Liana membuka pintu apartemennya dengan tubuh lelah dan pikiran yang masih dipenuhi bayangan Antonio. Namun, sesaat sebelum bisa melepas sepatunya—
"Kak!"
Suara itu membuatnya kaget. Di sofa kecilnya, Emilia Hart—adiknya yang berusia 19 tahun—duduk dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. Rambut pirangnya yang biasanya ditata rapi kini kusut, dan baju klub malam yang masih melekat di tubuhnya mengisyaratkan bahwa dia baru saja pulang kerja.
"Emi? Apa yang kau lakukan di sini?"
Emilia menggigit bibir bawahnya, tangan gemetar memegang segelas air yang hampir tumpah. "Aku butuh uang, Kak."
Liana menghela napas panjang, melemparkan tas kerjanya ke kursi. "Untuk apa lagi? Bulan kemarin bukannya sudah aku berikan setengah tabunganku?"
"Ini berbeda—"
"Untuk menghidupi priamu lagi?!" Liana memotong, suaranya meninggi. "Leon itu sampah, Emi! Dia hanya memanfaatkanmu!"
Emilia menunduk, tapi yang keluar dari mulutnya berikutnya membuat Liana membeku.
"Aku... aku hamil, Kak." Suara kecilnya pecah. "Kalau Leon tidak aku beri uang, dia akan pergi meninggalkanku."
Ruang tamu yang sempit tiba-tiba terasa pengap.
Liana menatap adiknya—gadis yang dulu selalu mengikutinya ke mana pun, yang dulu bercita-cita jadi dokter seperti kakaknya—sekarang hancur oleh pilihan hidupnya sendiri.
"Sudah aku bilang dari dulu," Liana berusaha menenangkan suaranya yang gemetar, "Kuliah saja yang benar, malah kerja nggak jelas!"
Emilia mengangkat wajahnya, air mata mengalir deras. "Aku tidak secerdas kau, Kak! Hidup tidak semudah itu!"
Liana memejamkan mata. Dia lelah. Lelah dengan tuntutan pekerjaan. Lelah dengan ancaman Antonio. Dan sekarang, lelah dengan drama keluarga yang tak pernah berakhir.
"Kamu sudah memilih hidupmu," katanya akhirnya, suara hampa. "Maka jalani dengan caramu. Aku memang kakakmu, tapi tidak seharusnya menanggung hidupmu yang kacau dari dulu."
Emilia terisak, tapi Liana sudah berbalik menuju kamarnya.
Di balik pintu yang tertutup, Liana menatap kartu nama hitam Antonio yang tanpa sadar masih tergenggam di tangannya.
Dunia menuntutnya terlalu banyak.
Dan mungkin... hanya di pelukan pria itu, dia bisa sesaat melupakan segalanya.
"Kak, aku benar-benar butuh uang," rengek Emilia, suaranya pecah seperti anak kecil ketakutan. "Daddy kalah judi... Kalau tidak bisa membayar hutangnya, aku akan diberikan pada Tuan Blanco!"
Liana yang baru saja hendak masuk kamar berhenti di ambang pintu. Tulang punggungnya mendadak dingin.
Tuan Blanco.
Nama yang bahkan membuat para perawat di RS. St. Maria berbisik ketakutan.
"Kalau masalah Leon, aku masih bisa atasi," tambah Emilia cepat, melihat perubahan ekspresi kakaknya.
Liana memutar badan, matanya menyala-nyala. "Ini terakhir kali aku membantu," desisnya, "Dan tinggalkan Leon. Tinggalkan juga Daddy!"
Jarinya menari-nari di layar ponsel. Semua tabungan terakhirnya—uang yang seharusnya untuk biaya sertifikasi dokter spesialis—melayang dalam satu transfer.
Ding!
Notifikasi M-banking berbunyi di ponsel Emilia.
"Terima kasih, Kak! Aku pulang ya," gadis itu langsung beranjak, wajahnya cerah seolah badai telah berlalu.
Liana menangkap pergelangan tangan adiknya.
