Kini Doni dan Kiki sudah berada di jalanan menuju ke arah Radio Dalam. Yang dilakukan Kiki hanya menggigiti bibir bawahnya karena merasa takut jika memang dugaan dan feeling-nya benar.
“Kak, gue takut banget.”
“Lo tenang aja, kalau dia sakitin lo nanti bakalan gue kasih bogem.”
“Kalau itu benar, dia nikahin gue buat apa?”
“Nah itu gue nggak tahu juga. Soalnya semenjak lulus SMA tuh gue nggak paham kabar anak-anak. Soalnya gue sibuk kuliah sama urusin bisnis kafe. Teman gue yang awet sampai detik ini juga Naren doang.”
“Sama Ryan enggak?”
“Sama dia juga baru-baru ini doang, Ki, dulu kan dia tinggal di Singapore gitu kan? Balik ke Jakarta kalau ada proyek doang.”
Kiki pun kembali menatap ke arah jalanan yang memang tengah padat-padatnya kendaraan. Ia pun mengecek ponselnya dan sangat terkejut saat melihat puluhan panggilan tak terjawab dari nomor kantor bahkan ada n
Paham akan kode yang diberikan oleh Doni pun membuat Kiki langsung berjalan lebih mendekat ke arahnya. Doni sendiri berdeham sebelum bertanya kepada wanita separuh baya yang mengenakan baju daster itu.“Permisi Ibu, apa bisa ketemu Rena?”“Rena?”Doni dan Kiki pun mengangguk secara bersamaan. Ia menunggu jawaban dari ibu paruh baya yang tidak Doni kenali. Lagipula wajah mamanya si Rena nggak kayak gitu dulu.“Anak durhaka itu? Udah minggat dia.”Kiki pun makin nggak ngerti dengan jawaban ambigu dari ibu-ibu di depannya itu. “Maksudnya Bu?”“Ya, udah pergi dari sini kurang lebih setahun yang lalu lha.”“Pergi ke mana, ya, Bu?” tanya Kiki yang semakin penasaran.“Kalau nggak salah ke Bandung sama pacarnya.”Mendengar kata ‘Bandung’ membuat Kiki mendadak lemas, tangannya pun langsung meraih telapak tangan Doni. Ia menggenggam kua
Doni yang tengah fokus menyetir pun sangat terkejut dengan pertanyaan Kiki yang sangat tiba-tiba sekali. Ia menoleh dan melihat Kiki yang tengah menatapnya lekat. Doni pun berdeham pelan.“Lo nggak lagi kesam—““Hahahaha.”Suara tawa Kiki langsung menghentikan pertanyaan dari Doni. Ia bernapas lega kala mengetahui kalau pertanyaan itu hanya iseng semata.“Sial lo,” maki Doni.“Nggak mungkin lha, Kak, lo bukan tipe gue.”“Anjim! Tipe lo modelan Panji sama Ryan yang suka selingkuh?”“Ck! Nggak usah bahas kelakuan minus mereka.”“Hahahaha, meski wajah gue standar aja tapi gue setia.”“Iyain deh biar cepat.” Kiki pun hanya memutarkan bola matanya malas mendengar pujian Doni yang ditunjukkan untuk dirinya sendiri itu.“Gue pikir tapi serius, gila!”“Kalau itu serius kenapa?”&ldquo
Doni pun langsung menancapkan gasnya penuh pas sudah berada di jalan tol. Ia bisa melihat Kiki dari ekor matanya kalau adik ketemu gedenya itu tengah cemas.“Lo mendingan tidur aja.”Kiki menggeleng. “Nggak bisa.”“Entar kalau udah sampai gue bangunin.”Tetap saja Kiki bebal untuk dikasih nasihat oleh Doni. Kiki lebih memilih mengabaikan dan tetap memperhatikan jalanan menuju ke arah Bandung.Beberapa jam kemudian.Kini mobil Doni sudah memasuki kawasan Bandung. Ia mulai mengaktipkan gps mobilnya karena tak hapal dengan jalanan kota kembang itu.Terik matahari yang tadi begitu menyengat pun kini mulai terlihat berjalan ke ufuk barat. Kiki bahkan sampai melupakan jadwal makan siangnya hari ini.“Lo belum makan, kan?”“Nggak laper.”“Tapikan lo butuh tenaga, Ki.”“Iya tapi gue nggak laper, Kak.”“Ini udah jam empa
