Tidak kupedulikan lagi Tania dan tingkah lakunya. Terserah saja dia mau pergi ke rumah sakit dengan siapa. Lebih baik membersihkan diri saja.Ada mertua yang harus dilayani. Aku tidak mau tubuh lengket ini membuat nilaiku turun di mata mereka. Aku mengenal Ibu Gina dan Bapak Edi. Keduanya sangat menjaga kebersihan dan kerapian. Makanya sesibuk apapun aku harus tampil rapi di depan keduanya.Ketika akan memasuki kamar mandi, ponsel yang tergeletak di nakas bergetar. Tadinya ingin abai, tetapi benda persegi tujuh inchi itu terus berdering. Saat kutengok, ada nama Ghani yang tertera di layar.Ada apa? Semenjak menikah dengan Ega enam bulan lalu kami sudah tidak pernah lagi berhubungan. Baik secara langsung maupun telepon. Walau begitu kontak nomornya masih kusimpan.Ini untuk pertama kalinya dia menghubungi aku, setelah malam perpisahan kami yang begitu menyisakan luka. Masih hangat di kepala, betapa kecewanya Ghani saat kuputuskan secara sepihak.Ragu-ragu kuraih ponsel yang baru sebula
Ketika kami masuk mata Ibu memang tengah terpejam. Namun, wanita itu lekas terjaga begitu kami mendekat. Bibirnya yang pucat melempar senyum manis untuk kami."Ibu, bagaimana keadaanmu?" tanyaku khawatir. Tanpa ragu kupeluk wanita yang telah berjasa dalam hidup itu."Ibu baik-baik saja, Mika," balas Ibu begitu mengurai pelukan. Ceruk di pipinya tersembul saat ia tersenyum. "Jeng Gina dan Bapak Edi apa kabar?" sapanya lemah."Kabar kami baik," sahut mertua perempuanku ramah. "Jeng Utami sendiri bagaimana? Maaf kami ke sini tidak bawa buah tangan. Habisnya Mika mendadak kasih tahu jika Jeng ada di sini," tutur Ibu Gina panjang.Ibuku tersenyum. "Kalian datang saja saya sudah bahagia. Kenapa harus repot bawa oleh-oleh?""Ibu sakit kenapa tidak menghubungi aku?" protesku sedikit kesal.Ibu sekali lagi hanya sanggup tersenyum. "Ibu hanya kelelahan. Kebetulan kemarin banyak orderan. Banyak hajatan jadi katering ibu laris. Makanya drop.""Kenapa tidak panggil aku untuk membantu, Bu?" Aku mas
EHEMAku tersadar. Begitu juga dengan Ghani. Kami refleks menoleh ke sumber suara. Sosok dingin Ega menatap tajam dengan tatapan elangnya. Di belakang Bian mendampingi dengan kedua tangan di celana. Dari cara pandang mereka, aku seolah maling yang baru tertangkap basah."Ga?" Aku menyapa kikuk. Ega tidak membalas. Dia dan Bian hanya maju mendekat. Tatapannya masih tidak berubah. "Ngapain ke sini ... eum ... maksudku-""Ngapain ke sini?" Mata Ega memincing mendengar pertanyaan yang tidak sengaja terlontar dari bibir ini. "Mertuaku sakit. Salah jika aku berkunjung?" Dia bertanya sinis. Matanya sama sekali tidak mau menatap Ghani.Aku sendiri agak terkesima mendengar Ega memanggil Ibu dengan sebutan mertuaku. Setelah lima bulan menikah baru ada pengakuan kali ini. Selama ini dia selalu menghindar jika ibu ingin bertemu.Seingatku Ega baru dua kali menginjakkan kaki di rumah. Satu saat acara lamaran. Kedua saat kami baru menikah. Walaupun Ibu sudah berkali-kali menyuruhnya untuk memanggil
"Mika lebih suka jika dibelikan makanan oleh Ghani, Bu." Mataku mendelik saat Ega mengadu demikian."Jangan begitu dong, Mik! Harga kerja keras suamimu." Ibu menasihati dengan suara lembut."Kerja keras apanya? Orang yang beli juga Bian bukan dia." Walau menyangkal tetapi bungkusan itu aku ambil kembali. Lalu mulai membukanya. "Ga, sore ini itu hawanya gerah banget. Masa iya kamu beliin aku nasi goreng. Ya gak pas dong." Aku kasih nasi goreng dalam wadah itu ke pangkuan Ega."Lha ... tapi Ghani malah beliin kamu bakmi pedas." Ega memprotes. Walau tidak begitu lantang tapi aku tahu jika dia kesal."Karena Ghani beliin makanan kesukaan di tempat favoritku," jujurku kemudian."Oke, katakan di mana alamat bakmi favoritmu itu!" tantang Ega serius."Gak usahlah!" Aku mengibas tangan, lalu dengan malas mulai menguap nasi goreng kambing itu ke mulut. Ketika tengah menguyah tiba-tiba perut Ega berbunyi. "Kamu lapar juga?" Kutatap Ega serius."Pekerjaan menumpuk. Aku melewatkan makan siang."A
