Malam telah turun sempurna ketika Ardi berdiri seorang diri di balik dinding lorong rumah sakit. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian ruang bermain anak yang sore tadi cukup ramai. Lampunya kini temaram, kursi-kursi kecil tersusun rapi, dan mainan berserakan seperti bekas tawa yang belum sempat dibereskan.
Tapi yang tertinggal di benaknya bukan mainan atau tawa bocah.
Melainkan sorot mata.
Sorot mata Raka saat memeluk Wira seperti dunia di sekitarnya berhenti sejenak. Bocah itu—anak kecil yang biasanya penuh waspada saat Wira dekati—tersenyum sangat lebar sore tadi. Bahkan saat Raka tertidur dalam pelukan mantan suami Sekar itu, ia tampak sangat... damai.
Dan yang lebih menohok hati Ardi—adalah saat ia mencuri pandang ke arah Sekar.
Ia tidak tertangkap basah, tentu saja. Tapi ia melihatnya dengan jelas. Waktu Sekar berdiri tak jauh dari pelukan itu, matanya menyiratkan sesuatu yang tak pernah Ardi lihat selama ini.
Malam telah turun sempurna ketika Ardi berdiri seorang diri di balik dinding lorong rumah sakit. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian ruang bermain anak yang sore tadi cukup ramai. Lampunya kini temaram, kursi-kursi kecil tersusun rapi, dan mainan berserakan seperti bekas tawa yang belum sempat dibereskan.Tapi yang tertinggal di benaknya bukan mainan atau tawa bocah.Melainkan sorot mata.Sorot mata Raka saat memeluk Wira seperti dunia di sekitarnya berhenti sejenak. Bocah itu—anak kecil yang biasanya penuh waspada saat Wira dekati—tersenyum sangat lebar sore tadi. Bahkan saat Raka tertidur dalam pelukan mantan suami Sekar itu, ia tampak sangat... damai.Dan yang lebih menohok hati Ardi—adalah saat ia mencuri pandang ke arah Sekar.Ia tidak tertangkap basah, tentu saja. Tapi ia melihatnya dengan jelas. Waktu Sekar berdiri tak jauh dari pelukan itu, matanya menyiratkan sesuatu yang tak pernah Ardi lihat selama ini.
Pelukan itu terasa lama. Wira tidak ingin melepaskannya. Bahkan ketika Raka sudah mulai menggeliat, berusaha mencari posisi nyaman di pangkuannya, Wira tetap erat memeluk tubuh kecil itu seakan tak ingin kehilangan momen lagi.“Papa… Raka pengap,” gumam Raka pelan, meski tawanya tetap terdengar.Wira tersadar, ia buru-buru mengendurkan pelukannya. “Aduh, maaf, Sayang. Papa terlalu bahagia sampai lupa kalau Raka juga butuh napas.”Raka tertawa geli. Ia menengadah, menatap wajah sang ayah. “Papa tuh kayak bantal peluk. Tapi bantal peluk yang bisa ngomong dan nangis.”Sontak ruangan itu dipenuhi tawa. Sekar yang berdiri di dekat pintu ikut tersenyum kecil, meski hatinya masih berkecamuk. Dian menahan air matanya yang mulai menggenang lagi, sedangkan Suryo sibuk berpura-pura menyeka keringat di pelipis.“Kalau gitu, mulai sekarang papa resmi jadi bantal peluk Raka. Tapi khusus untuk Raka saja ya. Orang lain dilarang peluk!” ucap Wira, ikut bercanda.“Deal!” sahut Raka ceria. “Tapi nanti k