"Emilia," suaranya lebih kasar dari yang dia rencanakan, "Jangan lupa periksa ke dokter. Usiamu belum genap 20 tahun!"
Emilia hanya melengos. "Ah, dokter mana yang mau peduli pada pelayan klub seperti aku?"
Pintu apartemen tertutup dengan keras.
Dan Liana berdiri sendirian.
Baru saja mau mandi, pintu apartemen digedor kencang, Liana terpaksa menunda mandinya dan membuka pintu. Didepan pintu berdiri dua pria dengan penampilan menakutkan.
“Siapa kalian?” tanya Liana
“Kami utusa Tuan Blanco, mau menjemput anda,” jawab salah satu dari mereka.
“Untuk urusan apa?” tanya Liana.
“Ayah anda, Tuan Ricard Hart sudah menjaminkan tubuh anda sebagai penebus hutang-hutang judinya,”
Liana berdiri kaku di depan pintu, tangannya masih mencengkeram gagang pintu erat-erat. Udara dingin dari luar menyelinap masuk, tapi yang membuatnya menggigil adalah kata-kata pria itu.
Ayahku menjaminkan tubuhku?
"Kalian salah orang," Liana bergumam, mencoba menutup pintu.
Tapi salah satu pria dengan cepat menyelipkan sepatunya, menghalangi pintu. "Kami punya dokumennya, Nona. Tandatangan ayah Anda sendiri."
Dia mengeluarkan selembar kertas dari saku jasnya—surat perjanjian dengan cap merah darah di bagian bawah. Liana mengenali coretan tangan ayahnya yang berantakan.
Jantungnya berdegup kencang. Demi apa ayahku tega melakukan ini?
"Tuan Blanco tidak suka ditunggu," kata pria kedua dengan suara datar. Matanya kosong, seperti robot yang hanya menjalankan perintah.
Tiba-tiba, ingatannya melesat ke beberapa jam sebelumnya—Emilia yang merengek minta uang, air matanya yang meleleh, "Daddy kalah judi... Aku akan diberikan pada Tuan Blanco!"
Tapi sekarang...
"Ayahmu menjaminkan tubuhmu."
Artinya, Emilia tahu. Bahkan mungkin, dia terlibat.
Uang yang Liana kirimkan—tabungan terakhirnya—bukan untuk menebus hutang. Itu hanya tipuan.
Mereka bekerja sama.
"Aku tidak mau ikut," kata Liana, langkahnya mundur perlahan. Dadanya berdegup kencang, tangan menggenggam erat tepian meja di belakangnya.
Salah satu pria itu menyeringai, gigi kuningnya terlihat. "Tuan Blanco tidak menerima bayaran dalam bentuk uang, nona. Dia hanya mau satu hal—tubuhmu."
Liana merasakan tenggorokannya kering. "Tidak bisa seperti itu! Ini tidak masuk akal!"
Pria kedua mengeluarkan pisau saku, memainkannya di antara jari-jarinya dengan lihai. "Kami cuma menjalankan perintah. Jangan buat susah."
"Jangan macam-macam kalian!" Liana menjerit, meraih vas bunga di dekatnya dan melemparkannya ke arah mereka.
Tapi mereka terlalu cepat.
Salah satu menangkap lengannya dengan cengkeraman besi, sementara yang lain menekan sapu tangan basah ke hidung dan mulutnya. Bau kloroform menyengat.
"Ngggh—!"
Liana menggeliat, mencakar, tapi dunia di sekelilingnya mulai kabur. Suara tawa mereka bergema seperti dari ujung terowongan yang panjang.
"Ya Tuhan... Aku harus bisa keluar dari semua ini..."
Kepalanya berdenyut-denyut. Dingin.
Liana mengerang perlahan, mencoba membuka mata. Cahaya lampu temaram menyilaukannya.
Di mana... aku?
Lantai di bawahnya terasa keras, dingin—beton. Tangannya terikat di belakang punggung dengan tali plastik yang menggigit kulit. Bau disinfektan dan logam basah memenuhi hidungnya.
