Hari ketiga setelah Mas Arsya terluka, wajahnya sedikit membaik. Paling tidak, beberapa luka lebamnya sedikit pudar. Meskipun kami lebih banyak saling diam, setidaknya situasi di sini lebih tenang. Tidak ada Jihan, Adam, ataupun Dokter Fahira. Pagi ini, aku menemani Ibu di kebun. Aku memetik daun bayam, sedangkan Ibu memetik cabai dan tomat. Kami akan memasak sayur bayam dan membuat sambal. Untuk gorengannya, Ibu sudah membeli beberapa papan tempe dan ayam potong. "Bu, ini buah apa?" tanyaku menunjuk tanaman dalam pot yang sudah berbuah. Seperti hasil cangkok sehingga meskipun belum terlalu besar, tanamannya sudah bisa berbuah. "Itu cermai, Nak. Ayahmu yang beli sebulan lalu. Manis buahnya, cobain aja," sahut Ibu yang masih sibuk memetik cabai. Aku yang penasaran, langsung berjongkok di hadapan tanaman itu dan memetik buah mungil yang sudah berwarna kekuningan. Ibu benar, rasanya manis sekali. Aku bahkan tidak ingin berhenti memakannya. Satu buah, dua buah, tiga buah ... ah, sudah
Aku meninggalkan Mas Danu yang tadi pamit ke toilet. Kemudian, menyusul Kaniya dan Adam yang sedari tadi menjadi fokusku di dalam studio bioskop. Kenapa mereka bisa jalan berdua? Bergandengan tangan, mesra pula? Aku terus membuntuti mereka sampai areal foodcourt. Tanpa pikir panjang, aku duduk di kursi yang satu meja dengan mereka. Kaniya tersenyum lebar saat melihatku, tapi tidak dengan Adam. Kaniya langsung memelukku dan berkicau layaknya burung. Pertanyaan beruntun keluar dari mulut mungilnya sampai aku kebingungan bagaimana menjawabnya. Sementara aku dan Kaniya sedang melepas rindu, terlihat Adam justru merogoh saku celana. Dia mengeluarkan ponsel. "Jangan hubungi Mas Arsya atau siapa pun!" gertakku seraya menatap tajam ke arah Adam. Kaniya menyentak, menyebut namaku sambil menepuk lenganku. Dia mungkin bingung dengan caraku berbicara dengan Adam. Sebelumnya, aku sangat menghormati pemilik daycare itu, tapi tidak sekarang. "Aku mau kalian jujur, terutama Mas Adam. Apa yang se
Aku terus beristigfar sepanjang perjalanan menuju rumah Mas Arsya. Mengingat foto Jihan yang dipapah Mas Arsya masuk ke rumah kami yang diperlihatkan oleh Mas Danu, rasanya sangat menyakitkan. Namun, aku harus memastikan secara langsung sekaligus meminta kepastian. Aku bahkan tidak perlu lagi penjelasan karena semua bukti bisa bicara. Saat taksi yang aku dan Mas Danu tumpangi sampai di depan rumah Mas Arsya, aku langsung turun. Aku pun mendapati mobil Mas Arsya di halaman. Malam-malam begini, pintu rumah terbuka lebar dan lampu menyala begitu benderang. Perempuan yang entah sejak kapan menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku sedang duduk di ruang tamu sambil menekuri ponsel. Dia masih belum sadar kehadiranku. "Ada tamu rupanya?" kataku sesantai mungkin. Jihan gelagapan dan langsung bangkit dari duduk. Dia menatapku dengan raut terkejut. Dari bola matanya yang terus beredar, aku tahu dia tidak tenang dan kebingungan. "Ma–Manda? Kamu—" Ucapan Jihan dipotong oleh suara dari dalam.
