Pagi ini aku sengaja mandi dan membasahi seluruh rambutku. Agar semua keluarga tahu, bahwa aku dan Zein telah melewati malam pengantin. Tak lupa aku menyuruh laki-laki yang masih meringkuk di sofa itu melakukan hal yang sama.
Masih menggunakan piyama sutra dan rambut yang sengaja tak kukeringkan, aku keluar dari kamar. Menuju ke ruang keluarga, sembari menunggu sarapan pagi selesai disiapkan."Pagi, semua!" sapaku penuh percaya diri. Sengaja ku kibas-kibaskan rambutku agar wangi shampo merebak dan tercium sampai ke rongga hidung keluargaku."Wah, ada pengantin baru, nih," sapa Nita, adik bungsuku."Iya, nih. Udah basah aja," imbuh Tiwi, adik keduaku."Ya, iya dong. Ngapain di tunda-tunda," sahutku dengan semangat. Untung Mami dan Papi belum muncul, hingga aku tak terlalu sungkan untuk mengumbar soal malam pertama palsu itu."Padahal banyak tamu yang datang dan dilayani saat pesta semalam. Eh, malah langsung ena-ena aja. Nggak ada capek nya ya, kak?" ledek Nita lagi. Tiwi ikut tertawa.Aku pun bersemangat membuat mereka semakin percaya. Yes, setidaknya masalah tidak perawanku sudah selesai.Tak lama kulihat Zein keluar dari kamar. Dengan setelan celana panjang santai dan kaos putih polos, dia terlihat segar. Apalagi aroma sampo yang sama menyeruak dan membuatku terbuai. Ujung rambutnya yang masih sedikit basah, membuat tampilannya semakin mempesona.Eh! Apa yang kupikirkan? Apakah aku sudah bilang, kalau suamiku itu tampan? Pasti kalian berpikir, kenapa aku tidak menjadikannya sebagai suami asli dan hidup bahagia. Jawabannya karena dia mis-kin. Apa yang kuharapkan dari penulis kere seperti dia. Untuk uang bulanan saat ini saja, masih aku yang menanggungnya.Seburuk-buruknya aku, wanita cantik dan mapan sepertiku juga punya hak untuk bahagia. Tentunya bersama laki-laki tampan dan juga mapan. Bukan parasit dan benalu seperti dia. Enak saja, memangnya aku tidak pernah membaca cerita-cerita di KBM. Istri-istri jaman sekarang, tidak boleh ditindak dan diporotin oleh suami dan keluarganya."Hai, sayang," aku menghampiri dan tersenyum manis sambil bergelayut manja padanya. Tentu saja hanya bersandiwara. Sebagai kamuflase bahwa pernikahan kami benar-benar bahagia dan atas dasar cinta."Cie.. cie.., yang masih pengantin baru. Bawaannya mau nempel terus.""Serasa dunia milik berdua ya, Mbak." Kedua adikku sahut-sahutan meledek kami.Kurasakan tangan dan pergerakan Zein menjadi kaku saat aku menariknya ke ruang makan. Mungkin grogi dan terkejut melihat sikapku yang berubah saat berdua dan saat ada orang lain..Aku terpaksa mengganti baju di kamar mandi setelah kami kembali ke kamar. Sementara Zein bebas melakukannya di ruangan yang telah menjadi milikku sejak kecil ini. Aku keluar setelah selesai, kemudian mendapatinya dengan terduduk diam di atas ranjang dengan kedua pipi bersemu merah."Hei, kamu kenapa?" tegurku, sambil menjentikkan jari di hadapannya."Kamu bilang jangan sentuh-sentuh. Kenapa tadi malah memelukku? Erat lagi," kulihat bibirnya mengerucut. Dahiku mengernyitMataku menyipit."Heh, kamu kan sudah aku bayar. Suka-suka aku dong. Lagian, yang tidak boleh menyentuh itu kan kamu, bukan aku. Aku punya hak keseluruhan atas jiwa dan raga kamu. Mau aku peluk, mau aku pukul, aku tendang atau aku lipat-lipat sekalian, kamu harus terima. Kamu udah baca bener-bener surat perjanjiankan?" aku mengoceh panjang lebar."Tapi aku ini kan laki-laki normal. Kalau terus-terusan dapat sentuhan seperti itu, bisa-bisa.... ""Heh, jangan coba-coba, ya!" ancamku dengan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk. "Awas kalau sampe mikir macem-macem."Lalu tiba-tiba telunjukku tadi sudah tenggelam dalam genggamannya."Aku nggak jamin, ya. Ingat, tubuhku lebih tinggi dan jauh lebih kekar. Aku bisa aja maksa kamu melakukannya. Kamu pasti gak akan bisa ngelawan. Kalau nantinya aku nggak bisa menahan diri, itu semua adalah salahmu. Jadi, jangan lagi memancing-mancing sifat kelelakianku!" ucapnya, sembari melepaskan jariku dan melangkah keluar meninggalkanku.Aku terdiam sejenak. Mataku tak bisa berkedip. Berusaha mencerna setiap ucapannya. Tiba-tiba saja, ada yang berbeda dari detak jantungku. Kurasa lebih kencang dan terasa panas. Pikiranku jadi sedikit terganggu. Kenapa tiba-tiba aku melihatnya menjadi sosok yang begitu gagah?Waduh, tidak boleh. Aku harus buang jauh-jauh pikiran itu. Dasar lelaki bayaran."Eh, suamiku. Tunggu aku. Kita harus tetap keluar bergandengan.... " **************"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.