"Mika lebih suka jika dibelikan makanan oleh Ghani, Bu." Mataku mendelik saat Ega mengadu demikian."Jangan begitu dong, Mik! Harga kerja keras suamimu." Ibu menasihati dengan suara lembut."Kerja keras apanya? Orang yang beli juga Bian bukan dia." Walau menyangkal tetapi bungkusan itu aku ambil kembali. Lalu mulai membukanya. "Ga, sore ini itu hawanya gerah banget. Masa iya kamu beliin aku nasi goreng. Ya gak pas dong." Aku kasih nasi goreng dalam wadah itu ke pangkuan Ega."Lha ... tapi Ghani malah beliin kamu bakmi pedas." Ega memprotes. Walau tidak begitu lantang tapi aku tahu jika dia kesal."Karena Ghani beliin makanan kesukaan di tempat favoritku," jujurku kemudian."Oke, katakan di mana alamat bakmi favoritmu itu!" tantang Ega serius."Gak usahlah!" Aku mengibas tangan, lalu dengan malas mulai menguap nasi goreng kambing itu ke mulut. Ketika tengah menguyah tiba-tiba perut Ega berbunyi. "Kamu lapar juga?" Kutatap Ega serius."Pekerjaan menumpuk. Aku melewatkan makan siang."A
"Yuk ... ahhh!" Sumpah! Niatku sebenarnya adalah ingin menggandeng tangan Andika ketika mau masuk ke kamar Ibu. Tapi, kenapa malah tangan Ghani yang kutarik?"Apa-apaan sih?" Wajar jika Ega terlihat meradang. Dia langsung melepas gandengan tangan aku dan Ghani. Lalu menggenggam tanganku. Bahkan meremasnya kuat. Seakan menunjukkan betapa gemasnya dia padaku."Jangan asal main serobot gandeng tangan istri orang, ya!" tegas Ega menatap tajam Ghani.Ghani tersenyum simpul menanggapi. "Bukan aku yang main gandeng, tapi Mika yang duluan gandeng tangan aku," jelasnya santai."Apaan sih! Gitu aja diributin." Aku menyergah omongan Ega dengan cepat. Mencegah agar lelaki itu tidak kembali melontarkan omongan yang tidak mengenakkan hati buat Ghani. Ega sendiri tampak kesal melihat aku mencemoohnya. "Yuk, Dik, kita masuk berdua saja. Mereka biar berantem sini!" Kuraih tangan remaja tujuh belas tahun itu. Sambil melangkah sudut bibir ini berkedut. Ada sedikit kebahagiaan saat mengetahui Ega menc
Walau pun tercengang mendengar pengakuan jujur dari bibir Ega. Namun, perintah itu tetap kulaksanakan juga. Karena memang baju pemberian dari Ghani ini sudah lumayan basah. Tanpa ragu lagi tanganku segera memilih dan memilah baju-baju di rak display.Pilihanku tertuju pada Hoodie karakter Mini mouse berwarna peach merah. Selain ada penutup kepala, hoodie ini juga bisa menghangatkan hawa yang mulai terasa dingin ini.Celana drawsting sengaja kupilih bawahan. Selain nyaman dipakai untuk santai. Nyaman juga untuk tidur. Ketika tengah memilih dalaman, Ega berdiri tidak jauh dari tempatku. Dia pun tengah mencari under wear. Kami sama-sama tersipu menyadari apa yang tengah dipilih.Untuk membuang jengah, aku gegas menuju fitting room. Mengganti dress pemberian dari Ghani yang lembap ini dengan hoodie dan celana drawsting. Ketika ke luar dari ruang ganti, Ega tengah berdiri di meja kasir.Lelaki itu ternyata membeli hoodie berwarna hitam. Dan yang membuat aku harus menelan ludah Ega membeli
(POV Author)Bian melajukan mobilnya menuju rumah Ega. Dalam hati lelaki dua puluh sembilan tahun sedikit bersyukur dengan sakitnya ibu Mika. Apa hubungannya? Tentu saja ada.Ega sudah berpesan padanya jika dia akan menginap di rumah sakit untuk menemani Mika menunggui ibunya. Dengan begitu Bian punya kesempatan untuk mendekati Bapak Edi. Pria yang selama dua puluh tahun ini ia cari dalam ibunya.Dalam perjalanan pulang kenangan masa lalunya berkelebat lagi di mata. Masih jelas dalam ingatan jika sejak kecil Bian sangat merindukan sosok seorang ayah. Semenjak lahir pria dewasa yang menemaninya adalah sang kakek. Bahkan di akta kelahiran dirinya tercatat sebagai anak dari kakek dan neneknya.Sewajarnya anak kecil, Bian sering bertanya pada ibunya tentang keberadaan sang ayah. Ibunya hanya menjawab jika sang ayah adalah seorang pelaut dan telah meninggal sewaktu Bian dalam kandungan. Dengan alasan kapalnya karam di tengah lautan.Ketika Bian ingin mengetahui wajah sang ayah, ibunya meno
