Share

Part3

Author: Oscar
last update Last Updated: 2022-08-25 13:30:53

Aku bergegas membuka pintu kamar untuk menyusulnya. Namun aku terkejut, saat tau dia masih berdiri di depan pintu, menungguku. Dengan gaya elegan, aku mensejajarkan diri. Kemudian kembali bergelayut manja merangkul lengannya melewati keluargaku yang sedang berkumpul. 

"Dah, Papi. Dah, Mami. Dah semuanya..." Aku berpamitan sambil memutar-mutar telapak tangan ala miss universe kepada mereka. 

"Duh, mesranya."

"Nempel terusss..."

"Enak punya suamikan, Mbak..."

"Makanya nikah jangan ditunda-tunda."

Secara bergantian mereka menggodaku yang tengah bergandengan mesra dengan suamiku. Membuat pikiranku senang bagai di awang-awang. 

Hati-hati di jalan, kalian," pesan Mami setengah berteriak. 

"Iya, Mi!"

"Iya, Mi!"  Aku dan Zein menjawab serempak. 

.

Hari ini kami kembali melihat rumah yang akan kami tempati. Hadiah dari Papi, sebagai kado pernikahanku. Aku tak ingin berlama-lama di sana. Sangat lelah berpura-pura, demi meyakinkan mereka bahwa pernikahan kami benar-benar bahagia. 

Sudah sejak tiga bulan lalu, kami sudah berlatih dan gladi resik sebelum menikah. And well, Papi dan Mami setuju meski Zein bukan dari kalangan ningrat seperti kami. Bahkan Zein langsung bisa mengambil hati Papi dan menjadikannya menantu kesayangan. 

"Zein, yang ini kamar aku, ya. Kamar kamu di sebelah. Aku mau yang ada kamar mandinya," pintaku. Lebih tepatnya perintah. 

"Iya, terserah kamu."

"Ya, emang terserah aku dong."

"Terus, kita pindahnya kapan?"

"Mmmm...besok aja deh. Biar Nita dan Tiwi pulang dulu. Males banget kalau mereka nanti minta ikut. Mana minta ngadain syukuran lagi. Repot."

"Oh, jadi malam ini kita tidur bareng lagi?" dia berdiri di depanku sambil tersenyum. 

"Jangan mimpi. Kamu tetap tidur di sofa!"

"Padahal tempat tidurnya besar, lho."

"Bodo amat!"

"Kalau aku nggak tahan gimana? 

"Heh, suami bayaran!" Aku berkacak pinggang di hadapannya. 

"Iya, juragan istri." Dia sedikit membungkuk agar wajah kami sejajar.

"Mau, masuk penjara?"

Dia menggeleng, kemudian mundur teratur. 

.

Kami kembali lagi ke rumah orang tuaku. Rumah besar itu terlihat sepi. Adik-adik dan keponakanku sudah tidak ada. 

"Sudah pada pulang, Neng," jawab Bi Inah, wanita paruh baya yang bekerja di rumah kami. 

Aku menarik nafas lega. Setidaknya hari ini aku bisa bebas berkeliaran di rumah tanpa harus bersandiwara lagi. Adik-adikku dan keluarganya memang selalu sibuk. Sama seperti diriku yang juga mengelola bisnis masing-masing. 

Hanya Zein saja yang tidak memiliki bisnis sendiri. Jangankan bisnis, pekerjaan tetap pun dia tak punya. Hingga dua bulan yang lalu, aku memintanya bekerja di kantorku sebagai tim editor. Seorang penulis handal seperti dia, pasti dengan mudah bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Ya, dari pada punya suami pengangguran. 

Aku kembali ke kamar. Berbaring, sambil memainkan gawaiku. Mengamati kembali foto-foto di sosial media milik Refan. Laki-laki yang sudah dengan tega mengambil kehormatanku, lalu dia tinggalkan begitu saja. 

Entah kenapa aku masih sering menstalking akunnya. Mengamati kehidupan pribadinya, yang berbanding terbalik dengan kehidupanku. Dia bisa hidup bahagia setelah melakukan dosa yang sama. Sedangkan aku? Harus terjebak dengan pernikahan palsu dengan laki-laki yang tidak ada apa-apanya. 

"Kamu di sini?" sapanya. Kulihat Zein baru saja masuk. 

"Kamu dari mana?"

"Di ajak Papi, main catur."

"Oh."

Dia kemudian membuka pintu lemari. Aku melirik, kemudian mendapatinya sedang membuka baju. 

"Eh, eh. Mau ngapain?" teriakku.

"Mau ganti baju," sahutnya berbalik. Aku menelan saliva. Menyaksikan kotak-kotak yang ada di bagian perutnya. Cukup lama aku terdiam, hingga bisa menghitung jumlahnya yang ada enam. Eh, enam atau delapan tadi, ya? 

"Lain kali jangan buka baju kalau ada aku. Risih tau!"

"Risih atau risih?" godanya. 

"Ya risih lah. Mending bagus," dustaku. Padahal emang iya. 

Tapi kalau di pikir-pikir, suamiku itu memang tampan. Tidak malu-maluin kalau di ajak jalan. Jangankan ke pemakaman, dibawa undangan pun masih aman. Sia-sia kalau tidak dipamerkan. Ya, walaupun cuma buat mematahkan argumen mereka-mereka yang sering menyindirku. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
gak tajir yg penting setia dr PD kaya tapi tak setia .berondong lagi
goodnovel comment avatar
Nunyelis
diihh knp malu...enak dong dapat berondong cakep lg....biarpun gk tajir.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DINODAI SUAMI SENDIRI   Part106

    "Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap

  • DINODAI SUAMI SENDIRI   Part105

    Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya

  • DINODAI SUAMI SENDIRI   Part104

    Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis

  • DINODAI SUAMI SENDIRI   Part103

    "Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b

  • DINODAI SUAMI SENDIRI   Part102

    "Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."

  • DINODAI SUAMI SENDIRI   Part101

    Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status