Refan memutar tubuhnya, kemudian berdiri. Akupun ikut berdiri dan berjalan cepat ke arah Zein. Biar dia nggak salah paham tentang posisi kami tadi. "Sayang!" Aku menggandeng lengan Zein dengan mesra. Duh, pasti ada yang lagi panas, nih. "Aku mau ngajakin kamu makan siang, Sayang," ucap Zein, yang seolah-olah kembali mengikuti sandiwara dan pencitraan yang biasa aku mainkan. "Ya udah, yuk!" Aku dan Zein berbalik, sampai suara Refan lagi-lagi menghentikan langkah kami. "Serius, nggak takut masuk penjara, bro?" ancamnya, dengan nada mengejek. Zein berbalik. Plis, Zein. Jangan terpancing. Kamu nggak boleh hilang kendali seperti kemarin. Di sini aja sama aku. "Kenapa nggak langsung dilaporin aja? Pakek ngancem segala!" decih Zein, dengan tegas. Wow!"Cuman mau ngasi kesempatan aja. Siapa tau, kamu bisa mikir dengan akal sehat buat ninggalin Tyas. Nggak pernah ngaca atau gimana?"Dih, enak aja. Zein itu cinta mati sama aku. Ya, nggak mungkinlah dia mau nurutin kata-kata kamu. "Teru
"Baguslah kalau kamu merasa kek gitu. Tapi mana mungkin aku bisa marah. Kan kamu ngelakuinnya jauh sebelum kita kenal. Kalau seandainya itu terjadi saat kamu udah menjadi istri aku, baru aku punya hak untuk marah.""Terus, kalau kamu marah, kamu bakal mukulin aku sampek bonyok gitu juga?""Mmm...." Zein memutar bola matanya. "Nggak lah. Mana mungkin aku berani mukul wanita.""Terus? Aku mau diapain?""Mmm... nggak ada.""Lho, katanya marah.""Iya, marah. Tapi, aku langsung nganterin kamu pulang aja ke rumah Papi sama Mami. Terus, aku juga pulang ke rumah Ibuk. Biar kamu bisa bebas, melakukan semua hal yang kamu mau."Deg! Tiba-tiba ginjalku berdetak tak menentu. Kok tiba-tiba aku jadi nggak rela ya. Mendengar kata-kata Zein yang seperti itu, membuat perasaanku jadi takut. Apa sekarang, aku benar-benar nggak rela kehilangan dia? "Kamu jangan ngomong gitu dong, Zein. Aku juga nggak mungkin ngelakuin hal seperti itu lagi. Dosa tau!"Ya, ampun. Kenapa aku baru nyadar, kalau itu dosa. Ke
Ini si Zein, kenapa sampai hati banget sih. Bisa-bisanya dia bilang mau pergi dan meninggalkan aku. Pake berlagak khawatir lagi. Kalau nggak mau melihat aku tinggal sendiri di rumah, ya tetap di sini dong. "Kamu ngomong apa sih, Zein? Tega amat, kamu mau ninggalin aku. Mana, omongan kamu yang panjang lebar waktu itu. Katanya mau buat aku jatuh cinta. Dan akan berusaha bertahan sampai kontrak selesai," rengekku manja."Tyas....""Katanya kamu udah jatuh cinta sama aku. Bakal setia menanti, dan nunggu aku berubah pikiran dan jatuh hati. Mana?""Yas....""Atau jangan-jangan, yang Refan bilang itu bener, kamu cuman manfaatin aku doang, biar bisa hidup enak dengan morotin uang aku. Jahat banget sih, kamu.""Tyas.... ""Apa kamu tiba-tiba berubah pikiran karena ucapan Refan tadi? Kamu kan tau, dia cuman mau manas-manasin kamu aja. Udah pernah baca kan, kisah orang ketiga kek gitu? Dia itu pebinor, Zein. Pebinor.""Yas....""Aku nggak pernah kepikiran banding-bandingin kamu sama Refan. Teta
"Tapi, kalau Refan tetap kekeuh masukin aku ke penjara, gimana?"Et, tar dulu. Jadi, dia tadi cuman mau pamit ke penjara? Bukan balik ke rumah Ibunya, atau balikan lagi sama Bela? Set dah. Mana udah jujur sejujur jujurnya lagi. Pake acara meluk sampe ada yang berdiri. Dikerjain lagi aku sama si Zein. Hish... si Zein. Emang nggak pernah ya, biarin aku mempunyai harga diri sedikit pun. Aku melepaskan pelukan, dan langsung membetulkan posisi duduk. Sedikit menjauh, dan menghadap ke depan. "Kok di lepas?" Wajahnya kelihatan kecewa. "Geli, ada yang ganjel." Aku beralasan. "Nakal kamu, ya. Udah pintar godain suami." Dia memencet dan menggoyang-goyangkan hidung mancungku yang asli tanpa operasi plastik. "Jadi kamu takut nih, kalau Refan benar-benar masukin kamu penjara? Kalau takut, kenapa nggak nurutin permintaan dia aja?" Aku mulai berani menantang. Sedikit sewot. "Nggak lah, buat apa. Sampai kapanpun, aku tetap nggak akan nyerahin istri aku yang cantiknya kelewatan ini, balik lag