"Yuk ... ahhh!" Sumpah! Niatku sebenarnya adalah ingin menggandeng tangan Andika ketika mau masuk ke kamar Ibu. Tapi, kenapa malah tangan Ghani yang kutarik?"Apa-apaan sih?" Wajar jika Ega terlihat meradang. Dia langsung melepas gandengan tangan aku dan Ghani. Lalu menggenggam tanganku. Bahkan meremasnya kuat. Seakan menunjukkan betapa gemasnya dia padaku."Jangan asal main serobot gandeng tangan istri orang, ya!" tegas Ega menatap tajam Ghani.Ghani tersenyum simpul menanggapi. "Bukan aku yang main gandeng, tapi Mika yang duluan gandeng tangan aku," jelasnya santai."Apaan sih! Gitu aja diributin." Aku menyergah omongan Ega dengan cepat. Mencegah agar lelaki itu tidak kembali melontarkan omongan yang tidak mengenakkan hati buat Ghani. Ega sendiri tampak kesal melihat aku mencemoohnya. "Yuk, Dik, kita masuk berdua saja. Mereka biar berantem sini!" Kuraih tangan remaja tujuh belas tahun itu. Sambil melangkah sudut bibir ini berkedut. Ada sedikit kebahagiaan saat mengetahui Ega menc
Walau pun tercengang mendengar pengakuan jujur dari bibir Ega. Namun, perintah itu tetap kulaksanakan juga. Karena memang baju pemberian dari Ghani ini sudah lumayan basah. Tanpa ragu lagi tanganku segera memilih dan memilah baju-baju di rak display.Pilihanku tertuju pada Hoodie karakter Mini mouse berwarna peach merah. Selain ada penutup kepala, hoodie ini juga bisa menghangatkan hawa yang mulai terasa dingin ini.Celana drawsting sengaja kupilih bawahan. Selain nyaman dipakai untuk santai. Nyaman juga untuk tidur. Ketika tengah memilih dalaman, Ega berdiri tidak jauh dari tempatku. Dia pun tengah mencari under wear. Kami sama-sama tersipu menyadari apa yang tengah dipilih.Untuk membuang jengah, aku gegas menuju fitting room. Mengganti dress pemberian dari Ghani yang lembap ini dengan hoodie dan celana drawsting. Ketika ke luar dari ruang ganti, Ega tengah berdiri di meja kasir.Lelaki itu ternyata membeli hoodie berwarna hitam. Dan yang membuat aku harus menelan ludah Ega membeli
(POV Author)Bian melajukan mobilnya menuju rumah Ega. Dalam hati lelaki dua puluh sembilan tahun sedikit bersyukur dengan sakitnya ibu Mika. Apa hubungannya? Tentu saja ada.Ega sudah berpesan padanya jika dia akan menginap di rumah sakit untuk menemani Mika menunggui ibunya. Dengan begitu Bian punya kesempatan untuk mendekati Bapak Edi. Pria yang selama dua puluh tahun ini ia cari dalam ibunya.Dalam perjalanan pulang kenangan masa lalunya berkelebat lagi di mata. Masih jelas dalam ingatan jika sejak kecil Bian sangat merindukan sosok seorang ayah. Semenjak lahir pria dewasa yang menemaninya adalah sang kakek. Bahkan di akta kelahiran dirinya tercatat sebagai anak dari kakek dan neneknya.Sewajarnya anak kecil, Bian sering bertanya pada ibunya tentang keberadaan sang ayah. Ibunya hanya menjawab jika sang ayah adalah seorang pelaut dan telah meninggal sewaktu Bian dalam kandungan. Dengan alasan kapalnya karam di tengah lautan.Ketika Bian ingin mengetahui wajah sang ayah, ibunya meno
Tidak terasa sudut mata Bian berakhir mengingat kisah pilunya. Lelaki itu meraih tisu di dashboard mobil untuk mengelap bulir bening tersebut. Mendadak hatinya mencelos teringat foto Bapak Edi dengan ibunya. Bian merasa sudah beberapa hari ini dia tidak melihat foto tersebut."Di mana aku menaruhnya?" Bian bergumam sendiri. "Foto itu tidak boleh hilang. Karena itu satu-satunya bukti jika aku adalah putra kandung Bapak Edi Baskara. Tapi ... di mana aku menaruhnya?"Bian memukul setir kesal. Mengutuk sendiri kenapa bisa seceroboh itu. Dia sudah cukup lelah hidup menderita. Ia ingin menikmati kehidupan mewah seperti Ega.'Yang anak kandung Edi Baskara adalah aku. Bukan Ega. Ya ... dia tidak berhak seperser pun harta tersebut. Karena Ega hanyalah seorang anak pungut.' Batin Bian terus saja bergolak."Oke ... sekarang saatnya bertindak." Bian mantap mengangguk. "Sudah cukup terlalu lama aku menahan diri menutup kebenaran ini. Aku harus berani," tekad Bian yakin.Bian tancap gas. Mobil mele