POV Maemunah Sial. Kenapa si Yasmin datang ke sini segala sih? Pas banget lagi, saat aku bilang soal dia tukang teluh.“Siapa yang bilang tukang teluh? Aku bilang kamu tukang ngeluh. Kuping kamu aja yang budeg,” kataku sambil melihat tentengan tangannya. Sepertinya dia mau ngasih sesuatu sama Bu Kardun. Bu Kardun melirik padaku dengan sinis. Semoga saja dia tidak bongkar rahasia. Kalau tidak, bisa runyam dunia persilatan. Kebohonganku bisa terbongkar. “Waalaikumsalam, Neng Yasmin? Ada apa, Neng?” jawab Bu Kardun sambil nyamperin mantan menantuku itu. Selamat, selamaat. Aku mengusap dada yang masih berdebar. Si Yasmin masih menatapku dengan wajah penasaran, sepertinya tadi dia mendengar dengan jelas apa yang aku katakan. Masa bodo, lah. “Ah, ini ada sedikit oleh-oleh buat Ibu,” katanya. Aku langsung menajamkan pandangan, menilik dari jauh, apa yang dikasihin si Yasmin sama Bu Kardun. “Wah, dodol. Kayaknya enak, nih. Emang dapet dari mana dodol sebanyak ini?” ujar Bu Kardun, sok
“Heh kamu timbang disuruh begitu aja kagak mau! Dasar ya. Saya ini orang terpandang di sini. Mana mungkin saya nggak bayar! Udah sana, awas jangan ngalangin jalan saya!” aku menyenggolnya sampai si Sri oleng dan hampir jatuh. Tau rasa dia. Begitu kalau nolak keinginan Mae.“Lah, sama Bu Badru aja katanya Ibu nggak bayar,” ucapnya pelan dengan logatnya yang lemah.Sialan si Badru, rupanya dia omong-omong ke orang kalau aku belum bayar. Nggak akan kubayar sekalian. Duit hasil penjualan burung habis buat urus-urus si Agus. Bukannya aku nggak mau bayar.Ah, jadi dapat ide. Apa aku curi aja ya burung Pak Didi barang satu ekor. Pak Didi kayaknya lagi nggak ada. Bagus juga ideku ini. Dasar Mae orang pinter. Selalu saja dapat ide yang cemerlang.Aku lalu mengendap masuk ke pekarangan Pak Didi yang pagarnya nggak dikunci. Semoga Pak Didi lagi keluar atau lagi tidur. Celingak-celinguk. Sepi. Kayaknya Pak Didi emang nggak ada. Rejeki nomplok ini. Burung yang mana yang kira-kira paling mahal, y
POV YasminKeesokan paginya aku dikejutkan dengan tiket pesawat ke Lombok yang ada di atas meja rias. Aku bolak-balik. Untuk dua orang atas nama aku juga dr.Radit. Untuk akhir pekan ini.“Mas,” panggilku pada dr.Radit yang baru keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk. Aku yang tadinya melihat dia langsung melengos. Duh, roti sobeknya boleh buat sarapan, nggak, sih?Dr.Radit memang rajin fitness di kala waktu senggangnya. Minimal lari selama satu jam di atas treadmil setiap pagi dan sore hari dia akan sit up, push up, dan lain-lain. Kadang suka gemes juga kalau lihat dr.Radit yang basah karena keringat.“Kenapa?” tanyanya.“Emh, ini apa?” tanyaku tanpa melihat padanya. Bisa kacau kalau melihat lagi deretan roti itu.“Tiket. Memangnya kamu nggak bisa baca?” Dia balik bertanya dengan nada menggoda. Menyebalkan kadang-kadang. Bisa saja mancing-mancing.“Kok, nggak bilang-bilang?” Aku bertanya lagi, masih berpura-pura tidak ingin melihatnya.“Biar kamu lihat sendiri,” katanya d
“Sudah beres sholatnya?”Sebuah pertanyaan yang membuat jantungku seakan mau copot. Pertanyaan itu seolah terdengar, ‘apa kamu sudah siap malam ini?’.“Su-sudah,” jawabku tergagap.“Ayo,” ajaknya membuat mataku membulat sempurna. Ayo ke mana ini?“Ke-mana?” tanyaku terbata.“Lihat pemandangan malam dari sana,” tunjuknya ke area luar kamar yang terhubung dengan kolam renang dan tempat duduk out door tanpa atap.Mau tak mau aku bangkit. Tidak terlalu malu karena masih ada handuk kimono yang menutupi.Aku sambut uluran tangannya yang hangat. Mungkin karena dia habis tiduran. Sementara tanganku terasa dingin karena habis mandi walaupun dengan air hangat.Kelap-kelip lampu di kejauhan terlihat indah. Sepertinya dari hotel lain ataupun rumah penduduk.“Indah sekali,” bisiknya dari belakangku. Dia memelukku erat dari belakang. Berulang kali menghidu rambutku yang beriak tersapu angin. Tangannya melingkar ke perutku.Perlahan tangannya membuka tali simpul dari handuk kimono yang kupakai. Aku
