DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUH
Suara adzan berkumandang, aku segera bangun dan menunaikan kewajibanku. Setelah mandi, aku segera ke dapur untuk melihat Bi Imah, barangkali ada yang bisa dibantu.Sesampainya di sana, kulihat Bi Imah sudah siap dengan nampan berisi segelas susu dan sepiring roti oles."Mau dibawa kemana itu Bi?" Tanyaku pada Bi Imah yang tampak terkejut melihat kehadiranku."Ah Non Alisha, bikin kaget saja. Ini mau dibawa ke kamar Den Rendi. Non bisa tolong anterin ini ke kamar Aden? Bibi masih mau nyiapin yang lain dulu." ujar Bi Imah, seraya mengangsurkan nampan tersebut kepadaku."Boleh Bi, sini biar kuantarkan!"Dengan sedikit ragu, aku mengetuk kamar suamiku. Setelah kudengar sahutan dari dalam, barulah aku masuk dan meletakkan nampan itu di atas meja.Sesampainya di kamar, Mas Rendi terlihat masih bergelung di balik selimut. Ketika melihat kedatanganku, tatapannya mendadak berubah tajam."Siapa yang menyuruhmu ke sini? Pergi!"Mas Rendi berteriak dan melemparkan bantal ke arah nampan yang kubawa. Aku yang terkejut, tak sempat menghindari serangannya. Gelas berisi susu panas tadi tumpah dan sebagian mengenai paha dan perutku.Aku menjerit karena kepanasan, namun dia tak peduli dan terus mengusirku keluar dari dalam kamarnya. Demi menghindari keributan, aku keluar dari kamar itu dan meminta tolong Bi Imah untuk membersihkan sisa kekacauan tadi.Bi Imah lari tergopoh-gopoh melihat kondisiku yang kesakitan. Wanita itu terlihat panik, kemudian berlari untuk mengambilkan obat."Bi Imah, cepat kemari!" Terdengar teriakan Mas Rendi dari dalam kamar."Baik Den, Bibi datang!""Non, bisa obatin sendiri kan? Bibi tinggal ya?""Iya Bi, aku tak apa-apa. Bibi pergi saja!" jawabku cepat, meski masih meringis menahan sakit.Setelah Bi Imah pergi, aku berjalan menuju kamarku sendiri. Cepat kuganti baju, kemudian mengoleskan obat tadi pada bagian tubuh yang tersiram air panas. Sebenarnya, bukan hanya tubuhku yang merasa sakit, namun jauh di dalam lubuk hatiku, terbuka luka yang cukup dalam. Ini baru hari kedua aku tinggal di rumah ini, namun sudah ada kejadian seperti ini. Harus berapa lama lagi aku mendapat perlakuan seperti ini? Rasanya mustahil Mas Rendi bisa menerimaku. Kusandarkan tubuh pada dinding kamarku, memikirkan bagaimana nasib pernikahanku selanjutnya.Sanggupkah aku menjalani pernikahan ini ya Allah?Ketika sedang sibuk memikirkan nasibku, samar-samar terdengar suara tangisan bayi yang menyayat hati. Bayi siapakah itu, apakah di rumah ini ada bayi?Kutajamkan pendengaranku untuk memastikan apa yang kudengar, karena bisa jadi itu hanya suara bayi dari televisi.Semakin lama, suara tangisan itu kian keras dan terdengar semakin jelas.Untuk memastikan pendengaranku, gegas aku keluar kamar dan mencari sumber suara. Aku belum begitu paham dengan tata ruang di rumah ini, karena baru semalam menginap di sini.Suaranya terdengar semakin jelas dari kamar yang berada di lantai dua. Dengan penuh rasa penasaran, aku berjalan menyusuri tangga dan melihat Bi Imah bersama seorang pengasuh sedang berusaha menenangkan bayi mungil di tangannya."Bi Imah, bayi siapakah itu?" Tanyaku penasaran."Ini bayi Den Rendi Non. Kasihan dia, diusianya yang masih bayi, harus ditinggal pergi oleh ibunya." Kata Bi Imah menjelaskan.Mendengar penuturan Bi Imah, hatiku tersentuh melihat bayi mungil di tangannya, yang terus menangis sejak tadi. Sebenarnya aku penasaran dengan ucapan Bi Imah tadi, namun aku berusaha mengesampingkan rasa penasaranku, dan memilih untuk mencoba menenangkan bayi tersebut."Boleh saya coba gendong Bi? Kasihan bayi itu terus menangis. Siapa tahu dia mau diam kalau bersamaku.""Silakan Non." Jawab Bi Imah sembari menyerahkan bayi