Share

Part 6

DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUH

Suara adzan berkumandang, aku segera bangun dan menunaikan kewajibanku. Setelah mandi, aku segera ke dapur untuk melihat Bi Imah, barangkali ada yang bisa dibantu.

Sesampainya di sana, kulihat Bi Imah sudah siap dengan nampan berisi segelas susu dan sepiring roti oles.

"Mau dibawa kemana itu Bi?" Tanyaku pada Bi Imah yang tampak terkejut melihat kehadiranku.

"Ah Non Alisha, bikin kaget saja. Ini mau dibawa ke kamar Den Rendi. Non bisa tolong anterin ini ke kamar Aden? Bibi masih mau nyiapin yang lain dulu." ujar Bi Imah, seraya mengangsurkan nampan tersebut kepadaku.

"Boleh Bi, sini biar kuantarkan!"

Dengan sedikit ragu, aku mengetuk kamar suamiku. Setelah kudengar sahutan dari dalam, barulah aku masuk dan meletakkan nampan itu di atas meja.

Sesampainya di kamar, Mas Rendi terlihat masih bergelung di balik selimut. Ketika melihat kedatanganku, tatapannya mendadak berubah tajam.

"Siapa yang menyuruhmu ke sini? Pergi!"

Mas Rendi berteriak dan melemparkan bantal ke arah nampan yang kubawa. Aku yang terkejut, tak sempat menghindari serangannya. Gelas berisi susu panas tadi tumpah dan sebagian mengenai paha dan perutku.

Aku menjerit karena kepanasan, namun dia tak peduli dan terus mengusirku keluar dari dalam kamarnya. Demi menghindari keributan, aku keluar dari kamar itu dan meminta tolong Bi Imah untuk membersihkan sisa kekacauan tadi.

Bi Imah lari tergopoh-gopoh melihat kondisiku yang kesakitan. Wanita itu terlihat panik, kemudian berlari untuk mengambilkan obat.

"Bi Imah, cepat kemari!" Terdengar teriakan Mas Rendi dari dalam kamar.

"Baik Den, Bibi datang!"

"Non, bisa obatin sendiri kan? Bibi tinggal ya?"

"Iya Bi, aku tak apa-apa. Bibi pergi saja!" jawabku cepat, meski masih meringis menahan sakit.

Setelah Bi Imah pergi, aku berjalan menuju kamarku sendiri. Cepat kuganti baju, kemudian mengoleskan obat tadi pada bagian tubuh yang tersiram air panas. Sebenarnya, bukan hanya tubuhku yang merasa sakit, namun jauh di dalam lubuk hatiku, terbuka luka yang cukup dalam. Ini baru hari kedua aku tinggal di rumah ini, namun sudah ada kejadian seperti ini. Harus berapa lama lagi aku mendapat perlakuan seperti ini? Rasanya mustahil Mas Rendi bisa menerimaku. Kusandarkan tubuh pada dinding kamarku, memikirkan bagaimana nasib pernikahanku selanjutnya.

Sanggupkah aku menjalani pernikahan ini ya Allah?

Ketika sedang sibuk memikirkan nasibku, samar-samar terdengar suara tangisan bayi yang menyayat hati. Bayi siapakah itu, apakah di rumah ini ada bayi?

Kutajamkan pendengaranku untuk memastikan apa yang kudengar, karena bisa jadi itu hanya suara bayi dari televisi.

Semakin lama, suara tangisan itu kian keras dan terdengar semakin jelas.

Untuk memastikan pendengaranku, gegas aku keluar kamar dan mencari sumber suara. Aku belum begitu paham dengan tata ruang di rumah ini, karena baru semalam menginap di sini.

Suaranya terdengar semakin jelas dari kamar yang berada di lantai dua. Dengan penuh rasa penasaran, aku berjalan menyusuri tangga dan melihat Bi Imah bersama seorang pengasuh sedang berusaha menenangkan bayi mungil di tangannya.

"Bi Imah, bayi siapakah itu?" Tanyaku penasaran.

"Ini bayi Den Rendi Non. Kasihan dia, diusianya yang masih bayi, harus ditinggal pergi oleh ibunya." Kata Bi Imah menjelaskan.

Mendengar penuturan Bi Imah, hatiku tersentuh melihat bayi mungil di tangannya, yang terus menangis sejak tadi. Sebenarnya aku penasaran dengan ucapan Bi Imah tadi, namun aku berusaha mengesampingkan rasa penasaranku, dan memilih untuk mencoba menenangkan bayi tersebut.

"Boleh saya coba gendong Bi? Kasihan bayi itu terus menangis. Siapa tahu dia mau diam kalau bersamaku."

"Silakan Non." Jawab Bi Imah sembari menyerahkan bayi yang masih terus menangis itu kepadaku.

Ajaib. Setelah kuayun sebentar, bayi mungil itu terdiam dan menatap kepadaku. Perlahan bibir mungilnya membentuk lengkungan tipis, dia tersenyum sangat manis. Mendadak hatiku menghangat hanya dengan melihat senyum bayi mungil itu. Mungkinkah aku telah jatuh cinta padanya?

"Dia tersenyum Bi!"

Aku melonjak kegirangan disambut anggukan Bi Imah dan pengasuh bayi itu. Mereka juga ikut tersenyum bahagia.

Rasanya tak pernah bosan memandang wajah imut bayi mungil di tanganku itu. Sembari terus kuayun, kunyanyikan juga lagu anak-anak untuknya. Tak lama kemudian, bayi itupun terlelap.

"Siapa nama bayi ini Bi?" Tanyaku pada Bi Imah setelah menidurkan bayi itu pada boxnya.

"Namanya Zahra, Non." Jawab Bi Imah singkat.

"Bayinya sangat cantik, pasti ibunya juga cantik kan Bi?" Tanyaku pada Bi Imah untuk memancing agar mau bercerita.

"Iya Non, ibunya memang cantik. Wajarlah, dia kan seorang model. Tapi sayang, demi meraih impiannya, dia rela meninggalkan bayinya sejak usianya masih tiga bulan."

Aku melongo tak percaya mendengar penuturan Bi Imah, tak menyangka ada seorang ibu yang tega meninggalkan bayinya hanya demi harta dan popularitas semata.

"Ehem!"

Kami semua terkejut karena tanpa kami sadari Oma sudah berdiri di ambang pintu kamar.

Bersambung.....

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
duda 1 anak to
goodnovel comment avatar
Silver Girl
spil Rendinya thor...
goodnovel comment avatar
Herlina Teddy
tetap kuat Alisha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status