Dengan tekad yang kuat pun akhirnya Doni menuruti perintah Kiki dengan menginjak pedal gas dengan kecepatan penuh dan mobil langsung berjalan secepat kilat.Ckiiitttzzz.BRUG.“Kak, gila apa rem mendadak begini,” dumel Kiki yang merasa dahinya terkena dasbor mobil. Ia tadi lupa memakai sabuk pengaman. “Haduh sakit banget.”Doni tak menghiraukan ocehan Kiki, yang dipikirkan oleh otaknya tuh apakah Ryan masih hidup apa udah … sial!“Ki, coba lihat kebelakang. Apakah suami lo masih hidup atau—“Kiki yang masih merasa kesakitan dahinya pun menatap ke arah spion dan melihat kalau Ryan tengah ditolong berdiri oleh wanita itu.“Masih hidup, udah biarin aja.”Doni langsung bernapas lega, matanya pun langsung melirik ke arah spion untuk memastikan ucapan yang dikatakan oleh Kiki itu benar. Ia langsung mendesah lega kala memang benar si Ryan masih hidup. Sepertinya
Saat ini yang dilakukan Ryan hanya ingin mengejar istrinya. Memeluknya. Dan menenangkan hatinya yang pasti sangat kacau akibat kejadian tadi.“Sayang … maafin aku,” gumamnya sambil terus menyetir mobil dengan kecepatan penuh. Bahkan bisa sangat tergambar begitu jelas buku-buku jari milik Ryan sampai memutih.Ckiiiitzzz.“Sial! Kucing sialan kalau nyebrang nggak lihat-lihat.” Ryan memaki hewan tak bersalah itu. Ia pun mendesah lega karena tak menabrak kucing. Ryan kembali menarik persneling dan menginjak pedal gasnya untuk melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.Hatinya saat ini benar-benar bimbang. Ia benar-benar takut kalau Kiki akan mengadu sama orangtuanya nanti dan masalah akan semaki lebar dan runyam.Masih sambil menyetir pun Ryan mencoba menghubungi nomor istrinya, tapi lagi-lagi zonk yang didapatkan.“Sayang angkat dong,” gumamnya saat sambungan telepon miliknya tersambung. Tapi, tetap saja t
Setelah membujuk sampai mulut berbusa dan yang didapat hanya nihil membuat Doni pasrah. Setidaknya dirinya sudah berusaha supaya Kiki jangan sampai bikin rumah tangga-nya semakin runyam.Doni sendiri hanya menatap si laki-laki bernama Priyo itu. Ia berdeham sebelum pamit pulang. Apalagi si Debi udah chat terus menanyakan keberadaan dirinya.“Ki, lo jaga diri, ya.”“Iya, Kak. Tenang aja ada Priyo di sini kok, pasti aman.”Lha justru itu ada dia yang bikin ketar ketir dih. Dan Doni melirik ke arah Priyo.“Bro, titip adik gue, ya. Jangan diapa-apain. Awas lo. Urusannya sama gue entar.” Kata-kata Doni sedikit mengancam Priyo. Tapi, tetap saja melihat ekspresi tenang Priyo seperti itu justru membuat Doni tambah khawatir. Biasanya yang diam-diam menghayutkan dan bisa speak manis yang bikin luluh lantah kaum hawa.“Tenang aja, paling tak bikin cerai sama suaminya.Mata Doni langsung membulat sempurna
