Aku mengubek-ubek gawai mahalku, kemudian menemukan nomor Zahra di sana. Untung kemarin aku sempat memintanya, kalau sewaktu-waktu diperlukan. Kan, bener. Butuh juga akhirnya. [Halo, Zahra?][Iya, Mbak?]Duh, mau berbicara apa nih? Langsung aja, atau basa-basi dulu? Akhirnya akupun memutuskan untuk berbasa-basi saja. Nanya kabar Ibu, kabar dia, ayam peliharaan udah gede apa belum, token listrik aman atau enggak, uang STM udah dibayar apa belum. Dan akhirnya... [Punya nomor Bela, nggak?][Ada, Mbak.]Oke fix. Aman! Setelah Zahra mengirimkan nomornya, aku langsung bergerak cepat. Tak lupa kuiisikan pulsa Zahra seratus ribu. Biasalah, horang kaya. Mana mungkin ngisi pulsa marebu. Gengsi dong. Aku juga nggak mau merasa berhutang budi sama adik ipar, yang mungkin hanya sementara ini. Yah, walaupun sekarang ini aku mulai menyukai sikapnya. Baik, sih. Akupun langsung menekan layar memanggil, berharap dia langsung menerimanya. [ Halo, selamat malam. Dengan siapa, dimana? Paswordnya, Buk
Aku dan Zein masing-masing terdiam. Hatiku yang tadi berapi-api mulai meredam. Tak biasanya memang aku melihat Zein sampai seperti ini. Dia yang biasanya bersikap lebih dewasa dariku, tiba-tiba saja merajuk dan hampir mengeluarkan air mata. Apa ada sesuatu yang salah telah kuperbuat, hingga membuatnya jadi seperti ini. "Emang aku salah apa, Zein?" Aku memberanikan diri meraih tangannya. Dia tak menampik. Membiarkan tanganku tetap menyentuhnya. Lalu kutarik dia untuk duduk di sebelahku. "Kok jadi kamu yang marah?" tanyaku lagi. "Seharusnya kan aku. Kamu dong yang bujuk-bujuk aku. Aku masih emosi ini lho."Ah, elah. Emosi aja pamer. Cari perhatian banget aku. "Iya. Maaf," ucapnya kemudian. "Aku memang nggak punya hak untuk marah sama kamu, Yas.""Tuh, kan. Ngambek lagi. Kalau marah tu ngomong. Jangan diem aja," rengekku manja. "Memangnya, aku boleh marah sama kamu? Aku kan cuman suami bayaran. Sampai kapanpun kamu juga nggak akan luluh dan jatuh cinta sama aku." Dia kembali membuan
[Oke. Aku percaya. Kali ini aku biarin dia. Anggap aja hadiah permintaan maaf karena udah pernah ninggalin kamu. So, kita impas, kan?][Mmm... makasih, sayang. Aku jadi makin cinta deh sama kamu. Dah dulu ya, sayang. Aku mau kerja dulu.][Oke, besok kita ketemuan ya? Aku akan jemput kamu di kantor.][Oke, babe. Kamu boleh dateng kapan aja kok ke kantor.] Kantor polisi maksudnya. Ya kali kamu bisa datang setelah masuk penjara malam ini. [Oke, bye.].Aku menepuk jidatku sendiri. Membayangkan hancurnya perasaan Zein mendengar kata-kata sialan itu. Dasar sontoloyo kurang ajar. "Kamu salah paham, Zein. Yang kamu dengar bukan kenyataan. Cuman sandiwara," bujukku."Mmm... aku tau. Semua yang kamu lakukan memang sandiwara. Termasuk pernikahan kita.""Zein! Kok kamu ketus gitu sih. Liat sini! Jangan buang muka kek gitu." Aku memegang pipi dan memutar kepalanya agar dia melihatku. Mata itu, kembali menatapku. Membuat bulu mataku kembali merinding disko. "Refan bakalan masuk penjara. Dia b
Akhirnya kesalah pahaman antara aku dan Zein sudah berakhir. Bukan Bela yang menghubungi dia. Tapi Zahra yang mempertanyakan langsung pada Zein. Zahra segan menanyakannya langsung sama aku. Apa karena takut pulsanya aku minta balik ya? Dasar si Bela bibit pelakor, bisa-bisanya dia langsung mengadu sama Zahra dan Ibuk, bahwa aku habis melabrak dan marah-marah sama dia. Terpaksa deh, aku minta maaf ke Zein dan menyuruhnya untuk menyampaikan sama Ibuk, bahwa itu semua kesalah pahaman. Iyyuh! Merendahkan diriku banget. Untung malam itu Zein pinter, langsung mengambil hatiku dengan sikap manisnya. Kalau enggak, langsung aku samperin aja itu si minus akhlak. Bikin aku yang sehat walafiat ini jadi naik darah dibuatnya. ."Tengkyu banget, ya Bin. Kamu tuh emang bespren aku. Nggak sia-sia aku ngandalin kamu buat tugas yang satu ini," pujiku, saat makan siang di kafe biasa di seberang kantor. Dengan suamiku juga tentunya. "Yoi, Yaz. Gini-gini aku juga punya hati kali, Yas. Mana tega aku lia