RSJ? Gudang?
Suara langkah kaki mendekat.
"Ah, akhirnya bangun."
Liana mengangkat kepala. Seorang pria bertubuh besar berdiri di hadapannya, wajahnya tertutup bayangan. Tapi matanya—sepasang mata hitam tanpa emosi—membuat darahnya beku.
Blanco Rivaldey
"Kamu lebih cantik daripada di foto," bisiknya, jarinya yang dingin menyentuh dagu Liana. "Ayahmu benar-benar menjual mutiara dengan harga sampah."
Liana menarik napas dalam-dalam. Harus tenang. Cari celah.
"Berapa hutangnya?" suaranya lebih stabil dari yang dia duga. "Aku bisa membayarnya. Dengan bunga."
Blanco tertawa, suaranya seperti gergaji besi. "Kamu pikir ini transaksi bank, nona? Hutang darah dibayar darah. Hutang daging, dibayar daging."
Dia memberi isyarat pada seseorang di belakangnya.
Pintu besi terbuka.
Dan Liana melihat Emilia berdiri di sana—wajahnya pucat, tangan gemetar memegang segelas whiskey.
"Maaf, Kak..."
Liana merasa dunia runtuh.
Tangan Blanco mencengkeram kerah kemeja Liana.
"Ssst... jangan berisik," bisiknya, napasnya berat menguar bau alkohol dan tembakau busuk.
CRACK!
Kancing-kancing kemeja itu terlempar ke lantai, satu per satu, seperti tetesan air mata yang pecah.
Liana menggigil hebat, kulitnya merinding terkena udara dingin gudang.
"Tidak—JANGAN!" teriaknya, meronta dengan sekuat tenaga. Tapi tali plastik itu semakin mengiris pergelangan tangannya, meninggalkan goresan merah.
Blanco tertawa, jarinya yang kasar menyusuri bahu Liana yang terbuka. "Kau lebih manis dari yang kubayangkan."
Dari sudut ruangan, Emilia menunduk, tangannya menutup mulut. Tapi dia tidak bergerak. Tidak berusaha membantu.
Pengkhianat.
Liana memejamkan mata, air panas mengalir deras di pipinya.
Antonio... Tolong aku.
Tangan Blanco mencengkeram bagian dada Liana dengan kasar, jari-jarinya seperti besi panas yang mencoba mencetak kepemilikan.
"Siapa yang sudah pernah menyentuh ini?" desisnya, napas beratnya menguar bau rokok murahan dan kebusukan. "Kekasihmu? Atau mungkin dokter-dokter nakal di rumah sakitmu?"
Liana menahan rintihan, matanya berkaca-kaca tapi tidak menunduk.
"Antonio Valentino," dia berdesis, suaranya seperti pisau dingin yang menusuk kegelapan.
Seketika, seluruh ruangan membeku.
"Bohong!" Blanco menggeram, suaranya melengking seperti logam tergores. "Tidak sembarang orang bisa mengenal Antonio Valentino!"
Sebelum Liana sempat bereaksi, tangan besar Blanco mencengkeram pergelangan kakinya dan—
RRIP!
Suara kain robek menggema di ruangan itu.
Udara dingin langsung menyapu kulitnya yang terbuka. Kini Liana hanya terbungkus dalam setengah pakaian dalam, tubuhnya menggigil bukan hanya karena dingin, tapi juga rasa hina yang membakar.
"Lihatlah ini," Blanco mendesis, matanya menyapu tubuh Liana dengan pandangan menjijikkan. "Antonio Valentino mau memakai barang bekas seperti kau?"
Dari sudut ruangan, Emilia menjerit kecil, tapi tetap tak bergerak—seperti boneka yang patah.
