Share

Part4

"Umur segitu, mana bisa lagi dapat bujangan, Yas. Paling ada duda."

"Iya, Yas. Nggak usah jual mahal lagi. Nggak papa jelek, yang penting ada yang ngawinin."

"Stok perjaka usia di bawah tiga puluh udah abis kali, Yas."

Dasar mereka itu. Teman-teman sosialitaku yang mulutnya ampun, kaya nasi goreng gila level sepuluh. Tapi lihatlah sekarang, aku punya suami tampan dan muda. Bertubuh bagus dan juga seksi. Tidak seperti suami mereka yang kini telah membuncit dan beruban. Menikah muda pun akhirnya tua juga, kan? Huh, sebel. 

Kupilih-pilih foto terbagus dari yang terbagus. Foto pernikahan mewah kami waktu itu. Zein tampak gagah dengan busana adat jawa dan blangkon yang dipakainya. Membuatnya terlihat seperti Raja-raja Jawa di film kolosal. Angling Dharma, kalau nggak salah. 

Tiiit...tiuutt... tring! 

Foto terkirim. Tak lupa caption alay kusematkan. "Kini, kamulah surgaku." Telalu alay malah. Aku tak perlu takut. Toh aku dan Zein tak berteman di sosial media. Aku bahkan tak tahu, dia memilikinya atau tidak. Bukankah dia tak ingin terkenal? Kurasa dia juga tak butuh f******k.

.

Setelah cuti beberapa hari, aku dan Zein kembali ke kantor. Beraktifitas seperti biasa. Tak lupa kemesraan selalu kami tunjukkan. Semua karyawan mengucap selamat kepada kami. Meski tak jarang terdengar kalau mereka sedang menggosip. Mengatakan kalau Zein adalah laki-laki benalu yang beruntung karena telah berhasil menggodaku.

"Yas, suruh dong si penulis hantu itu bikin cerita baru," desak si Bino sontoloyo. "Penggemarku udah nggak sabar mau baca karya terbaruku."

Dasar si sontoloyo. Mau enak-enaknya aja. Sudah setahun ini dia menggunakan jasa Zein, tanpa dia sadari kalau kini hantu itu sudah sah menjadi suamiku dan bekerja di kantor ini. 

"Belum ada kabar. Nanti kalau butuh uang dia juga datang," kilahku. 

Tak bisa dipungkiri, perusahaan mengalami peningkatan penjualan setelah menerbitkan buku karya Zein. Dalam setahun dia telah menyetorkan lima buah judul dan semuanya best seller. Ribuan exampler terjual dari tiap judul, hingga membuat Bino makin berkibar namanya. Padahal sebelumnya, novel-novel tulisannya sulit sekali menyentuh angka seratus. 

"Ya udah deh. Boleh aku minta nomor hapenya?Aku juga pengen kenal sama bayanganku itu," pintanya. 

"Nggak boleh!  Ra-ha-si-a," tegasku. "Keluar sono!" usirku. 

.

Saat jam makan siang, aku berjalan keluar dari kantor. Bermaksud mengajak Zein untuk makan siang seperti saat kami belum menikah. Hal itu kulakukan sebagai latihan dan gladi resik, agar tak terlihat canggung saat sudah menjadi suami istri. 

Ada pemandangan aneh yang mengganggu penglihatanku. Salah satu editor wanita duduk manis di sebelah mejanya dengan sangat rapat. Mau apa dia? Hemm... cari mati! 

"Ehem... ehem...," tegurku yang kini sudah berdiri di belakang mereka. 

Serempak mereka berdua menoleh ke arahku. Zein menatapku sambil tersenyum. 

"Ngapain?" tanyaku, sambil menyilangkan tangan di dada. 

"Eh, ini, Bu. Ada yang saya tidak mengerti. Jadi minta diajarin sama Zein."

"Zein?" Aku melotot. 

"Eh, maksud saya Pak Zein, Bu," ralatnya. Semula mereka memanggil Zein dengan sebutan nama, sebelum mereka tahu bahwa Zein adalah calon suamiku. 

"Bukannya kamu lebih dulu kerja di sini? Kok nanya-nanya sama anak baru?" mataku melirik sana sini kayak penari Bali. 

"Anu,  Bu. Itu...."

"Kenapa anu kamu?"

"Eh, enggak kok, Bu. Enggak kenapa-kenapa."

"Udah nggak betah ya, kerja di sini?" sinisku dengan gaya angkuh. Sontak dia bangkit dan berdiri.

"Betah kok, Bu. Betah. Permisi...." Lalu ngeloyor pergi. 

Aku kembali melirik Zein yang masih senyum-senyum menatapku. 

"Kenapa kamu? Senyum-senyum gitu. Bangga gitu, di deketin cewek ganjen kaya Silvi?" ucapku spontan tanpa berpikir. 

"Kamu cemburu, ya?" tanyanya, yang membuatku diam tak berkutik. Mataku mengerjab berkali-kali. 

"Cemburu? Sama kamu? Tak usah ye?" sahutku sambil mengibaskan rambut ke belakang. Aku berjalan meninggalkannya sendiri.

Setengah berlari aku mendengar suara langkahnya mengikuti, meski aku tak mengajaknya. 

"Biasanya gandengan. Kok aku di tinggal?" godanya lagi. 

"Suruh siapa kamu ikut? Aku mo makan sendiri!" ketusku. 

"Oh, lagi ngambek. Ya udah. Selamat makan, ya. Aku balik kerja aja."

Aku terus berjalan tanpa menjawab ucapannya. Namun langkahku terhenti kala melihat dia berbalik dan terus berjalan kembali ke mejanya.

"Zein!" teriakku. Dia menoleh. 

"Iya?"

"Kok balik?"

"Lho, katanya lagi mau sendiri."

"Iih..., nggak peka banget sih. Harusnya kamu itu ngerayu dan ngejar aku!" Aku menghentakkan kaki dan kembali berjalan. 

"Oh, minta di kejar." Masih bisa kudengar ucapannya sambil berjalan cepat menyusul, lalu menggandeng tanganku. Aku memalingkan wajah sambil mengulum senyum. 

"Ingat, ya. Ini cuma pencitraan. Pen-ci-tra-an!" tegasku sambil mengapitkan tangan ke lengannya. 

                            *************

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Isabella
lucu katanya g cemburu lah kq sewot
goodnovel comment avatar
Santi Widoningrum
lucuuuu bikin geli kata2nya...
goodnovel comment avatar
KokoSan
lumayalah bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status