Setelah menempuh perjalanan dari Bandung ke Jakarta kemudian menuju apartemen miliknya disusul lagi ke rumah kekasih Doni, kini Ryan sudah berada tepat di depan rumah mertuanya. Matanya melirik arloji yang sudah menunjukkan waktu dua belas malam lebih. Sudah tengah malam dirinya datang bertamu mencari istrinya. Respon apa yang akan didapatkan nanti?Berulang-ulang Ryan mengembuskan napasnya secara kasar karena ia belum menemukan kata yang tepat jika nanti kedua mertuanya menanyakan hal ini. Ryan akui dirinya salah, tapi … ah sudah lah.Tak ingin membuang waktu lagi pun Ryan mencoba nekad membuka pintu pagar kecil dan mendorong pelan agar suara deritan besi tak terdengar. Untung saja pagar rumah mertuanya tak pernah dikunci karena mereka selalu bilang kalau rumahnya tak ada barang berharganya.Sebelum tangannya mengetuk pintu kaya yang sudah dihadapannya, Ryan embusin napas secara kasar karena benar-benar bingung dan merasa kacau sekali malam ini.D
Setelah mendengarkan semua penuturan dari lambe Joko pun membuat Ryan merasa begitu kasihan dengan istrinya. Bahkan Joko sendiri tahu alamat apartemen Priyo karena dulu pernah diajak ke sana untuk membantu membawakan sekaligus membantu untuk beres-beres apartemen baru milik Priyo.“Lo yakin di Pakubuwono?”“Iya, soalnya dulu sempat bantuin bawain barang-barang pribadi Mas Priyo ke apartemen.”“Awas kalau infonya nggak akurat.”“Dijamin akurat.”“Yaudah deh matiin, makasih infonya. Entar gue transfer duitnya.”“Sip! Sering-sering lha kasih job begini.”Setan! Ini bocah satu makin lama makin ngelunjak aja. Tapi, bocah ini berguna juga buat awasin gerak gerik Kiki kembali.“Entar gue kabarin lagi.”“Sip! Makasih Mas Ryan.”Nit.Sial! Harus hati-hati nih sama bocah satu itu. Dia itu akan berpihak sama orang yang rela
Drrt. Drrt. Drrt.Adeeva langsung meraba-raba ke arah sembarang untuk mencari ponselnya. Apalagi ia semalam sudah menghabiskan waktu telepon berjam-jam dengan Baim. Ya, hubungan Adeeva dan Baim saat ini mulai semakin dekat juga intens. Terlebih Adeeva selalu berbinar dan senang jika sudah membahas soal Ayesha. Dan, Baim pun sudah mengetahui konflik atau keadaan Adeeva yang tidak bisa memiliki anak hingga memperboleh Ayesha untuk dianggap sebagai anak-nya. Baim merasa prihatin mendengar kisah Adeeva yang dicampakkan oleh pria bule itu. Baginya, pria seperti itu sangatlah tidak gentleman.“Halo.”“Morning,” sapa seseorang di seberang telepon sana. Adeeva yang terkejut langsung segera membuka matanya. Ia melotot tak percaya jika yang menelepon saat ini adalah Alex.Dengan susah payah, Adeeva mencoba menjawab sapaan Alex. Ia berdeham pelan dan menelan ludahnya susah payah agar kerongkongannya tidak terasa kering.“A-
Adeeva pun terkejut saat memahami ucapan Kiki. Dia langsung terpekik hingga membuatnya meloncat dari atas kasur yang membuat Kiki semakin bingung.“Bunda, seriusan Adeeva tidak ada hubungan apa-apa sama dia. Kami profesional aja sebagai pemilik kafe dan customer. Bunda ingatkan kalau Adeeva pernah cerita jika ada customer menyebalkan? Nah dia itu customernya—yang ternyata klien Ayah.”“Kok dunia bisa sesempit ini, sih?” komentar Kiki menanggapi.Adeeva pun hanya mengangkat kedua bahunya tidak tahu. Ia langsung berjalan mendekat ke arah ranjang dan duduk di depan Kiki.“Kata Ayah dia duda anak satu. Istrinya meninggal saat lahiran. Katanya pendarahan gitu, Bun. Adeeva ngelihat anaknya itu kasihan banget. Anaknya padahal cantik banget, Bun. Nasib dia malang banget enggak bisa melihat dan merasakan sesosok Ibu.”“Siapa sih nama itu customer?” tanya Kiki, penasaran.“Baim.”