yang masih terus menangis itu kepadaku.Ajaib. Setelah kuayun sebentar, bayi mungil itu terdiam dan menatap kepadaku. Perlahan bibir mungilnya membentuk lengkungan tipis, dia tersenyum sangat manis. Mendadak hatiku menghangat hanya dengan melihat senyum bayi mungil itu. Mungkinkah aku telah jatuh cinta padanya?"Dia tersenyum Bi!"Aku melonjak kegirangan disambut anggukan Bi Imah dan pengasuh bayi itu. Mereka juga ikut tersenyum bahagia.Rasanya tak pernah bosan memandang wajah imut bayi mungil di tanganku itu. Sembari terus kuayun, kunyanyikan juga lagu anak-anak untuknya. Tak lama kemudian, bayi itupun terlelap."Siapa nama bayi ini Bi?" Tanyaku pada Bi Imah setelah menidurkan bayi itu pada boxnya."Namanya Zahra, Non." Jawab Bi Imah singkat."Bayinya sangat cantik, pasti ibunya juga cantik kan Bi?" Tanyaku pada Bi Imah untuk memancing agar mau bercerita."Iya Non, ibunya memang cantik. Wajarlah, dia kan seorang model. Tapi sayang, demi meraih impiannya, dia rela meninggalkan bayinya sejak usianya masih tiga bulan."Aku melongo tak percaya mendengar penuturan Bi Imah, tak menyangka ada seorang ibu yang tega meninggalkan bayinya hanya demi harta dan popularitas semata."Ehem!"Kami semua terkejut karena tanpa kami sadari Oma sudah berdiri di ambang pintu kamar.Bersambung.....DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUHTujuh belas tahun kemudian"Selamat Sayang, sebentar lagi kamu akan resmi menjadi seorang istri. Jadilah istri yang baik, baktikan seluruh hidupmu untuk suami dan anak-anakmu nanti." Kukecup pipi Zahra dengan lembut, kemudian memasangkan kalung warisan Merry di leher Zahra. Namun, calon pengantin itu justru menangis terisak-isak.Seminggu yang lalu, kami telah sepakat memberitahukan tentang Merry, ibu kandungnya yang telah tiada. Gadis itu sangat syok mengetahui bahwa aku bukanlah ibu kandungnya. Awalnya memang dia tak terima, ada ibu selain aku. Namun berkat pengertian yang kami berikan, akhirnya dia bisa menerimanya. Apalagi umurnya juga sudah dewasa, jadi lebih mudah untuk menerima nasihat yang kami berikan. Tak lupa, kami juga mengajaknya berdoa dan berziarah ke makam ibunya.Mas Rendi memang memutuskan untuk memberitahukan tentang Merry setelah dia dewasa."Terimakasih Bunda, telah sabar merawat dan mendidikku selama ini. Bagiku, Bunda yang terbaik
DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUHPart 88"Mas, ini ada titipan untukmu!" ujarku pada Mas Rendi malam itu, setelah kami selesai menidurkan Zahra dan Dio."Apa itu, dari siapa?" Mas Rendi mengernyitkan keningnya, sambil memandangi amplop tersebut."Terimalah, ini titipan dari Merry. Tadi ibunya datang kemari, dan memberikan ini untukmu.""Untuk apa lagi dia mengirim amplop ini? Apa belum cukup dia membuat kekacauan di keluarga kita?""Jangan begitu Mas, bagaimanapun juga, dia ibunya Zahra. Apalagi dia sudah meninggal, jadi sebaiknya kita bisa memaafkannya." Mendengar jawabanku, seketika Mas Rendi membenahi tempat duduknya dan menoleh ke arahku."Apa? Meninggal?" tanya Mas Rendi seolah tak percaya atas apa yang baru saja di dengarnya."Iya Mas, ibunya sendiri yang mengatakan itu padaku. Daripada penasaran, lebih baik Mas buka saja isinya. Aku permisi dulu, mau melihat anak-anak sebentar." Aku baru saja ingin beranjak dari tempat duduk, ketika Mas Rendi menarik tanganku."Tetaplah di sini be
DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUH Part 87Tiga Tahun Kemudian"Bunda, ada tamu di depan! Katanya pengen ketemu sama Bunda." kata Zahra, siang itu. "Siapa tamunya?" tanyaku penasaran. "Zahra nggak tahu Bund, tapi sepertinya orang asing." jawab Zahra lagi. "Baiklah, Bunda temuin tamunya dulu ya. Tolong ajak dedek Dio main dulu ya!" kataku sembari berlalu meninggalkan kedua anakku di dalam kamar. "Siap Bunda," sahut Zahra semangat, kemudian mengacungkan kedua jempolnya ke arahku.Zahra kini sudah berumur delapan tahun, sehingga sudah bisa menemani adiknya bermain.Aku berjalan perlahan menuju ruang tamu, merasa penasaran, siapa tamu yang dimaksud oleh Zahra. Sesampainya di ruang tamu, aku melihat seorang nenek, sedang duduk dengan wajah menunduk. Siapa dia, sepertinya aku belum pernah melihat wanita itu sebelumnya?"Assalamu'alaikum?" sapaku kepada nenek itu, yang langsung berusaha bangkit ketika melihat kedatanganku. "Wa'alaikumussalam, dengan Nak Alisha?" tanya nenek itu yang membuatk
DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUH Part 86Pagi menjelang, mentari mulai keluar dari peraduannya. Harum semerbak bunga mawar dari samping kamar, menebarkan semangat tersendiri bagiku. Cicit burung-burung kecil, menambah semarak pagi itu. "Mas, kita berangkat sekarang saja ya!" kataku pada Mas Rendi, yang sudah selesai memasukkan barang-barang bawaan kami ke dalam mobil. Ya, pagi ini kami akan berangkat ke rumah sakit. Aku sudah siap dengan segala resikonya, yang penting anakku bisa lahir dengan sehat dan selamat. Setelah berpamitan kepada Bi Imah dan Zahra, kamipun berangkat ke rumah sakit. Hatiku tak tenang, harap-harap cemas memikirkan persalinanku nanti.Tak perpikirkan olehku, akan melahirkan secara caesar. Sanggupkah aku menjalaninya?Tak ingin terus dilanda kecemasan, aku memilih berzikir dan berdoa selama dalam perjalanan. Entah apa yang ada di pikiranku, namun bagiku meja operasi itu menakutkan. Namun demi lahirnya sang buah hati, aku akan berusaha kuat untuk melawan ketakutanku
DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUHPart 85Lamunanku terhenti ketika mendengar suara ketukan di pintu kamar."Masuk!" Jawabku kemudian. Ketika pintu terbuka, aku terkejut melihat siapa yang datang. Tampak Zahra sudah berdiri dengan senyum manisnya. Gadis kecil itu terlihat menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. Sementara Mas Rendi, berdiri di belakang Zahra dengan membawa buqet bunga mawar kesukaanku. "Selamat ulang tahun Bunda! Ini kado dari Zahra! " seru Zahra seraya berlari memelukku, kemudian menyerahkan sebungkus coklat yang dia bawa. "Selamat ulang tahun Sayang!" seru Mas Rendi seraya menyusul Zahra, yang sudah lebih dulu memelukku. Kami saling berpelukan, mencurahkan kasih sayang satu sama lain. Mungkin karena akhir-akhir ini terlalu sibuk mengurus segala sesuatu, sampai aku lupa akan hari ulang tahunku sendiri. "Terimakasih banyak kesayangan-kesayanganku, kalian semua luar biasa!" kataku seraya mencium pipi Zahra dan Mas Rendi bergantian. Aku tak menyangka mereka akan m
DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUHPart 84Tak ingin terus menduga-duga, aku segera mencari nomor Ulfa, sahabatku yang juga tetanggaku di sana. Tak perlu waktu lama, panggilanku terhubung, memperdengarkan suara indah sahabatku yang sudah lama tak bertemu. Saat ini Ulfa sudah menikah, bahkan sudah dikaruniai seorang gadis cantik. Aku sangat senang mendengar kabar tersebut, karena dulu kami sama-sama ditinggal pergi oleh calon suami. Aku sangat tahu apa yang dia rasakan waktu itu, karena akupun mengalaminya. Untuk sesaat, aku lupa dengan tujuanku meneleponnya, malah justru asyik saling bertukar kabar. Hingga Ulfa menanyakan tujuanku meneleponnya. ["Oh ya Sha, tumben kamu nelpon siang-siang gini. Ada apa?"] Tanya Ulfa, dari seberang sana. Sha, adalah nama panggilan untukku ketika sedang bersamanya. Katanya dia malas menyebut nama Alisha, kepanjangan. ["Iya nih. Barusan aku lihat berita kalau rumahku yang di sana kebakaran. Apakah itu benar?"] Tanyaku penasaran. Ulfa terdengar menghela n