Sepanjang shift pagi di departemen Neurologi, Liana bekerja dengan setengah pikiran melayang. Jarum suntik di tangannya masuk ke pembuluh darah pasien dengan presisi, catatan medis ditulis rapi, tapi di benaknya, satu kalimat terus berputar-putar seperti rekaman rusak:
"Sampai hari pernikahan kita."
"Aduh!" Gerutunya tak sengaja keluar saat ia salah memasukkan data ke komputer.
"Kenapa dari tadi mengomel melulu?" Dokter Lincard menyandar di pintu ruangannya, segelas kopi di tangan dan senyum menyebalkan di bibir.
Liana menatapnya dengan mata setengah menyipit. "Kenapa Anda perhatian sekali?"
Lincard tertawa, masuk tanpa diundang. "Apa ini soal Antonio Valentino Brams?"
Liana mengatupkan mulutnya. Tapi Lincard sudah duduk di hadapannya, meletakkan berkas tebal di meja—rekam medis dengan nama Antonio di sampulnya.
"Dia pria 33 tahun," Lincard membuka berkas, "Kecelakaan tahun lalu, seharusnya sudah sembuh total menurut Dokter Deva
Emilia masih terduduk lemas di ranjangnya, tubuhnya pegal dan hanya terbungkus selimut tipis yang tak mampu menyembunyikan kelelahan dan rasa malu. Bau parfum murah dan keringat pria asing masih menempel di kulitnya. Baru saja ia menyelesaikan layanan terakhirnya malam ini, dan yang ia inginkan hanyalah tidur dan melupakan segalanya.Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa suara, dan Antonio muncul, berdiri dengan sikap santai namun tatapannya jelas membuat siapa saja takut, bersandar di bingkai pintu. Matanya yang gelap menyapu ruangan yang sempit dan kotor ini, seolah menghakimi setiap debu dan noda yang ada.
"Karena Tuan Antonio terikat janji untuk menjaga seorang wanita, dan kelak dia akan menjadi istrinya—penerus darah keturunan Brams," jawab Armano, suaranya datar tapi mengandung arti yang dalam.Liana terdiam.Janji?Penerus darah keturunan?Istri?Pikirannya berputar kencang. "Mana mungkin aku kan?" ujarnya, tawa kecil yang gugup meluncur dari bibirnya. "Pertemuanku dengan dia dari hal yang tidak direncanakan."Armano tersenyum, tapi kali ini senyumnya tidak seperti biasanya—lebih hangat, lebih manusiawi. "Sayangnya, setelah beberapa waktu ini, Tuan Antonio mencari informasi tentang Anda. Andalah orangnya.""Hah?!" Liana nyaris menjatuhkan gelas di tangannya, matanya membelalak."Soal itu nanti anda tanyakan sendiri pada Tuan Antonio pulang," kata Armano, tiba-tiba berhati-hati. "Saya tidak punya hak untuk menjelaskannya."Dia menunjuk sekeliling ruangan dengan gerakan halus. "Dan lagi pula, tempat ini terpasang CCTV ya
Akhirnya, mereka duduk bersama di meja makan kecil yang diterangi cahaya lilin. Steak yang sudah sedikit dingin ternyata tetap nikmat, kentang panggangnya renyah di luar namun lembut di dalam, dan sayuran segarnya memberikan sentuhan ringan di antara rasa gurih daging.Antonio memotong steak dengan pisau tajamnya, matanya sesekali mengangkat untuk menatap Liana. "Enak," pujinya singkat sebelum menyuap daging ke mulutnya.Liana tersenyum kecil, hatinya berbunga-bunga meski berusaha tak menunjukkan kesenangannya.
Sepanjang shift pagi di departemen Neurologi, Liana bekerja dengan setengah pikiran melayang. Jarum suntik di tangannya masuk ke pembuluh darah pasien dengan presisi, catatan medis ditulis rapi, tapi di benaknya, satu kalimat terus berputar-putar seperti rekaman rusak:"Sampai hari pernikahan kita.""Aduh!" Gerutunya tak sengaja keluar saat ia salah memasukkan data ke komputer."Kenapa dari tadi mengomel melulu?" Dokter Lincard menyandar di pintu ruangannya, segelas kopi di tangan dan senyum menyebalkan di bibir.Liana menatapnya dengan mata setengah menyipit. "Kenapa Anda perhatian sekali?"Lincard tertawa, masuk tanpa diundang. "Apa ini soal Antonio Valentino Brams?"Liana mengatupkan mulutnya. Tapi Lincard sudah duduk di hadapannya, meletakkan berkas tebal di meja—rekam medis dengan nama Antonio di sampulnya."Dia pria 33 tahun," Lincard membuka berkas, "Kecelakaan tahun lalu, seharusnya sudah sembuh total menurut Dokter Deva
Matahari baru saja mengintip dari balik ujung gedung-gedung kota, menyapu langit dengan warna jingga pucat. Kamar tidur utama apartemen Antonio masih diselimuti kehangatan sepi, hanya diterangi cahaya redup yang menyelinap lewat tirai semi-tertutup.Di tengah ranjang besar yang berantakan, Liana masih terlelap dalam pelukan Antonio, wajahnya yang biasanya tegar kini terlihat begitu lelah—dan puas. Rambut cokelatnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, beberapa helai menempel di pipinya yang masih kemerahan.
"Jadi selama ini... kamu yang terjebak hasratmu sendiri, ya?" godanya, sengaja memainkan 'stetoskop' di dadanya.Antonio menggeram, lalu langsung membanting Liana ke bahunya seperti karung gandum, berjalan menuju pintu keluar."KAU MENANG, SAYANG. SEKARANG TUTUP MULUTMU SEBELUM AKU MENUTUPNYA DENGAN CARA LAIN!"Liana tertawa lepas, meski wajahnya merah padam.Dia baru saja menemukan senjata baru melawan Antonio—dan itu... jauh lebih efektif dari yang dibayangkan.Begitu tiba di rumah, Liana langsung bergegas menuju kamar mandi, ingin segera membersihkan diri setelah seharian yang melelahkan. Namun, Antonio menahan pergelangan tangannya dengan gerakan tegas."Pakai yang dokter tadi ya," bisiknya, suara rendah namun penuh arahan yang tak bisa ditolak.Liana tersenyum kecut, tapi matanya berbinar penuh tantangan. "Siap, Tuan Valentino," jawabnya dengan nada sarkastik, sambil memberikan hormat palsu ala tentara.Antonio menge