Share

Part3

Aku bergegas membuka pintu kamar untuk menyusulnya. Namun aku terkejut, saat tau dia masih berdiri di depan pintu, menungguku. Dengan gaya elegan, aku mensejajarkan diri. Kemudian kembali bergelayut manja merangkul lengannya melewati keluargaku yang sedang berkumpul. 

"Dah, Papi. Dah, Mami. Dah semuanya..." Aku berpamitan sambil memutar-mutar telapak tangan ala miss universe kepada mereka. 

"Duh, mesranya."

"Nempel terusss..."

"Enak punya suamikan, Mbak..."

"Makanya nikah jangan ditunda-tunda."

Secara bergantian mereka menggodaku yang tengah bergandengan mesra dengan suamiku. Membuat pikiranku senang bagai di awang-awang. 

Hati-hati di jalan, kalian," pesan Mami setengah berteriak. 

"Iya, Mi!"

"Iya, Mi!"  Aku dan Zein menjawab serempak. 

.

Hari ini kami kembali melihat rumah yang akan kami tempati. Hadiah dari Papi, sebagai kado pernikahanku. Aku tak ingin berlama-lama di sana. Sangat lelah berpura-pura, demi meyakinkan mereka bahwa pernikahan kami benar-benar bahagia. 

Sudah sejak tiga bulan lalu, kami sudah berlatih dan gladi resik sebelum menikah. And well, Papi dan Mami setuju meski Zein bukan dari kalangan ningrat seperti kami. Bahkan Zein langsung bisa mengambil hati Papi dan menjadikannya menantu kesayangan. 

"Zein, yang ini kamar aku, ya. Kamar kamu di sebelah. Aku mau yang ada kamar mandinya," pintaku. Lebih tepatnya perintah. 

"Iya, terserah kamu."

"Ya, emang terserah aku dong."

"Terus, kita pindahnya kapan?"

"Mmmm...besok aja deh. Biar Nita dan Tiwi pulang dulu. Males banget kalau mereka nanti minta ikut. Mana minta ngadain syukuran lagi. Repot."

"Oh, jadi malam ini kita tidur bareng lagi?" dia berdiri di depanku sambil tersenyum. 

"Jangan mimpi. Kamu tetap tidur di sofa!"

"Padahal tempat tidurnya besar, lho."

"Bodo amat!"

"Kalau aku nggak tahan gimana? 

"Heh, suami bayaran!" Aku berkacak pinggang di hadapannya. 

"Iya, juragan istri." Dia sedikit membungkuk agar wajah kami sejajar.

"Mau, masuk penjara?"

Dia menggeleng, kemudian mundur teratur. 

.

Kami kembali lagi ke rumah orang tuaku. Rumah besar itu terlihat sepi. Adik-adik dan keponakanku sudah tidak ada. 

"Sudah pada pulang, Neng," jawab Bi Inah, wanita paruh baya yang bekerja di rumah kami. 

Aku menarik nafas lega. Setidaknya hari ini aku bisa bebas berkeliaran di rumah tanpa harus bersandiwara lagi. Adik-adikku dan keluarganya memang selalu sibuk. Sama seperti diriku yang juga mengelola bisnis masing-masing. 

Hanya Zein saja yang tidak memiliki bisnis sendiri. Jangankan bisnis, pekerjaan tetap pun dia tak punya. Hingga dua bulan yang lalu, aku memintanya bekerja di kantorku sebagai tim editor. Seorang penulis handal seperti dia, pasti dengan mudah bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Ya, dari pada punya suami pengangguran. 

Aku kembali ke kamar. Berbaring, sambil memainkan gawaiku. Mengamati kembali foto-foto di sosial media milik Refan. Laki-laki yang sudah dengan tega mengambil kehormatanku, lalu dia tinggalkan begitu saja. 

Entah kenapa aku masih sering menstalking akunnya. Mengamati kehidupan pribadinya, yang berbanding terbalik dengan kehidupanku. Dia bisa hidup bahagia setelah melakukan dosa yang sama. Sedangkan aku? Harus terjebak dengan pernikahan palsu dengan laki-laki yang tidak ada apa-apanya. 

"Kamu di sini?" sapanya. Kulihat Zein baru saja masuk. 

"Kamu dari mana?"

"Di ajak Papi, main catur."

"Oh."

Dia kemudian membuka pintu lemari. Aku melirik, kemudian mendapatinya sedang membuka baju. 

"Eh, eh. Mau ngapain?" teriakku.

"Mau ganti baju," sahutnya berbalik. Aku menelan saliva. Menyaksikan kotak-kotak yang ada di bagian perutnya. Cukup lama aku terdiam, hingga bisa menghitung jumlahnya yang ada enam. Eh, enam atau delapan tadi, ya? 

"Lain kali jangan buka baju kalau ada aku. Risih tau!"

"Risih atau risih?" godanya. 

"Ya risih lah. Mending bagus," dustaku. Padahal emang iya. 

Tapi kalau di pikir-pikir, suamiku itu memang tampan. Tidak malu-maluin kalau di ajak jalan. Jangankan ke pemakaman, dibawa undangan pun masih aman. Sia-sia kalau tidak dipamerkan. Ya, walaupun cuma buat mematahkan argumen mereka-mereka yang sering menyindirku. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
gak tajir yg penting setia dr PD kaya tapi tak setia .berondong lagi
goodnovel comment avatar
Nunyelis
diihh knp malu...enak dong dapat berondong cakep lg....biarpun gk tajir.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status