PLAK!!
Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sekar.
Sekar jelas kaget. Ia memegang pipinya yang panas seraya perlahan mengangkat wajah, menatap wajah Wira.
“Mas, kamu menamparku?” lirihnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya.
“Itu memang pantas untukmu, Sekar! Aku tidak menyangka kalau kau sekeji ini. Kau tahu kalau aku sangat mendambakan seorang anak, tapi kau telah membunuhnya.” Wira menatap Sekar dengan tatapan penuh amarah dan tuduhan yang menyesakkan dada.
Sekar tidak mampu menahan air matanya. Tidak hanya pipinya saja yang panas, tapi hatinya juga. Bahkan hatinya jauh lebih pedih dibandingkan rasa sakit yang kini ia rasakan di pipinya.
“Mas…,” ucap Sekar dengan suara gemetar. “Selama ini aku masih mencoba untuk bertahan karena aku masih percaya ada cinta di hatimu untukku. Tapi jangankan cinta, kepercayaanmu pun kini sudah punah. Bahkan kau begitu percaya pada Amara
Hujan deras menggedor atap rumah seperti irama tak sabar yang ditabuh alam. Petir sesekali menyambar, membelah langit dengan cahaya menyilaukan. Malam ini warung Sekar terpaksa tutup lebih awal. Bukan hanya karena badai yang membuat pelanggan enggan keluar rumah, tetapi juga karena pikirannya sendiri tengah dihantam badai yang lebih besar—di dalam hati.Di dalam kamar, Raka sudah terlelap. Bocah empat tahun itu tak terganggu sedikit pun oleh suara gemuruh dari luar. Sementara ibunya, masih setia menatap jendela ruang tamu. Matanya terpaku pada bulir-bulir air hujan yang berlomba di kaca, namun pikirannya entah mengembara ke mana.“Sekar, minum dulu,” ucap Nunung lembut, menyodorkan secangkir wedang jahe yang masih mengepulkan uap hangat.Sekar menyambutnya dengan senyum tipis. “Terima kasih, Bude.”Nunung ikut duduk di sampingnya, membiarkan keheningan menyelimuti beberapa saat sebelum akhirnya bicara.“Sekar, ma
Pukul tujuh malam, kediaman orang tua Wira.“Ada apa, Bu? Sepertinya penting sekali,” ucap Wira setelah memasuki ruang tamu rumah orang tuanya. Wajahnya tampak lelah, namun tetap menunjukkan hormat.“Duduk dulu, Nak. Ibu dan Bapak mau bicara.” Suara Ibu Dian terdengar tenang, namun ada ketegangan tersembunyi di balik nada lembutnya.Wira mendesah pelan. Ia menuruti permintaan itu dan duduk di salah satu sofa panjang berlapis kain beludru cokelat. Rumah itu terasa sangat familiar, namun malam ini hawa di dalamnya begitu berbeda—ada yang mengganjal, yang membuatnya tidak tenang.“Tadi, Bapak dan Ibu pergi ke Depok,” Dian memulai. “Kami menghadiri undangan pernikahan anaknya teman lama Bapakmu.”Wira menoleh sebentar, alisnya terangkat sekilas. “Lalu?”“Kami bertemu dengan Sekar di sana.” Dian menatap lekat wajah putranya, mencoba menangkap setiap perubahan reaksi.Sekilas, wajah Wira tampak mengeras. Ia menghela napas panjang, lalu mulai bangkit dari duduknya.“Mau ke mana kamu, Wira?”