Aku tidak tahu kapan kembali ke hotel. Yang kutahu, ini sudah masuk waktu Subuh dan aku bangun di atas kasur empuk. Pandangan ini menelisik sekitar yang cahayanya tidak terlalu terang, Mas Danu tengah terlelap di sofa dengan kedua tangan terlipat di dada. Ah iya, aku ingat ini di mana. Ini kamar hotel tempat kami menginap. Mungkinkah aku tertidur saat di taman? Memalukan, Manda!Aku begitu beruntung punya kakak seperti Mas Danu. Namun, saat teringat apa yang terjadi semalam, kembali dada ini terasa sesak. Apakah keputusanku sudah benar? Atau ini hanya tipu daya syetan yang suka akan perceraian? Entahlah. Aku segera bangkit untuk mengambil wudu. Saat keluar dari kamar mandi, kudapati suara dering ponsel yang tidak begitu nyaring. Itu suara alarm yang biasa kusetel setiap hari. Kucari dalam tas, tapi tidak ada. Kutajamkan pendengaran dan mengikuti arah suara. Ponselku ada di balik bantal Mas Danu. Gegas kuraih ponsel itu dan mematikan alarmnya. Saat baru saja kumatikan alarm, notifik
Aku terus menunduk dan memakai tudung jaket saat keluar dari kamar hotel. Malu pastinya harus jalan berdua dengan perempuan jadi-jadian. Meskipun begitu, mata ini sesekali melirik ke sekitar, setiap orang yang kami lewati menatap aneh dan banyak juga yang menertawakan. Akan tetapi, Mas Danu dengan percaya diri justru berjalan melenggak-lenggok seperti layaknya perempuan. Bahkan, dia tidak segan menyapa orang-orang dengan gaya lemah gemulai. Sampai di lobi, taksi yang kami pesan pun sudah menunggu. Tak perlu basa-basi, kami langsung masuk dan sama-sama menghela napas lega. Kemudian, kami tertawa puas tanpa peduli si sopir yang kulihat mencuri-curi pandang dari kaca spion di atasnya. "Pantes nggak, Nda?" tanya Mas Danu di sela derai tawa. "Banget, Mas. Tapi, malunya juga kebangetan. Nggak lagi-lagi, deh!" sahutku sambil sesekali tertawa juga, lalu membuka tudung jaket dari kepala. Hanya beberapa menit berselang, taksi pun berhenti di depan sebuah toko pakaian. Aku pun langsung turu
Saat sinar sang raja siang mulai terik, Mas Danu mengajak makan siang. Setelah menurunkan layang-layang, kami menuju satu tempat makan yang masih ada di dalam areal Pantai Ancol. Rasa lapar memang sudah membuntuti sejak tadi, tapi saat beberapa makanan terhidang di depan mata, aku justru enggan menyentuhnya. Perut ini kembali berulah dengan rasa mual. "Ayo, makan! Kamu nggak akan kenyang dengan lihatin makanan aja," tegur Mas Danu yang sudah melahap nasi dengan ayam goreng. Aku menggeleng, lalu mendorong piring di hadapan agar menjauh. Aku lapar, tapi sungguh, perut rasanya tidak ingin diisi. "Mau disuapi?" tanya Mas Danu dan langsung mengangsurkan satu sendok nasi dengan lauk ke mulutku. "Enggak, Mas. Mas Danu aja yang makan, aku minum ini aja." Kuambil satu gelas jus alpukat di meja, lalu meneguknya pelan menggunakan sedotan. "Oke, tapi habiskan." Mas Danu lantas melanjutkan makan. Aku mulai merasa sungkan dengan Mas Danu. Meskipun dia kakakku, tidak mungkin aku merepotkannya
Hah? Aku? Merampok hati kakak sendiri? Aneh sekali Mas Danu itu. "Ogah, Mas! Mending rampok dompet Mas Danu aja, buat jajan cilok di alun-alun," jawabku. "Ambil semua! Tahu, kan, di mana dompetku?" sahut kakakku itu sambil tetap melihat ke depan. Kami berdua terus berdebat hingga sampai rumah. Seperti kebiasaan dulu, kami tidak akan berhenti saling menjawab hingga obrolan awal menguap dan menjadi candaan tak berarti. Namun, aku merasa sedikit aneh karena Ayah dan Ibu yang tiba-tiba diam. Padahal, tadi kami tertawa bersama. Aku langsung diantar Ibu masuk ke kamar dan menyuruhku beristirahat. Untuk beberapa hari ke depan, dokter masih menyarankanku untuk bedrest hingga jadwal kontrol berikutnya. Aku menurut dan mencoba untuk tidur karena memang tadi kami pulang selepas Magrib. Meskipun administrasi sudah diurus siang hari, aku masih harus menunggu hingga dokter yang menangani melakukan pemeriksaan terakhir di sore hari. Jadi, malam begini kami baru sampai rumah. Aku mendengar suar
Aku terbangun dengan perasaan yang sangat tenang. Entah kenapa, setelah salat istikharah sebelum tidur tadi, sebuah mimpi indah hadir. Aku bersama seorang laki-laki yang wajahnya tampak samar. Dia tengah menggendong bayi dan aku menggoda bayi itu hingga tertawa. Mungkinkah itu Mas Arsya? Allah ... apa ini pertanda agar aku lebih bersabar dan memperbaiki pernikahan yang baru seumur jagung? Bismillah, aku akan mencoba ikhlas dan menjalani apa yang takdir tetapkan. Aku memejam sejenak, lalu menarik napas panjang seraya beristigfar. Semangat, Manda! Kubuka mata kembali dan bersamaan dengan itu, aroma menggugah selera membuatku mengingknkan makanan itu. Namun, saat aku keluar dari kamar, hanya mendapati suasana sepi. Mata ini pun mencari keberadaan jam dinding. "Baru jam sepuluh?" Mataku membulat. Berarti, aku tadi hanya tertidur selama satu jam? Kalau begitu, pasti Ayah, Ibu, dan Mas Danu sudah tidur. Lalu, aroma martabak telur tadi itu apa? Tidak mungkin ada masalah dengan indra penc