di Jakarta tentu akan sangat menyakitkan jika masih bertahan dengan Firman. 

Sudah habis kepercayaannya terhadap Firman. Laki-laki itu hanya akan menebar kebohongan demi kebohongan untuk menyenangkan salah satu diantara mereka. Itu yang Citra tidak bisa terima. Buat apa berbahagia di atas kebohongan. Bukankah itu teramat menyakitkan? 

Segera Citra mengemas barang-barang pribadi milik Firman ke dalam koper. 

“Dik, apa yang kamu lakukan?” 

Lelaki itu sudah berdiri diambang pintu. Firman mendapati istrinya dengan isak tangis mengemas baju-bajunya ke dalam koper berukuran besar. Perempuan itu seolah tak mengindahkan ucapannya. Sesekali disekanya air mata yang membasahi wajahnya dengan lengan bajunya. 

“Stop! Hentikan!” Firman meraih tangan Citra. Ia merengkuh istrinya itu ke dalam pelukan. Tapi, lagi-lagi Citra berusaha menepiskannya. 

“Mas, kumohon. Bahagiakan Rani.” Suara Citra bergetar. Tangannya berhenti memasukkan pakaian ke dalam koper. Dia terduduk di lantai, di sebelah koper yang masih terbuka. Lengannya tak henti-henti menyeka air mata. 

“Mas, Rani akan pindah ke Jakarta. Segera kamu pindahkan bajumu ke apartemen, atau dia akan mengetahui kamu adalah laki-laki pecundang!” ucap Citra di antara isak tangisnya. 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Sakitnya dikhianati oleh suaminya membuat Citra sepertinya tidak bisa bersama dengan firman lagi
goodnovel comment avatar
Isabella
nangis mewek sampai kejer thoer. bagaimanapun aku tetep dukung firman dan istri ayahnya karena udah ada anak . tiga pula sedang Rani masih bisa di ceraikan karena belum terlambat dan tak ada anak
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
bodohhh bangett jadi orang, perasaan teman yg dipikirkann..harusnya pertahankan rumah tangga sendiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status