Jam dinding menunjukkan pukul dua siang. Di hadapan cermin, Sekar mematut dirinya dengan setelan rok sederhana berwarna pastel yang jatuh anggun di tubuhnya. Meski busananya tidak mewah, aura elegan tetap terpancar dari sosok perempuan itu. Hari ini, ia akan menghadiri pesta pernikahan bersama Raka.“Mama, mama cantik banget,” puji Raka tulus, matanya berbinar menatap ibunya.Sekar tersenyum, hatinya hangat. Padahal ia hanya memoles wajah dengan bedak tipis, sedikit perona pipi warna peach, dan lipstik lembut. Alisnya pun tak perlu digambar—sudah lebat dan indah sejak lahir. Tak ada riasan berat, namun pesonanya tetap terpancar. Ia memang dikaruniai kecantikan alami yang tak pernah mencolok, tapi menenangkan.“Raka juga tampan. Raka adalah cowok paling ganteng dan paling mama cintai,” balas Sekar sambil memeluk Raka erat, mengangkatnya sejenak lalu menurunkannya kembali dengan lembut.“Mama bisa aja. Kita berangkat sekarang?” tanya Raka bersemangat. Wajah kecilnya tampak antusias memb
Hari itu, wajah Raka berseri-seri penuh suka cita. Ia tampak begitu bahagia, memancarkan aura yang jarang terlihat. Tawa kecilnya melengking di antara keramaian anak-anak seusianya yang ikut serta dalam pesta ulang tahun sederhana itu. Balon warna-warni, kue kecil dengan lilin mungil di atasnya, dan suara tawa yang memecah keheningan sore—semuanya menjadi saksi betapa berarti momen itu bagi seorang bocah empat tahun yang belum pernah merayakan ulang tahun dengan teman-temannya sebelumnya.Acara pun perlahan usai. Satu per satu anak-anak berpamitan.“Raka, makasih ya atas pestanya,” ucap Mutia, teman dekat Raka dengan rambut dikepang dua.“Iya, tapi kalian suka kan pestanya?” tanya Raka penuh semangat. “Oiya, besok kita main ya. Aku udah punya mainan truk besar, lho. Om Ardi yang beliin.”Ia menunjuk ke arah Ardi yang tengah duduk santai di bangku teras, mengobrol hangat dengan Rozak.“Om itu baik, ya. Kamu suka dibeliin ini dan itu,” celetuk Mutia sembari memeluk bingkisan kecilnya. “
Beberapa tahun kemudian…Hari-hari berlalu bagai hembusan angin—kadang terasa, kadang tak disadari telah lewat. Begitu pula hidup Sekar. Luka-luka masa lalu yang dulu menganga, kini telah mengering. Sekar perlahan melangkah dari kelamnya kisah cinta, menata harapan baru bersama cahaya kecil yang kini menjadi pusat semestanya: Raka.Anak itu adalah jantung hidupnya, denyut di setiap napasnya. Sejak Raka hadir, dunia Sekar tak lagi sama. Tangis berganti tawa, sunyi berganti riuh celoteh. Raka telah membawa warna dalam hidup yang dulu hanya diwarnai hitam dan abu-abu.Raka kini genap empat tahun. Wajahnya tampan, matanya cemerlang seperti bintang pagi, dan keceriaannya mampu mencairkan segala beku di hati siapa pun yang melihatnya. Menjelang ulang tahunnya, Sekar telah menyiapkan pesta kecil. Sederhana, namun penuh cinta.“Mama, Mama nggak lupa undang Neni, Rudi, Angga, sama Mutia, kan? Mereka sahabatnya Raka. Pokoknya mereka harus datang, ya!” Raka menyambut hari istimewanya dengan antu
“Ada apa, Bu? Apa Sekar baik-baik saja?” tanya Nunung dengan wajah penuh kecemasan. Nadanya gentar, sementara matanya tak lepas dari raut pucat Sekar yang duduk memegangi perutnya.Bidan Ratna mendekat, lalu menyerahkan sebuah benda pipih kepada Sekar. Tangannya hangat, lembut seperti biasa, tapi kali ini ada getaran haru yang menyelip di suaranya.“Sekar... selamat, ya,” ucapnya pelan, namun jelas. “Sakit yang kamu rasakan bukan sekadar sakit biasa. Itu adalah awal dari kebahagiaan dalam rumah tanggamu. Kamu hamil, Sekar.”Senyuman mengembang di bibir sang bidan, menenangkan dan menghangatkan.Sekar terdiam. Dunia seakan berhenti berputar untuk sesaat. Kedua matanya memandang tak percaya pada testpack di tangannya—tangan yang gemetar hebat. Ia memeriksa hasilnya dengan cermat, berharap matanya keliru. Tapi tidak… dua garis merah itu sangat jelas. Tidak samar. Nyata.“Bu... apakah ini benar?” tanyanya lirih, suaranya nyaris patah oleh isak yang tertahan.“Kapan terakhir kamu haid?” ta
