Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani.
Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya.
Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua.
Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon.
“Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga.
Pikiran Citra menjadi kalut. Bagaimana kalau benar Rani akan mutasi ke Jakarta? Pasti cepat atau lambat semua bangkai ini akan tercium olehnya. Kenapa secepat itu? Kenapa harus lusa?
Bisa jadi, Rani sudah lama mengajukan kepindahan, dan dia punya alasan kuat karena suaminya ada di Jakarta. Meski belum resmi, bisa jadi alasan itu dapat diterima secara personal oleh perusahaannya. Apalagi perusahaan tempat Rani bekerja pasti mengenal Firman, karena mereka dahulunya bekerja sama.
“Halo, Halo … Citra? Masih di sana?” tanya Rani karena tidak mendengar respon dari Citra.
Suara Rani membuat Citra tersentak dari lamunan. “Iya, Ran. Aku turut seneng kalian bisa bersama,” jawab Citra dengan perasaan tak karuan. Dia tak dapat membayangkan nasib keluarganya ke depan. Terbanyang ketiga anak-anak mereka yang masih kecil dan butuh kasih sayang papanya. Bahkan selama ini mereka cukup dekat, haruskah terpisahkan dengan cepat?
Citra sekuat tenaga menahan agar air matanya tak harus menetes. “Maaf, ya, Ran. Nanti kita sambung lagi. Aku dipanggil Bos," dalih Citra, tak mau memperpanjang pembicaraan, sekaligus ingin menutupi kepedihan hatinya.
Citra menghela nafas setelah menutup telponnya.
Sepertinya, dia harus segera menuntaskan masalah ini dengan Firman. Keputusannya sudah bulat. Sepertinya, dia sudah tak mampu bertahan dengan pengkianatan. Apapun alasannya.
Citra kembali ke mejanya. Benaknya masih mengingat-ingat. Bagaimana bisa dia lima tahun hidup dalam pengkhianatan? Apakah dia bisa dengan mudah memaafkan dan melupakannya? Sementara kini, hatinya terasa sudah membeku. Setiap melihat Firman, rasanya hati tersayat sembilu.
Kalau orang lain, bisa saja menyebut Rani seorang pelakor. Tapi, Citra tahu, Rani tidak salah. Firman lah yang membuka pintu untuk Rani.
***ETW***
Tidak seperti biasanya, Citra ijin pulang lebih cepat. Keputusan berpisah dengan Firman harus segera dia selesaikan. Dia tak ingin lebih lama tersakiti. Keberadaan Rani di Jakarta tentu akan sangat menyakitkan jika masih bertahan dengan Firman.
Sudah habis kepercayaannya terhadap Firman. Laki-laki itu hanya akan menebar kebohongan demi kebohongan untuk menyenangkan salah satu diantara mereka. Itu yang Citra tidak bisa terima. Buat apa berbahagia di atas kebohongan. Bukankah itu teramat menyakitkan?
Segera Citra mengemas barang-barang pribadi milik Firman ke dalam koper.
“Dik, apa yang kamu lakukan?”
Lelaki itu sudah berdiri diambang pintu. Firman mendapati istrinya dengan isak tangis mengemas baju-bajunya ke dalam koper berukuran besar. Perempuan itu seolah tak mengindahkan ucapannya. Sesekali disekanya air mata yang membasahi wajahnya dengan lengan bajunya.
“Stop! Hentikan!” Firman meraih tangan Citra. Ia merengkuh istrinya itu ke dalam pelukan. Tapi, lagi-lagi Citra berusaha menepiskannya.
“Mas, kumohon. Bahagiakan Rani.” Suara Citra bergetar. Tangannya berhenti memasukkan pakaian ke dalam koper. Dia terduduk di lantai, di sebelah koper yang masih terbuka. Lengannya tak henti-henti menyeka air mata.
“Mas, Rani akan pindah ke Jakarta. Segera kamu pindahkan bajumu ke apartemen, atau dia akan mengetahui kamu adalah laki-laki pecundang!” ucap Citra di antara isak tangisnya.
Firman mendorong troly berisi koper miliknya dan juga koper kepunyaan papa dan mamanya. Pagi itu mereka sudah mendarat di bandara Schipol Amsterdam. Jam di bandara masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Belanda. Ini adalah pertama kalinya Firman menginjakkan kaki di Belanda. Negeri dimana keempat anaknya dan mantan istrinya tinggal. Ada rasa ngilu menjalar di dadanya, bercampur dengan kerinduan. Ngilu mengingat kesalahannya yang berakibat hancurnya keluarga yang sudah sekian tahun dia bina bersama Citra. Hancur karena kesalahannya, terlena dengan kelembutan Citra. Tak dipungkirinya, setahun mereka berpisah, ada rindu yang menggelora dalam jiwanya. Rindu kepada Citra yang tak kan mungkin bisa kembali lagi. Rindu kepada ke empat anaknya, terutama Reva yang mungkin belum pernah merasakan belaian kasih sayangnya. “Man, itu adikmu di sebelah sana,” ujar Mama Firman saat melihat Farhan melambaikan tangan dari arah pintu keluar. Papa dan Mama Firman segera beranjak menghampiri Farha
“Aku minta maaf atas kejadian tadi,” kata Farhan usai Citra menidurkan anak-anaknya. Farhan mendekati Citra yang sudah duduk di sisi ranjang. Lalu ia duduk disebelahnya. “Kali ini, tolong dengarkan aku, Citra,” tukas Farhan lagi. Dipandanginya wajah istrinya yang tampak masih kecewa. “Han, sampai kapan kamu membenci Rani?” tanya Citra. Citra memang kadang lupa memanggil ‘mas’ ke Farhan, karena memang mereka dulu berteman dan mantan adik iparnya. Tapi, Farhan tak masalah. Citra memang perlu waktu untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya setelah sepuluh tahun menganggapnya bukan siapa-siapa. “Aku tidak membenci Rani. Aku tidak suka dengan kelakuannya. Nih lihat!” Farhan mengangsurkan ponselnya ke Citra. Mata Citra membulat sempurna. Di gambar itu terlihat Rani sedang dibantu berjalan oleh Farhan. Tangannya merangkul ke pundak Farhan. Sedang Farhan memeluk pinggang Rani. Dan Rani menggunakan pakaian terbuka. Sangat berbeda dengan tampilan tadi saat berkunjung ke rumah mereka.
