"Lho, ada Tyas di sini?" sapa pria berkaca mata itu. Dia langsung menghampiri Sekar, dan mencium kedua pipinya. "Ya iya, dong," sahutku penuh percaya diri. "Kamu nggak praktek hari ini?" tanyaku kepada suaminya Sekar. "Ini baru mau berangkat. Pamit dulu sama istri tercinta," godanya meledekku."Yaelah. Sok mesra banget. Aku juga udah punya suami kali, Yan. Nggak usah sok paling bahagia deh," pamerku dengan menggoyang-goyangkan kepala. "Nah, aku baru mo nanya. Suami kamu mana, Yas? Sori ya, kemarin aku dan Sekar nggak bisa hadir ke pernikahan kamu. Soalnya nggak diundang," sindirnya. Sekar ikut tertawa mendengar celoteh suaminya. "Hem.. nyindir terusss," balasku. "Iya, soalnya kita bukan dari keluarga ningrat ya kan, Sayang?" Ryan mengedipkan sebelah mata ke arah istrinya. Sekar geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya, yang kebetulan juga teman sekelas kami waktu dulu. Jadi bisa dibilang, kami cukup akrab. Hanya saja waktu itu, pesta pernikahan mewahku memang banyak diisi
"Iya, iya. Nggak papa, Yas. Yang penting aku selamat. Bilangin sama dia, tengkyu banget ya. Kalau seandainya dia ada disini, pasti aku peluk deh dia."Idih, amit-amit. Enak aja mau meluk-meluk Zein. Yang boleh meluk dia itu cuman aku, tau!."Si Bino bilang makasih tuh," ucapku saat sedang bersantai di ruang tivi. "Kamu udah bilang, kalau itu yang terakhir?" sahutnya yang kini duduk di ujung sofa. Mijitin kakiku. Hihihi... aku nggak nyuruh lho ya. "Udah dong. Uangnya aku transfer ke rekening kamu, ya.""Nggak usah, Yas. Kan aku bilang itu hadiah.""Tapi kan dia nggak tau, kamu ngasi hadiah karena apa.""Nggak papa, aku udah ikhlas.""Nggak bisa gitu Zein. Karya kamu itu berharga, loh. Dengan kamu menjualnya ke dia aja udah termasuk hadiah. Daripada kamu terbitin sendiri? Lagian uangnya udah dipotong dari royalti dia kok. Dianya juga iklas kali, Zein," bujukku sambil ah ih uh ah ih uh keenakan.Keenakan dipijit maksudnya. "Ya udah, kalau gitu, uangnya buat kamu aja. Selama menikah k
Tanpa terasa, sudah satu bulan aku dan Zein menjalani biduk rumah tangga. Sejauh ini terasa aman-aman saja. Yah, walaupun ada sedikit konflik yang membuat kami saling diam dan salah paham. Meskipun pada akhirnya ada manis-manisnya gitu. Kalau seandainya aku ajak dia buat merayakan anniversary, dia mau nggak, ya? Atau aku pancing-pancing aja biar dia ingat. Gengsi juga kan, kalau harus aku duluan yang mengingatkan. Kesannya aku terlalu bahagia gitu, menjadi istrinya dia. Walaupun ada sedikit. Cuman sedikit ya, sedikit. "Zein, kamu dimana?" tanyaku saat baru saja keluar dari kamar. Tak ada sahutan. Hari ini,tepat hari Minggu. Hari dimana aku selalu bangun siang dan bermalas-malasan. Aku kembali mencari di setiap sudut ruangan. Tak mungkin dia kembali tidur dan masuk ke kamarnya lagi. Bukankah akhir-akhir ini dia selalu menumpang tidur di kamarku. Yah, walaupun semua pakaiannya masih tersusun rapi di kamar sebelah. Jadi takut juga sih kalau tiba-tiba dia menghilang seperti ini. Tak
"Kamu sendiri yang mancing-mancing aku.""Mancing-mancing gimana?""Ya kek gini dong, Sayang. Pake pakaian olah raga seksi. Nunjukin otot sama perut sixpack kamu. Ngeluarin keringat yang bikin kamu tambah macho dan jantan banget. Jangankan aku sebagai istri sah, yang ono-ono aja tuh pada gelisah sampe ngintipin kamu dari balik pohon!" Suara yang sengaja kubuat melengking, ternyata membuat mereka yang berada di luar terkejut dan saling dorong-dorongan. Alhasil mereka semua terjatuh dan saling menimpa satu sama lain. Zein membalikkan badan karena terkejut. Aku melepaskan pelukan Zein dan menenggerkan tangan di pinggangku mendekati dinding pagar."Lagi pada ngapain nih?" sindirku. "Eh, enggak kok. Cuman lari-lari pagi aja.""Iya, cuman lari pagi.""Lari pagi kenapa pada berenti di sini?" tanyaku semakin sewot. "Panas, Mbak.""Iya, di sini adem.""Di bawah pohon bikin adem.""Ho oh, iya.""Oh, pohonnya bikin adem, ya? Gitu? Oke. Besok itu pohon bakalan aku tebang. Ngerti?""Jangan don
