Pagi itu, Liana tiba di RS. St. Maria dengan langkah berat. Setiap gerakan masih terasa sakit, mengingatkannya pada malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
"Dokter Hart!"
Suara itu membuatnya tertegun. Dokter Lincard, dokter senior neurologi, berdiri di depan ruang pemeriksaan dengan alis berkerut. Matanya yang tajam mengamati Liana dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Kamu baik-baik saja?"
Liana mengangguk cepat, tangan gemetarnya menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga—gerakan yang justru membuat Dokter Lincard semakin curiga.
"Aku baik-baik saja, Dok. Hanya... kurang tidur."
Dokter senior itu mengerutkan kening, tapi memilih tidak mengejar. "Ruangan satu sudah penuh. Pasien stroke post-op perlu evaluasi ulang. Kamu tangani?"
"Siap, Dok."
Sepanjang pagi, Liana menyibukkan diri dengan rutinitas yang ia hafal di luar kepala. Memeriksa refleks Pasien A. Mengevaluasi perkembangan motorik Pasien B. Menandatangani resep untuk Pasien C.
Tangan-tangan yang ia pegang hari ini terasa biasa saja. Tidak seperti tangan besar dengan cincin emas yang masih membekas dalam ingatannya.
Di ruang istirahat, ia mendengar para perawat berbisik:
"Katanya si Bos Valentino mau check-up hari ini?"
"Iya, tapi dibatalkan tiba-tiba. Ada urusan bisnis."
Liana meneguk kopinya terlalu cepat. Lidahnya terbakar, tapi itu lebih baik daripada memikirkan mengapa dadanya sesak mendengar kabar itu.
Dokter Lincard mendekat, meletakkan berkas di hadapannya. "Laporan EMG untuk pasien kita kemarin. Kamu yang analisa?"
"Ya, Dok."
Seharian berkutat dengan pasien-pasien neurologi membuat Liana merasa seluruh ototnya kaku. Ia memilih mampir ke kafe kecil di seberang rumah sakit, tempat yang biasa ia datangi untuk menghilangkan penat. Udara sore yang hangat dan aroma kopi yang kental sedikit membuatnya rileks.
Dia menguap lebar, menutup matanya sejenak—
"Kopi hitam tanpa gula. Tepat seperti kesukaanmu."
Suara itu.
Dalam.
Menggema.
Tak mungkin salah.
Liana membuka matanya dengan cepat—dan melotot.
Antonio Valentino duduk di hadapannya, sempurna dalam setelan jas abu-abu yang mahal, lengannya yang kekar bersandar di atas meja. Senyum kecil mengembang di bibirnya—seperti dia tahu betapa jantung Liana tiba-tiba berdetak kencang.
Liana tak salah prediksi, pria dihadapannya dikenal sebagai pemilik Valentino Grup, penguasa bisnis hotel dan club-club malam besar.
"T-Tuan... Anda salah meja?" suara Liana terdengar lebih tinggi dari biasanya.
Antonio menyilangkan kaki dengan tenang, matanya yang gelap menatapnya tanpa ragu.
"Tidak, Dokter Liana. Aku tidak salah meja."
Liana menelan ludah. Dia tahu namanya. Dia tahu tempat kerjanya. Dia bahkan tahu bagaimana dia memesan kopi.
Ini bukan kebetulan.
"Apa yang Anda inginkan?" Liana berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.
Antonio mengangkat cangkir kopinya sendiri, menyeruput perlahan sebelum menjawab.
"Kau meninggalkan hadiahku di kamar hotel."
Liana menggigit bibir bawahnya. Liontin berlian itu.
"Saya tidak butuh hadiah dari orang asing."
Antonio tertawa pendek, suaranya seperti petir yang menggema di tulang dada Liana.
"Kita bukan lagi orang asing, Dokter. Tidak setelah apa yang terjadi."
Liana merasakan panas menjalar dari leher ke pipinya. Ingatan tentang malam itu—tangan Antonio di tubuhnya, desahannya di telinganya—kembali dengan jelas.