Farhan tidak habis mengerti dengan Citra. Jelas-jelas Rani menunjukkan gelagat yang kurang baik. Tapi, masih bisa-bisanya Citra selalu membelanya. Dalam banyak hal, Citra memang terlalu banyak berprasangka baik ke orang lain. Itu juga yang membuatnya terjatuh saat bersama Firman. Tak pernah sekalipun ada rasa curiga ke suaminya, hingga akhirnya Citra melihat dengan mata kepalanya sendiri kenyataan yang ada. Akhirnya, Farhan harus mengalah. Tak ada gunanya terus menerus berdebat dengan Citra. Ini masalah kecil. Tapi jadi rumit jika tidak segera diatasi. Farhan segera mengambil ponselnya. Lalu memblokir semua akses yang mengarah ke Rani. Tak lupa, ponsel Citra yang biasanya hanya diletakkan di ruang tamu, juga diblokkir aksesnya dengan sahabat istrinya itu. Farhan tak mau ada duri dalam daging dalam keluarganya. ***“Rani?! Sejak kapan kamu di sini?” tanya Citra yang baru pulang menjemput Romi. Dilihatnya Rani sedang berdiri di ambang pintu rumahnya. “Setengah jam yang lalu. Ponselm
“Ran, kamu turun sini ya. Tinggal lanjut naik kereta ke Amsterdam,” kata Citra saat mobil Farhan minggir di dekat stasiun Den haag. Farhan sama sekali tidak ada niat mengantarkan Rani. Toh dia juga sebenarnya tidak diajak, pikir Farhan. Bahkan, sepanjang perjalanan Farhan tidak berniat mengajak Rani bicara. Mereka sudah pulang dari Paris setelah menghabiskan akhir pekan di negeri Napoleon itu. Bagi Farhan, kehadiran Rani menghancurkan segala rencananya. Namun, tak ada gurat kecewa di wajah Citra. Wanita itu selalu saja merasa baik-baik saja. Bahkan, beberapa kali berusaha menghibur suaminya yang terus saja menunjukkan kekesalannya. Namun, kini Citra harus mengalah saat Farhan memutuskan untuk menurunkan Rani di depan stasiun. Farhan hanya tak mengerti. Sampai sebegitunya Citra harus mengorbankan perasaannya demi sahabatnya. Kadang Farhan berfikir dia tak salah memilih istri. Meski sudah punya empat anak, tapi hatinya bak bidadari. Tapi, kalau sudah berlebihan, dia tak tahan juga. K
Tok tok tok“Citra!”panggil Rani sambil mengetuk pintu kamar Citra dan Farhan. Hari sudah malam, tapi Rani belum juga dapat memicingkan matanya.“See?” ucap Farhan sambil menatap tajam ke Citra, seolah memberi isyarat bahwa apa mengajak Rani ke Paris adalah keputusan yang keliru. “Maaf,” tukas Citra dengan nada bersalah. Citra segera menyambar kimono tidurnya dan keluar kamar menemui Rani. “Ada apa Ran?” tanya Citra sambil menutup kembali pintu kamarnya. “Temeni aku, dong. Aku nggak bisa tidur,” kata Rani sambil menarik tangan Citra menuju kamarnya.Dulu saat masih SMA Citra dengan Rani memang akrab. Mereka sering menginap bersama dan cerita-cerita sampai mereka mengantuk. “Jadi, aku pengen melupakan masa laluku, Cit. Makanya aku bela-belain kuliah sampai sini. Aku pikir, aku tidak akan bertemu siapapun orang yang pernah kukenal. Taunya, malah ketemu kamu. Dunia sempit, ya!” ujar Rani. Rani lantas melanjutkan ceritanya mengenai studinya. Tentu saja bukan hal yang sulit bagi Rani
“Ayo sayang, kita berangkat sekarang,” kata Farhan sambil menggendong Reva. Lalu ia meletakkan bayi mungil itu ke car seat yang ada di baris ke dua mobilnya. Sedang Rio dan Romi sudah siap di bangku belakang. Tak lama, Rara pun ikut duduk di car seat sebelah Reva. Akhir pekan ini, seperti janji Farhan, dia akan mengajak Citra liburan ke Perancis. Negara yang tak jauh dari Belanda ini. Jarak Paris dari Den haag hanya memakan waktu empat jam perjalanan. Farhan sengaja berangkat pagi-pagi, agar ia dapat mengajak Citra dan anak-anaknya keliling di beberapa tempat tujuan wisata di kota Paris. Besoknya, mereka akan mengajak anak-anak ke Disneyland. “Tunggu!” Baru saja Farhan akan menjalankan mobilnya ketika sebuah panggilan dalam bahasa Indonesia mengagetkan mereka. “Rani?” Farhan dan Citra saling berpandangan. Mengapa Rani sudah berada di sini sepagi ini? Gumam Farhan. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya? Apa Citra memberitahukannya? Citra segera keluar dari mobil untuk menghampiri