Aku terbangun pagi-pagi sekali, saat kulihat Zein sudah tak ada di sampingku. Kebiasaan! Dia pasti bangun lebih dulu, dan mengerjakan pekerjaan dapur, guna melayaniku. Aku langsung bergegas ke kamar mandi, saat ada yang terasa nyeri di bawah sini. Aw! Aku memeganginya. Terasa perih dan seperti ditusuk-tusuk. Dibawah guyuran shower yang membasahi sekujur tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki, kulihat ada noda darah di pahaku. Wah, aku terkejut. Rupanya rasa nyeri yang kurasakan tadi nyeri di perut akibat datang bulan. Baru teringat kalau di pertengahan bulan seperti ini memang adalah jadwalnya. Menang banyak dong si Zein tadi malam. Kami berkendara selepas sarapan. Zein fokus menyetir, sambil sesekali memandangiku dengan tersenyum. Mungkin merasa hepi, karena udah bolak-balik berhasil memaksaku untuk memberikan haknya. Maksa lho ya, maksa. Kami sampai di kantor, saat Bino lagi-lagi menunggu di ruanganku. Kali ini nggak berani lagi jalan beriringan dengan kami. "Naik darah, sa
"Ngapain sih, Zein? Lagi chat an sama Bela?" sinisku, sambil garuk-garuk piring kosong pake garpu. Ngilu, ngilu dah. Kesel! "Ya, enggak lah, Yas. Buat apa? Kan nomornya udah aku blokir," sahutnya dengan santuy. "Masa sih? Sejak kapan kamu blokir nomor dia?""Udah lama. Sejak aku tau dia punya pacar baru.""Beneran?" sindirku. "Sebelum kita nikah dong?""Bener, Yas. Kalau dia masih bisa ngubungi aku, ngapain juga dia repot-repot datang ke rumah, terus nanyakin alamat kantor. Kan tinggal nelpon, terus janjian di luar. Kaya kamu sama mantan waktu itu.""Oh, nyindir... Udah berani, ya? Udah nggak takut lagi sama aku?""Masih takut lah, Yas.""Takut apa? Takut aku masukin penjara?""Takut nggak dikasi jatah, Sayang."Hish... aku melotot. Dia tertawa. Manis banget lagi. "Trus, itu kamu ngapain?"Dia kembali menatap layar ponsel, kemudian mengetak-ngetik sesuatu dengan kedua jempol besarnya. Dih, jempol aja segede itu, apalagi... betisnya ya. "Lagi kepikiran nulis dialog. Mumpung ingat,
"Kenapa, Zein? Kok tumben nanyakin si sontoloyo? Mmm... jangan-jangan kamu cemburu lagi sama dia?" ujarku, penuh percaya diri. "Emang nggak boleh?" sahutnya dengan lembut. Tapi tetap aja terdengar ketus. Pasti itu hati lagi hareudang banget. "Tuh, kan bener. Zein cemburu. Pasti kamu udah cinta mati sama aku. Ya, khan?""Iya, aku cemburu. Abis, kamu deket banget sama dia.""Ish... seneng deh, kalau suami bayaranku ini lagi cemburu." Kucubit lengannya dengan jemari lentikku. "Oh, jadi sengaja, gitu?""Ya, enggak lah Zein. Childish banget. Iyyuh...""Kok malah seneng liat aku cemburu.""Iya, dong. Merasa di lope-lope in aja. Tapi nggak sama si sontoloyo juga kali, Zein. Merendahkan harga diriku banget," keluhku. "Lho, kenapa?""Ya kali aku sampe naksir sama dia. Udah jorok, jarang mandi, minta traktir terus. Iyyyuh... nggak masuk kriteria banget deh pokoknya."Kulihat Zein tertawa. "Iya, iya. Aku percaya. Tipe kamu kan yang ganteng kaya aku gini, kan?"Mmmm....he eh in ajalah. Biar
Dia telah selesai memakai celana pendek dan kaos tipis. Lalu duduk di sisi ranjang menghampiriku. "Duh, seksinya juragan istri," godanya. "Woiya dong.""Bagus banget bajunya. Ntar kalau udah gajian, aku beliin lagi yang kek gini ya. Buat gantiin yang dikasi Zahra kemarin.""Boleh. Makasih, Zein.""Kamu mau warna apa?""Terserah kamu aja, Zein.""Oh, oke!""Yuhuuu....""Lagi ngapain?"Mmm....modus dimulai..."Biasalah, lagi baca cerbung di kbm. Yang kalau udah lagi seru-serunya, di suruh pindah ke aplikasi. Kesel tau!" sindirku. Padahal aku tahu sendiri, bahwa seorang penulis itu perlu dihargai. Meskipun dia belum bisa menjual buku, tapi para readers bisa menghargainya dengan cara membeli koin. Nggak melulu minta next dan tamatin di efbi. Jangan kesindir ya, gaes. Secara keturunan ningrat kaya aku gini paling alergi sama yang gratis-gratis. Pengen suami aja, aku sampe rela beli. "Yas, Yas. Pelit amat sih jadi orang." Dia memencet dan menggoyang-goyangkan hidung mancungku. Tuh, mu