“Jadi, Nenek dan Kakek tinggal di Jakarta sama Papa?” tanya Raka, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Ia sangat antusias berbincang dengan Dian dan Suryo, dua orang yang baru dikenalnya tapi langsung membuatnya merasa nyaman.“Kemarin-kemarin sih enggak,” jawab Dian sambil tersenyum hangat. “Karena Papanya Raka masih tinggal di rumahnya Raka. Tapi kayaknya setelah ini, Papa akan pindah ke rumah Nenek dan Kakek.”“Lho, kenapa?” Raka mengerutkan dahi, bingung.“Itu karena Papa sudah memberikan rumah itu pada Mama. Jadi, rumah itu sekarang miliknya Mama dan Raka,” Dian mencoba menjelaskan sesederhana mungkin, namun tetap terdengar berat.Raka masih belum paham. Ekspresinya menunjukkan rasa penasaran yang belum terjawab.Sekar pun mendekat, lalu menyentuh bahu putranya dengan lembut. “Sayang… Jadi dulu, ketika Mama dan Papa pisah, Mama pergi dari Jakarta ke Depok. Nah, daripada rumah di Jakarta itu kosong, akhirnya Papa yang tinggal di sana. Tapi karena sekarang Raka udah ada dan ting
“Assalamu’alaikum…,” sapa Ardi sambil melangkah masuk ke ruang rawat Raka. Di tangannya, ada keranjang buah segar, buket bunga kecil berwarna cerah, dan sebuah kantong berisi mobil robot yang pastinya akan membuat mata bocah itu berbinar.“Wa’alaikumussalam… Om Ardi,” sahut Raka sambil tersenyum manis. Tubuh kecilnya kini sudah mampu duduk meski kedua kakinya masih dibalut perban tebal. Ada rona cerah yang kembali menghiasi wajah mungilnya.“Masyaa Allah, Raka sudah bisa duduk. Nggak sakit lagi, Nak?” tanya Ardi, matanya berbinar penuh haru. Ia nyaris tak percaya bocah yang kemarin pucat dan lemah itu kini sudah duduk dengan senyum yang cerah menghiasi wajahnya.“Alhamdulillah, Om. Semua ini berkat papa. Kalau nggak ada papa, mungkin Raka nggak akan selamat,” ucapnya tulus, senyumnya merekah, polos dan penuh rasa syukur.Namun, senyum itu justru menyayat hati Ardi. Ada sebersit luka yang singgah di hatinya, begitu cepat dan menyakitkan. Senyuman di wajahnya sempat pudar, meski hanya s
“Wira…” Dian masuk ke ruang rawat dengan langkah tergesa, ditemani Suryo, suaminya. Begitu melihat putra tunggalnya itu terbaring lemah, hatinya seolah diremas. Matanya merah, menahan tangis yang sejak tadi menggenang di pelupuk.“Ibu…” Wira menyambut dengan senyum tipis meski tubuhnya masih lemas dan wajahnya pucat pasi. “Kenapa Ibu menangis?”Senyumnya yang berusaha menenangkan justru membuat hati Dian semakin tersayat. Ia tahu betul betapa besar penderitaan yang ditanggung putranya dalam beberapa hari terakhir. Meski baru hitungan hari, luka dan rasa sakit yang diderita Wira seolah menumpuk bertahun-tahun.“Ibu tak apa-apa, Nak,” ucap Dian lirih, menyeka air mata yang tak bisa dibendung lagi. “Ibu hanya sedih melihat kamu seperti ini.”“Ibu jangan menangis, ya. Aku baik-baik saja, sungguh…” ucap Wira, masih berusaha tersenyum walau suaranya terdengar lemah. “Ibu sudah lihat Raka?”Dian menggeleng pelan. “Belum, Nak. Ibu dan Bapak langsung ke sini begitu tahu kamu pingsan. Belum sem
Pukul dua dini hari.Lampu-lampu lorong rumah sakit menyala temaram, menyisakan bayangan panjang yang menari di antara langkah-langkah resah. Raka baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap setelah kondisi tubuhnya dinyatakan stabil. Luka di kakinya ternyata tidak separah yang dikhawatirkan sebelumnya. Tulangnya hanya retak, bukan patah. Tidak perlu operasi. Namun tetap saja, robekan yang cukup panjang dan dalam membuat darah yang keluar begitu banyak, nyaris mengancam nyawanya.Sekar mengusap wajahnya yang lelah, tetapi setidaknya satu beban besar telah terangkat dari dadanya.“Mas, pulanglah. Di sini ada Bude yang menemani. Aku akan baik-baik saja,” ujar Sekar lirih kepada Ardi, di depan pintu kamar rawat inap.Sementara itu, Wira duduk sendiri di kursi tunggu tidak jauh dari mereka. Ia seperti bayangan yang tak dianggap, terdiam dalam kelelahan, matanya menatap layar ponsel tanpa benar-benar melihat isinya. Keberadaannya tak disentuh, seolah tidak nyata.“Aku tidak akan meninggalkan