"Saya tidak ingat apa-apa," bohongnya.
Tapi Antonio hanya menyipitkan mata, seperti bisa melihat langsung melalui kebohongannya.
"Oh? Kalau begitu..." Dia tiba-tiba membungkuk ke depan, mendekatkan wajahnya hanya beberapa inci dari Liana.
"Mungkin aku harus mengingatkannya padamu."
Liana menarik napas tajam. Dia bisa mencium aroma kayu dan tembakau yang melekat pada Antonio—bau yang sama dari semalam.
"Anda gila," bisiknya.
Antonio tersenyum—senyum yang sama sekali tidak mengandung kegembiraan.
"Tunggu sampai kau benar-benar melihat kegilaanku, Dokter Hart."
"Apa maumu?" Liana mempertanyakan dengan suara rendah, jari-jarinya mencengkeram cangkir kopi hingga buku-buku putihnya terlihat.
Antonio tak bergeming. "Jadilah wanitaku."
Liana terhenyak. "Enak saja!" Napasnya tersengal, suaranya naik setengah oktaf. "Aku dokter! Aku bukan wanita malam yang bisa kau pesan untuk menemani malam-malammu!"
Antorio menyeringai, matanya yang gelap menangkap setiap perubahan ekspresi di wajah Liana.
"Kamu memang bukan wanita malam," ujarnya perlahan, "Hanya saja semalam, kamu malah mengiraku sebagai gigolo bayaranmu."
Wajah Liana langsung memerah. Ingatan samar itu kembali—dirinya yang mabuk, menggumamkan sesuatu tentang "membayar untuk pelayanan terbaik" sambil meraba-raba dompetnya.
"Aku—itu—"
"Kamu tetap seorang dokter," Antonio memotong, suaranya tiba-tiba serius. "Dan aku menghormati itu. Makanya aku minta kamu jadi wanitaku—satu-satunya."
Liana menggeleng, bingung antara merasa terhina atau terpana oleh keteguhan di mata Antonio.
"Ini bukan abad pertengahan. Wanita tidak bisa begitu saja dimiliki!"
Antonio tiba-tiba meraih pergelangan tangan Liana, sentuhannya panas dan solid.
"Bukan memiliki," bisiknya, "Tapi saling memiliki."
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya—sebuah kartu akses hitam dengan logo "V" berlapis emas.
"Ini untukmu. Akses tak terbatas ke seluruh propertiku. Rumah sakit mana pun yang ingin kau tuju untuk riset. Dana penelitian tanpa batas."
Liana menatap kartu itu, lidahnya terasa kering.
"Dan sebagai gantinya?" tanyanya waspada.
Antonio mendekatkan bibirnya ke telinga Liana, nafasnya hangat di kulitnya.
"Jadilah tempat satu-satunya di mana aku bisa merasa... hidup."
"Kalau aku menolak?" Liana memandang Antonio dengan tatapan menantang, meski jantungnya berdegup kencang.
Antonio tidak segera menjawab. Jarinya yang besar mengetuk-ngetuk meja kayu dengan ritme yang membuat Liana semakin tegang.
"Maka dengan terpaksa," ujarnya akhirnya, suaranya serak namun penuh keyakinan, "Kamu akan tinggalkan pasien-pasienmu. Dan kamu hanya akan memiliki satu pasien saja selamanya."
Dia menyipitkan mata, senyum tipis yang mengancam mengembang di bibirnya.
"Yaitu aku."
Liana menelan ludah. "Itu tidak lucu."
"Aku tidak bercanda, Dokter Hart." Antonio mengeluarkan ponselnya, menggeser layar, lalu memutarkan sebuah rekaman.
Suara Liana sendiri terdengar:
"Aku bayar berapa pun... Aku butuh pria yang bisa membuatku lupa semuanya malam ini..."
Wajah Liana memucat.
"Ini pemerasan," bisiknya.