Adeeva merasa canggung saat ini. Bahkan lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata perpisahan. Maksudnya akan pamit pulang. Alhasil ia hanya diam mematung saja saat ini. Hingga akhirnya Baim langsung berdeham pelan dan menyuruhnya duduk.“Silakan duduk, saya enggak mau membuat seorang tamu kakinya keram karena terlalu lama berdiri.”Adeeva tersenyum, dan segera duduk. “Terima kasih.”“Hm.”Bahkan kini Baim ikut duduk di seberang Adeeva. Ia membuang muka saat Adeeva ingin menatapnya. Entah kenapa ia menjadi salah tingkah sendiri seperti ini. Bahkan Baim sudah berkali-kali berdeham untuk menetralkan rasa gugup yang dirasakannya.Tak lama, Bi Surti turun dari lantai atas. Bibirnya mengulas senyum tipis melihat interaksi yang sangat begitu kaku itu.“Bi,” panggil Baim.“Iya, ada apa? Tadi Ibu Ziva hebat banget lho bisa membuat Ayesha tertawa. Dia sepertinya nyaman digendongan Ibu Adee
Pada akhirnya Adeeva pun menerima permintaan dari sang ART itu untuk masuk ke rumah yang didesain ala mediterania. Awalnya Adeeva menolak karena ingin langsung pulang saja. Namun, melihat sang ART yang begitu memohon membuat Adeeva terpaksa mengiyakan.“Kalau boleh tahu nama Ibu siapa?” tanya ART itu dengan sopan.“Oh, nama saya Adeeva Putri Anggara, tapi panggil saja Adeeva.”“Nama yang cantik. Hampir mirip sama mamanya Ayesha, ya.”Adeeva mengerut bingung saat mendengar ucapan itu. Adeeva enggak paham kenapa ART ini seperti gencar sekali menjodohkan dirinya dengan bos-nya itu. Padahal baru juga bertemu.“Ibu Adeeva mau minum apa?” tanya ART itu, sambil menaruh bayi gembul itu ke sebuah bouncher. Adeeva yang melihat bayi itu merasa gemas sendiri. Bawaannya pengin gigit pipi yang tampak tembam itu.“Apa aja, tapi air putih saja.”“Kalau begitu saya permisi dulu mau ambi
Sudah hampir seminggu ini Adeeva tidak melihat sesosok Baim datang ke kafenya. Apalagi pertemuan terakhir dia dengan Baim berlangsung tidak baik. Entah kenapa Adeeva menjadi kepikiran saat ini.“Zia, pelanggan aneh itu enggak ke sini?”Zia menggeleng pelan. “Udah hampir semingguan ini dia enggak datang, Kak. Bahkan sore pun tidak datang.”Adeeva yang memang berjaga pagi hingga siang saja tidak tahu kondisi kafe di sore hingga malam hari. Karena Adeeva harus menemani grandma-nya di rumah. Adeeva ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama sang grandma. Akan tetapi hari ini ia sengaja berjaga sampai tutup kafe karena merasa penasaran dengan pria bernama Baim itu.“Apa dia malu mau datang ke sini lagi setelah tahu kalau aku anaknya dari pemilik kafe?” gumam Adeeva, menerka-nerka. “Tapikan kalau emang suka makan di sini tinggal datang aja seperti biasa. Enggak usah pikirin soal keributan kemarin dong. Ih engga
Adeeva menatap bingung ke arah pria itu. Bahkan saat pria itu telepon dengan seseorang menggunakan bahasa sunda membuat Adeeva hanya mengerutkan kening bingung. Pasalnya ia tidak tahu arti yang diucapkan pria yang entah siapa namanya.Setelah selesai berbicara. Pria itu langsung berbalik badan dan menatap Adeeva sengit. Karena ia sudah pasti akan menang dari cewek tengil di depannya ini.“Kita tunggu sebentar lagi pemilik kafe ini akan datang,” ucapnya dengan gaya watados-nya.Adeeva semakin mengerutkan kening bingung kala mendengar ucapan ngawur pria itu. Pemilik kafe-nya ia sendiri. Memangnya menunggu siapa? Apa menunggu ayah Ryan?“Oh ya? Memang siapa nama pemilik kafe ini?” tantang Adeeva, jemawa.“Tentu Pak Ryan Anggara.”“Hahaha, itu Ayah saya.”“Halah, ngaku-ngaku kamu. Bawahan aja bisa belagu begini, ya. Anaknya Pak Ryan itu di luar negeri ikut suaminya. Masa anaknya