Lagi-lagi Zein bersikap mencurigakan. Membuat semangatku yang tadi menggebu-gebu jadi letoy kembali. Ada apa lagi kali ini? Tapi, ya sudahlah. Asal dia nggak selingkuh dan masih setia kepadaku, itu udah cukup."Ya udah, Zein. Kalau kamu nggak mau, juga nggak papa kok," ujarku pasrah. "Kamu marah?""Ya enggak dong. Ngapain juga marah. Nggak penting juga kok. Ya udah deh. Kita nggak usah kemana-mana. Aku mau tiduran aja di kamar.""Aku ikut ya, Yas."Dih, enak aja. Sori ye. Hari ini aku lagi nggak mood. Kesel sama sikap kamu. "Kamu di luar aja deh, Zein. Aku lagi pengen istirahat sendirian. Kamu lanjutin aja bercocok tanamnya. Nanam cabe kek. Siapa tau bulan depan udah bisa panen," sindirku. Aku pun ngeloyor pergi dan masuk ke kamar. Tak lupa juga mengunci pintu. Saat ini, meski dipaksa aku juga nggak akan rela. Bad mood, iyyuh... .Duh, kok Zein tiba-tiba berubah kek gitu sih. Kan cuma anniversary aja. Apa baginya merayakan hari jadi pernikahan itu nggak penting? Atau bisa jadi dia
"Mau ketemuan dimana?" tanyanya lagi. "Biasalah. Palingan juga di mall.""Mall mana?""Ditempat biasa lho, Zein."Duh, kok nanyanya sampai detil banget sih. Untung Zein tau mallnya ada di mana. Jadi aku tinggal bilang aja. Lagian, ngapain juga aku bohong. Zein juga nggak akan mungkin mau nyusulin aku ke sana. "Pulangnya jangan malam-malam ya, Yas."Dih, kalau bisa jangan pulang sekalian kali, Zein. Biar hari ini terlewat. Nggak perlu dilalui berdua sebagai peringatan satu bulan pernikahan kita. Moment tersedih tau nggak. "Aku naik taksi online aja ya, Zein. Kalau kamu mau nyuci mobil, aku juga nggak ngelarang kok." Aku tertawa geli. "Kenapa nggak bawa mobil?"Ya kali bawa mobil, Zein. Alasan aku pergi kan karena kamu lagi sibuk nyervis kendaraan. Apa kata dunia kalau mobilnya aku bawa. Ketauan dong lagi jablay di hari Minggu. "Ya udh deh. Aku pergi dulu, ya. Bye bye Zein?""Hati-hati ya, Yas. Kalau mau pulang telpon aku, ya. Biar aku jemput."Dih, sori ye. Nggak akan. Aku nggak
Aduh! Mati aku. Kenapa Zein tiba-tiba bisa muncul di sini? Bukannya tadi dia bilang tidak ingin kemana-mana? Kan jadi masalah lagi. Kenapa juga si Rama tiba-tiba muncul. Bikin sebel aja! Zein menatap sinis memandang Rama. Emang ini anak, kalau urusan sama laki-laki terlihat sangat garang. Macho banget lagi. Bikin bulu mataku kembali merinding disko. Rama tak menjawab, hanya mengangkat bahu saja. Mungkin maksudnya bilang 'Sori, gue nggak tau kalau suaminya ada di sini.'Ituh! Tanpa meminta, Zein langsung memegang tanganku dan menggenggamnya. Kelihatan marah sih. Mukanya tegangan tinggi. Disentuh dikit aja langsung kesetrum. Lututku aja udah merasa gemetar. "Ayuk pulang!" Dia langsung menarikku untuk berdiri. Seperti kerbau yang dicucuk hidung, aku langsung menurut dan mengikuti langkahnya dengan cepat. Aneh. Sedikitpun nggak ada niatan untuk melawan atau meronta-ronta minta dilepaskan. Apa perasaan takut Zein marah, lebih besar dari rasa marahku sendiri? Iyyuh...seorang Tyas kalah
Aku mulai bangkit, dengan bantuan Zein pastinya. Dengan jalan agak terpincang-pincang, dia dengan setia memapahku. "Kamu beneran nggak papa, Yas? Aku nggak tega lihat kamu kek gini. Aku gendong aja, deh."Zein mulai menunduk untuk meraih betisku, namun aku tetap saja menolak. "Aku nggak mau, Zein.""Kenapa?""Malu tau!""Oh, malu digendong sama suami kayak aku?""Apaan sih, ngambek melulu. Kek anak kecil deh. Siapa suruh kamu tadi jalannya cepat-cepat. Percuma dong nyusul ke sini, kalau nyatanya aku di tinggal juga. Udah, buruan sana pulang. Aku bisa pulang sendiri, kok," rajukku. "Oh, ya, ya. Alasan. Pasti pengen diantar pulang sama cowok yang tadi, kan?" Dia balas merajuk. "Ish, Zein." Aku memukul lengannya. "Ngalah dikit kenapa, sih. Kalau istri ngambek tuh, dibujuk. Bukan malah ikutan ngambek!"Dia kembali tersenyum. Hmmm... kan manis banget senyum kek gitu. "Ya, udah kita duduk dulu, ya. Biar sakitnya ilang." Aku mengangguk.Akhirnya dengan jalan agak terpincang-pincang, kam