Antonio mengangguk, tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Ini jaminan. Aku tidak akan menyebarkan rekaman ini—asal kamu setuju menjadi dokternya. Dokter pribadiku."
Liana menatap sekeliling kafe, mencari jalan keluar yang tidak ada.
"Kenapa aku?" suaranya pecah. "Apa yang istimewa dariku?"
Antonio tiba-tiba menangkap dagu Liana, memaksanya menatap langsung ke matanya yang gelap.
"Karena hanya denganmu," bisiknya, "Aku bisa merasakan sakit. Dan untuk pria sepertiku, bisa merasakan sakit itu... sebuah kemewahan."
Antonio berdiri dengan gerakan halus, jasnya yang sempurna bahkan tidak sedikit pun berkerut. "Pikirkan baik-baik," ujarnya, suaranya seperti beludru yang menutupi baja.
Dia meletakkan kartu nama hitam berlogo emas di atas meja—nomor kontak dan alamat penthouse-nya tercetak sederhana tanpa embel-embel.
"Jika sudah memutuskan," Antonio menatap Liana dengan pandangan yang membuat nafasnya tersendat, "Tolong datanglah ke penthouse-ku."
Liana tidak menjawab. Jari-jarinya menggenggam erat serbet kertas sampai hancur.
Dengan anggukan terakhir, Antonio berbalik dan pergi. Langkahnya percaya diri, seolah sudah tahu apa yang akan Liana pilih.
Di luar kafe, mobil hitam mewah langsung membukakan pintu untuknya. Jio melirik ke arah Liana melalui jendela kafe, matanya penuh peringatan.
Dan Liana...
Liana tetap duduk.
Di hadapannya, kopinya sudah dingin. Seperti perasaannya yang membeku antara marah dan sesuatu yang lebih berbahaya—penasaran.
Kartu nama itu berkilau di bawah lampu kafe, seperti ular yang menggoda.
Liana membuka pintu apartemennya dengan tubuh lelah dan pikiran yang masih dipenuhi bayangan Antonio. Namun, sesaat sebelum bisa melepas sepatunya—"Kak!"Suara itu membuatnya kaget. Di sofa kecilnya, Emilia Hart—adiknya yang berusia 19 tahun—duduk dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. Rambut pirangnya yang biasanya ditata rapi kini kusut, dan baju klub malam yang masih melekat di tubuhnya mengisyaratkan bahwa dia baru saja pulang kerja."Emi? Apa yang kau lakukan di sini?"Emilia menggigit bibir bawahnya, tangan gemetar memegang segelas air yang hampir tumpah. "Aku butuh uang, Kak."Liana menghela napas panjang, melemparkan tas kerjanya ke kursi. "Untuk apa lagi? Bulan kemarin bukannya sudah aku berikan setengah tabunganku?""Ini berbeda—""Untuk menghidupi priamu lagi?!" Liana memotong, suaranya meninggi. "Leon itu sampah, Emi! Dia hanya memanfaatkanmu!"Emilia menunduk, tapi yang keluar dari mulutnya berikutnya membuat Liana membeku."Aku... aku hamil, Kak." Suara kecilnya peca
Pagi itu, Liana tiba di RS. St. Maria dengan langkah berat. Setiap gerakan masih terasa sakit, mengingatkannya pada malam yang seharusnya tidak pernah terjadi."Dokter Hart!"Suara itu membuatnya tertegun. Dokter Lincard, dokter senior neurologi, berdiri di depan ruang pemeriksaan dengan alis berkerut. Matanya yang tajam mengamati Liana dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kamu baik-baik saja?"Liana mengangguk cepat, tangan gemetarnya menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga—gerakan yang justru membuat Dokter Lincard semakin curiga."Aku baik-baik saja, Dok. Hanya... kurang tidur."Dokter senior itu mengerutkan kening, tapi memilih tidak mengejar. "Ruangan satu sudah penuh. Pasien stroke post-op perlu evaluasi ulang. Kamu tangani?""Siap, Dok."Sepanjang pagi, Liana menyibukkan diri dengan rutinitas yang ia hafal di luar kepala. Memeriksa refleks Pasien A. Mengevaluasi perkembangan motorik Pasien B. Menandatangani resep untuk Pasien C.Tangan-tangan yang ia pegang hari ini t