Tidak terasa sudut mata Bian berakhir mengingat kisah pilunya. Lelaki itu meraih tisu di dashboard mobil untuk mengelap bulir bening tersebut. Mendadak hatinya mencelos teringat foto Bapak Edi dengan ibunya. Bian merasa sudah beberapa hari ini dia tidak melihat foto tersebut."Di mana aku menaruhnya?" Bian bergumam sendiri. "Foto itu tidak boleh hilang. Karena itu satu-satunya bukti jika aku adalah putra kandung Bapak Edi Baskara. Tapi ... di mana aku menaruhnya?"Bian memukul setir kesal. Mengutuk sendiri kenapa bisa seceroboh itu. Dia sudah cukup lelah hidup menderita. Ia ingin menikmati kehidupan mewah seperti Ega.'Yang anak kandung Edi Baskara adalah aku. Bukan Ega. Ya ... dia tidak berhak seperser pun harta tersebut. Karena Ega hanyalah seorang anak pungut.' Batin Bian terus saja bergolak."Oke ... sekarang saatnya bertindak." Bian mantap mengangguk. "Sudah cukup terlalu lama aku menahan diri menutup kebenaran ini. Aku harus berani," tekad Bian yakin.Bian tancap gas. Mobil mele
(POV Author)TOK TOK"Tania! Cepat buka pintunya!"Bian dan Tania terperanjat kaget. Keduanya bingung harus berbuat apa."Taniaaa!" Di luar ketukan pintu itu berubah menjadi gedoran."Bagaimana ini, Yan?" Tania bertanya sambil berbisik dengan gusar. Wanita itu meremas kedua tangannya untuk menghilangkan panik."Lagian kamu juga ngapain nyusul aku ke mari?" Bian yang cemas juga tidak bisa berpikir. Lelaki itu mengusap wajahnya beberapa kali dengan kasar."Tania ... ini Mas Galih. Cepat buka!" Suara di luar itu kembali berseru.Wajah Bian seketika geram mendengar suara itu. Sedangkan Tania justru bernapas lega. Karena dalam hati Tania pasti mampu mengelabui Galih."Udah kamu tenang, Yan. Galih bisa aku atasi." Tania berbisik dengan penuh percaya diri. "Aku pikir tadi kalo bukan Ega ya Bapak Edi, makanya aku panik. Oke ... sekarang kamu sembunyi!" suruh Tania kemudian.Walau enggan jika harus bersembunyi, tetapi Bian tidak punya pilihan lain. Lelaki itu nurut saat Tania mendorongnya ngum
(POV Author)Mika dan Ega hanya menginap satu malam saja di rumah Ibu. Padahal Mika masih betah di sana. Apalagi kondisi Ibu juga belum sepenuhnya pulih. Ditambah besok juga akhir pekan.Namun, Ega memaksa harus pulang hari ini juga. Dia berdalih totalitas profesi. Besok harus benar-benar berangkat kerja. Karena ada pertemuan penting dengan kolega."Sudah ... turuti saja kemauan suamimu!" bujuk Ibu ketika melihat Mika enggan meninggalkan rumah. "Lagian jarak rumah kan dekat. Kapan saja pingin main tinggal mampir," imbuhnya sambil memeluk sang putri sebentar."Ibu kalo kenapa-napa langsung hubungi aku, ya," pinta Mika dengan nada manja usai mengurai pelukan.Walau pun dia jarang bermanja-manja di depan Ega. Namun, jika di hadapan sang ibu Mika akan menjelma menjadi anak mami."Pasti," sahut Ibu disertai senyuman manis. Selanjutnya Ibu menatap menantunya yang sedari tadi bergeming saja. "Tolong jaga Mika ya, Nak Ega," pintanya lembut."Iya, Bu." Ega yang duduk bersisian dengan Andika me
Bian menghela napasnya yang terasa sesak. Dia melangkah menuju lemari kecil dalam kamar tersebut. Diambilnya selembar foto yang ia simpan di lipatan baju. Dalam gambar terlihat seorang wanita muda dan juga anak laki-laki kecil."Ibu ...." Bian bergumam sedih. "Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan lelaki itu, jika aku adalah anak kandungnya?" Bibirnya lirih berbicara sendiri. Tanpa sadar setetes embun menitik di pipinya. "Bahkan aku sudah beberapa kali memberinya petunjuk, jika aku adalah anak, Bu. Tapi orang itu sangat tidak peka. Mungkin kah nama Ibu tidak pernah ada di hatinya?"Air mata Bian semakin kuat mengalir. Pemuda itu menghapusnya cepat. Dia sudah lama tidak menangis. Terakhir menangis adalah saat keluarga hilang ditelan gempa. Sudah lama sekali. Dan kini rasa sakit itu kembali menjelmanya."Tunggu pembalasanku!" Tangan Bian mengepal.*Di bawah makan malam berjalan dengan hening. Wajah dingin Bapak Edi membuat semua orang memilih untuk menutup mulut. Terutama Ega.Pa