“Bagaimana keadaan Raka sekarang?” tanya Ardi begitu tiba di rumah sakit. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya penuh kekhawatiran. Ia baru saja kembali dari Jakarta, meninggalkan semua urusan bisnisnya demi satu hal: memastikan keselamatan anak Sekar.Sekar menghapus air matanya cepat-cepat. Ia menatap Ardi yang berdiri di hadapannya dengan napas tak beraturan. “Ayo ikut aku,” ucapnya lirih, kemudian berjalan lebih dulu menuju ruang IGD.Di ruangan itu, Raka telah dipindahkan ke tempat yang lebih luas dan tenang. Tak lagi berdekatan dengan pintu utama IGD. Tubuh kecil itu butuh penanganan intensif—dan yang mengejutkan Ardi, bukan hanya Raka yang terbaring di sana.Begitu pintu terbuka, Ardi tertegun. Dua ranjang berjejer. Di satu sisi, tubuh kecil Raka tampak pucat dan tak bergerak. Di sisi lain, Wira terbaring dengan selang transfusi darah terhubung langsung ke tubuh putranya. Vena ke vena.“Sekar…” Ardi menahan napas. “Bukankah transfusi langsung seperti itu sangat berisiko?”S
“Raka! Nak… Raka, bangun, Sayang…!”Sekar panik bukan main. Napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seperti akan meledak melihat tubuh mungil putranya terkapar tak sadarkan diri di atas tanah becek, basah kuyup oleh hujan yang belum juga reda. Darah mengucur deras dari kaki Raka yang tertimpa sebuah ranting pohon besar. Sekar terus menepuk pipi putranya, berusaha keras menyadarkan si kecil yang begitu dicintainya.“Ya Allah… tolong… Raka, bangun, Nak. Ini mama, Sayang. Tolong buka matamu, Nak...”Tangis Sekar pecah seketika. Seluruh tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga karena ketakutan yang tak mampu dijelaskannya dengan kata-kata.Sementara itu, mobil yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan semampunya di tengah hujan deras yang mengguyur tanpa ampun.“Mas, tolong cepat! Anak saya pingsan!” serunya pada pria yang duduk di balik kemudi.“Sabar, Mbak S
“Raka...”Suara itu terdengar lirih namun penuh kerinduan dari balik pagar tempat les tahfidz. Wira berdiri di sana, memegangi jeruji besi yang dingin, wajahnya setengah basah oleh gerimis yang belum juga reda sejak sore tadi. Entah sudah berapa lama ia menunggu di sana, tapi sorot matanya tak pernah lepas dari seorang bocah yang sedang duduk di kursi tunggu.Raka menoleh pelan. Keningnya mengernyit ketika melihat pria asing yang menyebut namanya.“Raka kenal sama om itu?” tanya salah satu guru yang bertugas menjaga gerbang.Anak itu menggeleng cepat, lalu kembali menunduk, menanti jemputan seperti biasa.“Ustazah, maaf… Saya ini ayah kandung Raka,” ucap Wira dengan nada penuh harap. “Coba tanyakan padanya. Mungkin… mungkin dia masih marah karena saya meninggalkannya selama ini.”Guru itu melangkah mendekati Raka, menatap bocah itu dengan lembut. “Raka sayang… Benarkah om itu papa kandungmu? Tapi ingat, Nak, jangan berbohong. Allah tahu apa yang disembunyikan hamba-Nya.”Raka diam sej