Liana Hart terbangun dengan kepala berdenyut-denyut, seperti ada palu godam yang menghentak di dalam tengkoraknya. "Aduh..." keluhnya, mencoba membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang menusuk membuatnya mengerutkan kening.Tapi itu bukan satu-satunya yang sakit.Seluruh tubuhnya berasa seperti baru dihancurkan. Pahanya pegal, punggungnya kaku, dan di antara kedua kakinya—sakit."Apa yang terjadi semalam...?"Dia mencoba mengingat, tapi ingatannya kabur. Pesta rumah sakit, anggur terlalu banyak, lalu... kosong.Dengan gerakan lamban, Liana mengangkat selimut—dan dadanya sesak.Noda darah."Oh Tuhan..." Tangannya gemetar menyentuh bekas yang sudah mengering di sprei putih itu. Dia masih perawan kemarin.Tapi sekarang?Tidak.Liana menelan ludah, matanya liar memindai kamar. Ini bukan kamarnya. Kamar ini terlalu mewah, terlalu besar—seperti suite hotel bintang lima. Dan dia sendirian."Siapa yang—"Tiba-tiba, ketukan pintu memecah kesunyian.Liana kaget. Apa dia harus membukanya? Tapi dia
Antonio berdiri kaku di depan pintu suite-nya, tangan masih menggenggam gagang. Wanita mabuk itu terhuyung-huyung masuk, lalu terjatuh di atas karpet beludru hitam."Ah... kamu pasti pria yang disewakan Mom Hilarry untukku," ucapnya dengan senyum genit, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk Antonio. "Tampan juga~"Antonio mengerutkan kening.Sialan. Dia pikir aku gigolo?Dia hampir membentak, hampir menarik wanita itu dan melemparkannya keluar—tapi tiba-tiba, sesuatu di dalam celananya bereaksi.Tidak mungkin.Enam bulan. Enam bulan sejak kecelakaaan itu, sejak tubuhnya menolak semua wanita, sejak dokter-dokter mahal hanya bisa menggeleng.Tapi sekarang?Karena seorang wanita mabuk yang salah kamar?"Aku bukan gigolo," geramnya, suara serak.Wanita itu tertawa kecil, lalu mencoba berdiri—tapi malah terjatuh lagi. "Jangan... jangan malu-malu. Aku bayar mahal kok~"Antonio menatapnya.Gaun hitamnya melorot, memperlihatkan bahu mulus. Pipinya merah, bibirnya mengkilap karena lipstik yang sedi
Malam itu, kamar suite mewah Antonio Valentino dipenuhi oleh kemarahan yang meledak."Keluar! Sekarang!" Antonio menggeram, melemparkan bantal ke arah wanita bayaran yang terlihat ketakutan."Tapi, Tuan—""Diam! Kau tidak berguna!" Suaranya menggelegar, membuat sang wanita segera menyambar gaunnya dan kabur dari kamar.Antonio menatap tajam ke bawah, frustrasi melihat bagian tubuhnya yang tetap lemas, tak peduli seberapa cantik atau seksi wanita yang dihadirkan untuknya. Ia mengutuk dalam hati, meninju dinding hingga buku-buku tangannya memerah.Ini tidak masuk akal.Sejak kecelakaan itu, segala sesuatu yang membuatnya Antonio Valentino—kekuasaan, ketakutan yang ia tebarkan, bahkan kejantannya—seolah tercabik.Jio, asisten sekaligus sahabatnya, masuk dengan langkah hati-hati. "Boss...""Jangan mulai, Jio," Antonio memotong, meneguk whiskey langsung dari botol. "Aku sudah muak dengan dokter-dokter itu dan teori bodoh mereka. Coba dengan wanita lain, coba suasana berbeda— BULLSHIT!"Jio