Mau tidak mau saat ini Adeeva maju sendiri untuk melayani customer aneh itu. Adeeva sudah siap mendengarkan semua menu pesanan dari mulutnya. Namun, sudah berdiri sekitar sepuluh menitan tidak ada ucapan apapun dari mulut pria itu yang membuat Adeeva dongkol.“Bapak mau pesan apa?” tanya Adeeva kemudian.Tetap saja Adeeva hanya didiamkan oleh pria itu. Dia lebih sibuk membolak-balik buku menu dan dilakukannya berulang yang membuat kepala Adeeva terburu mengebul mengeluarkan asap putih.“Ekhem! Bapak ingin pesan apa? Dari tadi saya perhatikan kalau Bapak hanya membolak-balik buku menu tanpa mau memesan.”Adeeva terkejut kala pria itu justru menaruh buku menu dan berdiri menghadap ke tubuh Adeeva yang tingginya benar-benar lumayan. Adeeva saja sedada pria itu hingga membuatnya langsung mendongak.“Pelayan cerewet! Kemarin-kemarin saja tidak ada kamu suasana kafe ini aman. Saya pikir kamu dipecat hingga saya merasa lega.
Selesai berdiskusi soal harta warisan milik Marinka. Kini Adeeva sudah memutuskan dengan sangat bulat jika seluruh harta yang dimilikinya akan ia sumbangkan ke sebuah yayasan. Awalnya, pengacara itu terus membujuk Adeeva untuk terus meneruskan dan mengelola, namun mengingat kata-kata Leonel yang menyakitkan membuatnya benar-benar bulat untuk menyerahkan ke tempat yang tepat. Lagipula jika harta itu diberikan pahala akan mengalir ke Marinka bukan? Dan, Adeeva akan hidup tenang di negaranya sendiri.Selesai urusan harta warisan selesai, Adeeva segera mengurus tiket penerbangan ke Indonesia. Ia tidak sudi menghadiri acara pernikahan sang mantan itu. Adeeva ngeri nanti di sana harga dirinya akan diinjak-injak oleh Leonel ataupun Elizabeth.Entah kenapa sejak pertemuan terakhirnya di depan pintu kamar hotel dengan Alex, pria itu mendadak tidak bisa dihubungi. Padahal Adeeva hanya ingin pamit pergi pulang ke Indonesia. Entah kenapa pria-pria di sini semuanya membuat hati Ade
Alex tersenyum miring kala melihat Leonel meneleponnya. Pria itu segera mengambil dan mengangkat ponselnya dengan gayanya yang sangat santai.“Halo,” sahut Alex dengan santai.“Alex, apa maksudmu pergi bersama Adeeva ke toko tas? Apa emang kalian sengaja membuntutiku?”Mendengar itu sontak Alex langsung tertawa terbahak-bahak, dan cerdiknya Alex telah meloudspeaker panggilan telepon dengan Leonel hingga Adeeva bisa mendengarnya dengan jelas.Alex melihat jika Adeeva ingin menyahuti ucapan Leonel. Namun, Alex menggelengkan kepalanya kepada Adeeva untuk memberikan tanda jika tidak usah terpancing ucapan Leonel yang memang selalu mencari perhatian dirinya—khususnya Adeeva.“Kau benar-benar sangat percaya diri sekali Leon! Aku datang ke toko tas karena memang ingin menjemput kekasihku.”“Apa! Kau sengaja berkata seperti ini agar aku cemburu? Hahaha, itu tidak akan bisa kalian lakukan.”