POV Yasmin.Pagi-pagi di hari terakhir kami di Lombok. Dr.Radit mengajakku ke pantai, setelah hari kemarin malah kami habiskan sepanjang hari di kamar untuk menjalankan ritual pengantin baru yang sebenarnya sudah tidak baru.Aku sengaja memakai kaus ditambah sweater dan celana jins, soalnya kata dr.Radit kami akan keliling pantai naik ATV. Wah, pasti seru. Aku belum pernah menaiki kendaraan itu.Saat kami hendak keluar dan melalui loby hotel, sebuah suara juga sosok yang rasanya sangat kuhapal. Tentu saja, karena baru seminggu yang lalu kami bertemu. Aku dan dr.Radit langsung menghentikan langkah.Dia yang sedang berbicara dengan seorang wanita bercelana pendek dan memakai topi pun sama, dia berhenti dan menatapku juga dr.Radit bergantian.“Yas-min,” ucapnya mengeja namaku dengan mata berbinar.Dr.Radit langsung mengeratkan genggaman tangannya. Apalagi saat wanita yang sedang bersama Kak Jeff itu memasang wajah terpukau saat melihatku.“Inikah Yasmin itu?” pekiknya menghampiriku. Dia
“Yes, sure. Dia pasti tidak akan melepaskan Yasmin begitu saja. Karena itu, pertahankan dia, atau kau akan kehilangan dia selamanya. Jeff tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.” Jennifer memperingatkan dr.Radit. “Terima kasih sudah memperingatkan,” sahut dr.Radit. “Kami akan pulang sore ini, karena itu kami pamit. Aku akan rekomendasikan hotel kalian pada teman-teman. Pelayanannya sangat memuaskan.”“Thank you. Oh ya, untuk liburan kalian kali ini anggap saja itu hadiah dariku untuk pernikahan kalian. Kalian tidak perlu membayarnya,” ujar Jennifer lalu menyeruput minuman dari gelasnya.“Tidak usah. Saya merasa tidak enak,” balas dr.Radit.“No, with my pleasure. Aku senang bisa membuat kalian bahagia datang ke tempat ini. datanglah kapan pun kalian mau. Aku akan siapkan tempat untuk kalian.” Jennifer berhenti, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.“You know, aku sangat berterima kasih padamu, Yasmin. Karena kamu, dia punya semangat memperbaiki diri. Dia adalah anak paling bandel dan s
POV MaemunahTok, tok, tok.Siapa, ya, pagi-pagi begini udah bertamu? Nggak punya etika sama sekali. Aku lekas mengelap tangan yang basah karena lagi cuci piring dan gegas menuju pintu. Si Agus masih molor jam segini, begitu juga sama Mas Undang. Dua lakik gak ada guna. Pengen rasanya kutumbalkan saja pada siluman buaya, kali aja aku jadi mendadak kaya seperti yang pernah ditawarkan oleh Mbah Jamrong.Eh, tunggu, dari sosoknya rasanya itu Bu Kardun. Mau apa dia pagi-pagi begini? Mana larak-lirik ke kiri dan ke kanan pula, kayak yang takut ketahuan orang.“Eh, Bu Kardun. Ada apa pagi-pagi begini?” sapaku ramah, walaupun dalam hati masih ada mangkel juga dengan sikap Bu Kardun yang terakhir kali. Tapi … aku ingin tahu apakah jampi-jampi dari Mbah Jamrong itu bener-bener mempan? Baru saja kemarin aku dari dukun tua itu, dan sekarang sepertinya sudah menunjukan hasil yang memuaskan.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bu Mae juga Agus,” katanya dengan mata masih saja larak-lirik ke kiri
“Kalau mau ngundang ustaz kondang nggak bisa asal undang, Bu. Harus hubungi manajernya dari jauh-jauh hari. Jadwal mereka sibuk,” timpal Agus. Duh, ternyata susah mau ngundang ustadz artis. Ngundang siapa, ya? aku memutar otak.“Sudah saja ustadz kampung sini aja, Bu. Biar nggak susah,” timpal Bu Kardun, tapi aku langsung menolaknya. Enak saja. Aku nggak mau kalau sampai Agus kalah sama si Adit.“Ya sudah, saya serahkan saja sama Bu Mae. Saya ikut saja apa yang Bu Mae inginkan,” ucap Bu Kardun akhirnya. Aku kembali bersorak.“Nah, begitu, dong. Pokoknya Bu Kardun tau beres saja. Yang penting, uangnya jangan lupa kasih ke saya,” ucapku mengedipkan sebelah mata.Bu Kardun melongo. “Lho, kirain karena semua sesuai rencana sesuai keinginan Bu Mae, maka dari itu semua biaya Bu Mae sama Agus yang nanggung,” ujar Bu Kardun seenaknya. Duit dari mana aku?“Ya sudah gini saja, biayanya setengah-setengah saja,” timpal Agus dan membuatku melotot.“Setuju,” sahut Bu Kardun dan aku kembali melongo