"Umur segitu, mana bisa lagi dapat bujangan, Yas. Paling ada duda."
"Iya, Yas. Nggak usah jual mahal lagi. Nggak papa jelek, yang penting ada yang ngawinin.""Stok perjaka usia di bawah tiga puluh udah abis kali, Yas."Dasar mereka itu. Teman-teman sosialitaku yang mulutnya ampun, kaya nasi goreng gila level sepuluh. Tapi lihatlah sekarang, aku punya suami tampan dan muda. Bertubuh bagus dan juga seksi. Tidak seperti suami mereka yang kini telah membuncit dan beruban. Menikah muda pun akhirnya tua juga, kan? Huh, sebel. Kupilih-pilih foto terbagus dari yang terbagus. Foto pernikahan mewah kami waktu itu. Zein tampak gagah dengan busana adat jawa dan blangkon yang dipakainya. Membuatnya terlihat seperti Raja-raja Jawa di film kolosal. Angling Dharma, kalau nggak salah. Tiiit...tiuutt... tring! Foto terkirim. Tak lupa caption alay kusematkan. "Kini, kamulah surgaku." Telalu alay malah. Aku tak perlu takut. Toh aku dan Zein tak berteman di sosial media. Aku bahkan tak tahu, dia memilikinya atau tidak. Bukankah dia tak ingin terkenal? Kurasa dia juga tak butuh f******k..Setelah cuti beberapa hari, aku dan Zein kembali ke kantor. Beraktifitas seperti biasa. Tak lupa kemesraan selalu kami tunjukkan. Semua karyawan mengucap selamat kepada kami. Meski tak jarang terdengar kalau mereka sedang menggosip. Mengatakan kalau Zein adalah laki-laki benalu yang beruntung karena telah berhasil menggodaku."Yas, suruh dong si penulis hantu itu bikin cerita baru," desak si Bino sontoloyo. "Penggemarku udah nggak sabar mau baca karya terbaruku."Dasar si sontoloyo. Mau enak-enaknya aja. Sudah setahun ini dia menggunakan jasa Zein, tanpa dia sadari kalau kini hantu itu sudah sah menjadi suamiku dan bekerja di kantor ini. "Belum ada kabar. Nanti kalau butuh uang dia juga datang," kilahku. Tak bisa dipungkiri, perusahaan mengalami peningkatan penjualan setelah menerbitkan buku karya Zein. Dalam setahun dia telah menyetorkan lima buah judul dan semuanya best seller. Ribuan exampler terjual dari tiap judul, hingga membuat Bino makin berkibar namanya. Padahal sebelumnya, novel-novel tulisannya sulit sekali menyentuh angka seratus. "Ya udah deh. Boleh aku minta nomor hapenya?Aku juga pengen kenal sama bayanganku itu," pintanya. "Nggak boleh! Ra-ha-si-a," tegasku. "Keluar sono!" usirku. .Saat jam makan siang, aku berjalan keluar dari kantor. Bermaksud mengajak Zein untuk makan siang seperti saat kami belum menikah. Hal itu kulakukan sebagai latihan dan gladi resik, agar tak terlihat canggung saat sudah menjadi suami istri. Ada pemandangan aneh yang mengganggu penglihatanku. Salah satu editor wanita duduk manis di sebelah mejanya dengan sangat rapat. Mau apa dia? Hemm... cari mati! "Ehem... ehem...," tegurku yang kini sudah berdiri di belakang mereka. Serempak mereka berdua menoleh ke arahku. Zein menatapku sambil tersenyum. "Ngapain?" tanyaku, sambil menyilangkan tangan di dada. "Eh, ini, Bu. Ada yang saya tidak mengerti. Jadi minta diajarin sama Zein.""Zein?" Aku melotot. "Eh, maksud saya Pak Zein, Bu," ralatnya. Semula mereka memanggil Zein dengan sebutan nama, sebelum mereka tahu bahwa Zein adalah calon suamiku. "Bukannya kamu lebih dulu kerja di sini? Kok nanya-nanya sama anak baru?" mataku melirik sana sini kayak penari Bali. "Anu, Bu. Itu....""Kenapa anu kamu?""Eh, enggak kok, Bu. Enggak kenapa-kenapa.""Udah nggak betah ya, kerja di sini?" sinisku dengan gaya angkuh. Sontak dia bangkit dan berdiri."Betah kok, Bu. Betah. Permisi...." Lalu ngeloyor pergi. Aku kembali melirik Zein yang masih senyum-senyum menatapku. "Kenapa kamu? Senyum-senyum gitu. Bangga gitu, di deketin cewek ganjen kaya Silvi?" ucapku spontan tanpa berpikir. "Kamu cemburu, ya?" tanyanya, yang membuatku diam tak berkutik. Mataku mengerjab berkali-kali. "Cemburu? Sama kamu? Tak usah ye?" sahutku sambil mengibaskan rambut ke belakang. Aku berjalan meninggalkannya sendiri.Setengah berlari aku mendengar suara langkahnya mengikuti, meski aku tak mengajaknya. "Biasanya gandengan. Kok aku di tinggal?" godanya lagi. "Suruh siapa kamu ikut? Aku mo makan sendiri!" ketusku. "Oh, lagi ngambek. Ya udah. Selamat makan, ya. Aku balik kerja aja."Aku terus berjalan tanpa menjawab ucapannya. Namun langkahku terhenti kala melihat dia berbalik dan terus berjalan kembali ke mejanya."Zein!" teriakku. Dia menoleh. "Iya?""Kok balik?""Lho, katanya lagi mau sendiri.""Iih..., nggak peka banget sih. Harusnya kamu itu ngerayu dan ngejar aku!" Aku menghentakkan kaki dan kembali berjalan. "Oh, minta di kejar." Masih bisa kudengar ucapannya sambil berjalan cepat menyusul, lalu menggandeng tanganku. Aku memalingkan wajah sambil mengulum senyum. "Ingat, ya. Ini cuma pencitraan. Pen-ci-tra-an!" tegasku sambil mengapitkan tangan ke lengannya. *************"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
Sekilas dia menatapku dan tersenyum. Kemudian kembali menatap bola lampu di atas ruangan. Sudah dari tadi kuperhatikan, Zein selalu saja memandang ke arah bola lampu yang menyala itu. "Zein, kamu liatin apa?" tanyaku penasaran. "Aku melihat cahaya putih yang terpancar dari bola lampu itu, Yas," jawabnya, tanpa berpaling. "Buat apa?"Dia menarik napas dalam. "Aku berharap, Tuhan masih mau memberikanku kesempatan dan sedikit cahaya dari-Nya agar aku segera sembuh, dan bisa melihat anak kita tumbuh besar, bisa menggendongnya, merawat dan bisa bermain-main dengannya kelak. Dan aku juga berharap masih bisa bekerja dan menafkahi kalian berdua.""Amin." Segera kujawab harapan Zein tadi."Kamu tau, Yas. Apa keinginanku saat ini?" tanyanya. "Apa?""Aku hanya ingin sehat dan bisa bertahan hidup.""Makanya, kamu yang semangat dong, Zein. Banyak-banyak berdoa juga. Tuhan akan cepat mengabulkan doa orang-orang yang lagi sakit." Aku menguatkan genggaman tanganku sebagai bentuk support untuknya.