Share

Part2

Pagi ini aku sengaja mandi dan membasahi seluruh rambutku. Agar semua keluarga tahu, bahwa aku dan Zein telah melewati malam pengantin. Tak lupa aku menyuruh laki-laki yang masih meringkuk di sofa itu melakukan hal yang sama.

Masih menggunakan piyama sutra dan rambut yang sengaja tak kukeringkan, aku keluar dari kamar. Menuju ke ruang keluarga, sembari menunggu sarapan pagi selesai disiapkan.

"Pagi, semua!" sapaku penuh percaya diri. Sengaja ku kibas-kibaskan rambutku agar wangi shampo merebak dan tercium sampai ke rongga hidung keluargaku.

"Wah, ada pengantin baru, nih," sapa Nita, adik bungsuku.

"Iya, nih. Udah basah aja," imbuh Tiwi, adik keduaku.

"Ya, iya dong. Ngapain di tunda-tunda," sahutku dengan semangat. Untung Mami dan Papi belum muncul, hingga aku tak terlalu sungkan untuk mengumbar soal malam pertama palsu itu.

"Padahal banyak tamu yang datang dan dilayani saat pesta semalam. Eh, malah langsung ena-ena aja. Nggak ada capek nya ya, kak?" ledek Nita lagi. Tiwi ikut tertawa.

Aku pun bersemangat membuat mereka semakin percaya. Yes, setidaknya masalah tidak perawanku sudah selesai.

Tak lama kulihat Zein keluar dari kamar. Dengan setelan celana panjang santai dan kaos putih polos, dia terlihat segar. Apalagi aroma sampo yang sama menyeruak dan membuatku terbuai. Ujung rambutnya yang masih sedikit basah, membuat tampilannya semakin mempesona.

Eh! Apa yang kupikirkan? Apakah aku sudah bilang, kalau suamiku itu tampan? Pasti kalian berpikir, kenapa aku tidak menjadikannya sebagai suami asli dan hidup bahagia. Jawabannya karena dia mis-kin. Apa yang kuharapkan dari penulis kere seperti dia. Untuk uang bulanan saat ini saja, masih aku yang menanggungnya.

Seburuk-buruknya aku, wanita cantik dan mapan sepertiku juga punya hak untuk bahagia. Tentunya bersama laki-laki tampan dan juga mapan. Bukan parasit dan benalu seperti dia. Enak saja, memangnya aku tidak pernah membaca cerita-cerita di KBM. Istri-istri jaman sekarang, tidak boleh ditindak dan diporotin oleh suami dan keluarganya.

"Hai, sayang," aku menghampiri dan tersenyum manis sambil bergelayut manja padanya. Tentu saja hanya bersandiwara. Sebagai kamuflase bahwa pernikahan kami benar-benar bahagia dan atas dasar cinta.

"Cie.. cie.., yang masih pengantin baru. Bawaannya mau nempel terus."

"Serasa dunia milik berdua ya, Mbak." Kedua adikku sahut-sahutan meledek kami.

Kurasakan tangan dan pergerakan Zein menjadi kaku saat aku menariknya ke ruang makan. Mungkin grogi dan terkejut melihat sikapku yang berubah saat berdua dan saat ada orang lain.

.

Aku terpaksa mengganti baju di kamar mandi setelah kami kembali ke kamar. Sementara Zein bebas melakukannya di ruangan yang telah menjadi milikku sejak kecil ini. Aku keluar setelah selesai, kemudian mendapatinya dengan terduduk diam di atas ranjang dengan kedua pipi bersemu merah.

"Hei, kamu kenapa?" tegurku, sambil menjentikkan jari di hadapannya.

"Kamu bilang jangan sentuh-sentuh. Kenapa tadi malah memelukku? Erat lagi," kulihat bibirnya mengerucut. Dahiku mengernyit

Mataku menyipit.

"Heh, kamu kan sudah aku bayar. Suka-suka aku dong. Lagian, yang tidak boleh menyentuh itu kan kamu, bukan aku. Aku punya hak keseluruhan atas jiwa dan raga kamu. Mau aku peluk, mau aku pukul, aku tendang atau aku lipat-lipat sekalian, kamu harus terima. Kamu udah baca bener-bener surat perjanjiankan?" aku mengoceh panjang lebar.

"Tapi aku ini kan laki-laki normal. Kalau terus-terusan dapat sentuhan seperti itu, bisa-bisa.... "

"Heh, jangan coba-coba, ya!" ancamku dengan menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk. "Awas kalau sampe mikir macem-macem."

Lalu tiba-tiba telunjukku tadi sudah tenggelam dalam genggamannya.

"Aku nggak jamin, ya. Ingat, tubuhku lebih tinggi dan jauh lebih kekar. Aku bisa aja maksa kamu melakukannya. Kamu pasti gak akan bisa ngelawan. Kalau nantinya aku nggak bisa menahan diri, itu semua adalah salahmu. Jadi, jangan lagi memancing-mancing sifat kelelakianku!" ucapnya, sembari melepaskan jariku dan melangkah keluar meninggalkanku.

Aku terdiam sejenak. Mataku tak bisa berkedip. Berusaha mencerna setiap ucapannya. Tiba-tiba saja, ada yang berbeda dari detak jantungku. Kurasa lebih kencang dan terasa panas. Pikiranku jadi sedikit terganggu. Kenapa tiba-tiba aku melihatnya menjadi sosok yang begitu gagah?

Waduh, tidak boleh. Aku harus buang jauh-jauh pikiran itu. Dasar lelaki bayaran.

"Eh, suamiku. Tunggu aku. Kita harus tetap keluar bergandengan.... "

                           **************

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Obet Depari
menarik sekalo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status