"Aku mau ngasi naskah untuk yang terakhir kalinya. Ada satu naskah aku yang udah rampung. Belum pernah aku publish di aplikasi manapun. Kamu serahin aja ke dia, ya? Bilang, kalau setelah ini dia harus bangkit dan membuat karya barunya sediri. Terserah kalau dia mau ngikutin gaya penulisan aku atau enggak. Aku nggak masalah. Yang penting kami berdua bisa sama-sama sukses sebagai penulis.""Mmmm.... Zein...Kamu baik banget sih jadi orang. Aku terharu banget, lho... " Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Mataku jadi berbeling-beling dibuatnya."Kamu dan Bino juga orang baik kok, Yas. Balasan yang aku kasi juga nggak seberapa, ketimbang aku harus masuk penjara dan ninggalin kamu, juga keluarga aku. Makasih ya, Yas.""Hadiah buat aku mana?" rengekku manja, sambil mengulurkan tanganku padanya. "Sini deketan," pintanya. Menyuruh aku lebih mendekat ke arahnya. Mmmm.... pasti mau nyium ni. Zein sukak nakehal deh. So sweet banget, mau nyium aku di tempat umum kek gini. Aduh, apa kata h
"Lho, ada Tyas di sini?" sapa pria berkaca mata itu. Dia langsung menghampiri Sekar, dan mencium kedua pipinya. "Ya iya, dong," sahutku penuh percaya diri. "Kamu nggak praktek hari ini?" tanyaku kepada suaminya Sekar. "Ini baru mau berangkat. Pamit dulu sama istri tercinta," godanya meledekku."Yaelah. Sok mesra banget. Aku juga udah punya suami kali, Yan. Nggak usah sok paling bahagia deh," pamerku dengan menggoyang-goyangkan kepala. "Nah, aku baru mo nanya. Suami kamu mana, Yas? Sori ya, kemarin aku dan Sekar nggak bisa hadir ke pernikahan kamu. Soalnya nggak diundang," sindirnya. Sekar ikut tertawa mendengar celoteh suaminya. "Hem.. nyindir terusss," balasku. "Iya, soalnya kita bukan dari keluarga ningrat ya kan, Sayang?" Ryan mengedipkan sebelah mata ke arah istrinya. Sekar geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya, yang kebetulan juga teman sekelas kami waktu dulu. Jadi bisa dibilang, kami cukup akrab. Hanya saja waktu itu, pesta pernikahan mewahku memang banyak diisi
"Iya, iya. Nggak papa, Yas. Yang penting aku selamat. Bilangin sama dia, tengkyu banget ya. Kalau seandainya dia ada disini, pasti aku peluk deh dia."Idih, amit-amit. Enak aja mau meluk-meluk Zein. Yang boleh meluk dia itu cuman aku, tau!."Si Bino bilang makasih tuh," ucapku saat sedang bersantai di ruang tivi. "Kamu udah bilang, kalau itu yang terakhir?" sahutnya yang kini duduk di ujung sofa. Mijitin kakiku. Hihihi... aku nggak nyuruh lho ya. "Udah dong. Uangnya aku transfer ke rekening kamu, ya.""Nggak usah, Yas. Kan aku bilang itu hadiah.""Tapi kan dia nggak tau, kamu ngasi hadiah karena apa.""Nggak papa, aku udah ikhlas.""Nggak bisa gitu Zein. Karya kamu itu berharga, loh. Dengan kamu menjualnya ke dia aja udah termasuk hadiah. Daripada kamu terbitin sendiri? Lagian uangnya udah dipotong dari royalti dia kok. Dianya juga iklas kali, Zein," bujukku sambil ah ih uh ah ih uh keenakan.Keenakan dipijit maksudnya. "Ya udah, kalau gitu, uangnya buat kamu aja. Selama menikah k
Tanpa terasa, sudah satu bulan aku dan Zein menjalani biduk rumah tangga. Sejauh ini terasa aman-aman saja. Yah, walaupun ada sedikit konflik yang membuat kami saling diam dan salah paham. Meskipun pada akhirnya ada manis-manisnya gitu. Kalau seandainya aku ajak dia buat merayakan anniversary, dia mau nggak, ya? Atau aku pancing-pancing aja biar dia ingat. Gengsi juga kan, kalau harus aku duluan yang mengingatkan. Kesannya aku terlalu bahagia gitu, menjadi istrinya dia. Walaupun ada sedikit. Cuman sedikit ya, sedikit. "Zein, kamu dimana?" tanyaku saat baru saja keluar dari kamar. Tak ada sahutan. Hari ini,tepat hari Minggu. Hari dimana aku selalu bangun siang dan bermalas-malasan. Aku kembali mencari di setiap sudut ruangan. Tak mungkin dia kembali tidur dan masuk ke kamarnya lagi. Bukankah akhir-akhir ini dia selalu menumpang tidur di kamarku. Yah, walaupun semua pakaiannya masih tersusun rapi di kamar sebelah. Jadi takut juga sih kalau tiba-tiba dia menghilang seperti ini. Tak