Langit Depok mendung sore itu, seolah menyambut langkah berat seorang wanita muda yang baru saja menanggalkan statusnya sebagai istri. Sekar berdiri di depan rumah milik ke dua orang tuanya dengan pandangan kosong. Tangannya menggenggam erat pegangan koper, meski tubuhnya terasa ringan, hatinya penuh beban.Nunung dan Rozak segera keluar menyambut, menyembunyikan duka yang mereka rasakan dalam senyum tipis dan tatapan penuh kasih. Mereka sudah mendengar kabar tentang perpisahan itu dari Sekar sendiri, tapi tetap saja pertemuan ini menyisakan getir.“Kamu pasti kuat, Nak,” ucap Nunung, memeluk Sekar erat. Suaranya serak, namun hangat, seperti pelukan seorang ibu yang ingin meredakan badai dalam dada anaknya.Sekar membalas pelukan itu dengan lemah. Ia mengangguk, berusaha mati-matian menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk. Menjadi janda bukan hanya status, tapi juga luka yang harus disembunyikan. Ini adalah keputusan paling nekat yang pernah ia ambil, dan sekarang, ia harus beran
Pukul satu dini hari.Kediaman Sekar sunyi, hanya suara jangkrik yang bersahut-sahutan di luar jendela. Namun ketenangan malam itu mendadak pecah oleh suara mobil yang berhenti mendadak di halaman.Deru mesin terdengar keras, seperti kendaraan yang dikemudikan tanpa kendali. Pintu mobil terbuka, dan sesosok tubuh tinggi turun dengan langkah yang limbung. Wira. Suami Sekar. Suami sahnya. Dan juga suami siri Amara.Dengan langkah tertatih, Wira mendekati pintu rumah. Tangannya terangkat, mengetuk pelan namun tak berirama. Tak ada jawaban dari dalam. Ia lalu memencet bel, berkali-kali. Hampir seperti orang panik.Tak lama, pintu terbuka cepat. Sekar muncul dari balik pintu dengan wajah terkejut.“Mas? Kamu mabuk?” serunya, nyaris tak percaya melihat kondisi pria yang dulu ia cintai tanpa syarat. Rambut Wira acak-acakan, wajahnya merah padam, dan tubuhnya berbau alkohol menyengat.Tanpa menjawab, Wira masuk dengan sempoyongan. Senyum tipis menggantung di bibirnya, entah karena rindu, atau
“Mas…”Amara mengejar Wira yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang poli kebidanan. Wira pergi dalam keadaan marah, sementara Dian masih mematung di depan pintu, wajahnya tampak kosong, terkejut.“Mas, tunggu aku!” seru Amara, lalu menggenggam lengan Wira dengan kuat. Tindakannya menarik perhatian beberapa orang yang melintas di lorong rumah sakit. Tapi Amara tak peduli.Wira berhenti sejenak, menoleh pelan. “Aku tidak menyangka kalau kamu berbohong sejauh ini, Amara.” Suaranya rendah, tapi tajam dan dingin, seperti es yang membekukan hati. Ia menjaga nada suaranya agar tidak membuat keributan. Hasil lab memperkuat diagnose kalau sebenarnya Amara sama sekali tidak pernah hamil, apalagi keguguran.Tanpa menunggu jawaban, Wira melangkah cepat menuju parkiran. Amara mengejarnya, mencoba menyamakan langkah.Begitu sampai, Wira langsung masuk ke dalam mobilnya. Namun Amara dengan sigap ikut masuk ke kursi penumpang depan, tanpa diundang.Wira menghela napas panjang. “Turun,” ucapnya lirih