Liana menutup mata, air panas mengalir deras di pipinya. Tapi saat dia membuka mata lagi—
Liana membuka pintu apartemennya dengan tubuh lelah dan pikiran yang masih dipenuhi bayangan Antonio. Namun, sesaat sebelum bisa melepas sepatunya—"Kak!"Suara itu membuatnya kaget. Di sofa kecilnya, Emilia Hart—adiknya yang berusia 19 tahun—duduk dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca. Rambut pirangnya yang biasanya ditata rapi kini kusut, dan baju klub malam yang masih melekat di tubuhnya mengisyaratkan bahwa dia baru saja pulang kerja."Emi? Apa yang kau lakukan di sini?"Emilia menggigit bibir bawahnya, tangan gemetar memegang segelas air yang hampir tumpah. "Aku butuh uang, Kak."Liana menghela napas panjang, melemparkan tas kerjanya ke kursi. "Untuk apa lagi? Bulan kemarin bukannya sudah aku berikan setengah tabunganku?""Ini berbeda—""Untuk menghidupi priamu lagi?!" Liana memotong, suaranya meninggi. "Leon itu sampah, Emi! Dia hanya memanfaatkanmu!"Emilia menunduk, tapi yang keluar dari mulutnya berikutnya membuat Liana membeku."Aku... aku hamil, Kak." Suara kecilnya peca
Pagi itu, Liana tiba di RS. St. Maria dengan langkah berat. Setiap gerakan masih terasa sakit, mengingatkannya pada malam yang seharusnya tidak pernah terjadi."Dokter Hart!"Suara itu membuatnya tertegun. Dokter Lincard, dokter senior neurologi, berdiri di depan ruang pemeriksaan dengan alis berkerut. Matanya yang tajam mengamati Liana dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kamu baik-baik saja?"Liana mengangguk cepat, tangan gemetarnya menyelipkan rambut pirangnya ke belakang telinga—gerakan yang justru membuat Dokter Lincard semakin curiga."Aku baik-baik saja, Dok. Hanya... kurang tidur."Dokter senior itu mengerutkan kening, tapi memilih tidak mengejar. "Ruangan satu sudah penuh. Pasien stroke post-op perlu evaluasi ulang. Kamu tangani?""Siap, Dok."Sepanjang pagi, Liana menyibukkan diri dengan rutinitas yang ia hafal di luar kepala. Memeriksa refleks Pasien A. Mengevaluasi perkembangan motorik Pasien B. Menandatangani resep untuk Pasien C.Tangan-tangan yang ia pegang hari ini t
Liana Hart terbangun dengan kepala berdenyut-denyut, seperti ada palu godam yang menghentak di dalam tengkoraknya. "Aduh..." keluhnya, mencoba membuka mata perlahan. Cahaya pagi yang menusuk membuatnya mengerutkan kening.Tapi itu bukan satu-satunya yang sakit.Seluruh tubuhnya berasa seperti baru dihancurkan. Pahanya pegal, punggungnya kaku, dan di antara kedua kakinya—sakit."Apa yang terjadi semalam...?"Dia mencoba mengingat, tapi ingatannya kabur. Pesta rumah sakit, anggur terlalu banyak, lalu... kosong.Dengan gerakan lamban, Liana mengangkat selimut—dan dadanya sesak.Noda darah."Oh Tuhan..." Tangannya gemetar menyentuh bekas yang sudah mengering di sprei putih itu. Dia masih perawan kemarin.Tapi sekarang?Tidak.Liana menelan ludah, matanya liar memindai kamar. Ini bukan kamarnya. Kamar ini terlalu mewah, terlalu besar—seperti suite hotel bintang lima. Dan dia sendirian."Siapa yang—"Tiba-tiba, ketukan pintu memecah kesunyian.Liana kaget. Apa dia harus membukanya? Tapi dia
Antonio berdiri kaku di depan pintu suite-nya, tangan masih menggenggam gagang. Wanita mabuk itu terhuyung-huyung masuk, lalu terjatuh di atas karpet beludru hitam."Ah... kamu pasti pria yang disewakan Mom Hilarry untukku," ucapnya dengan senyum genit, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk Antonio. "Tampan juga~"Antonio mengerutkan kening.Sialan. Dia pikir aku gigolo?Dia hampir membentak, hampir menarik wanita itu dan melemparkannya keluar—tapi tiba-tiba, sesuatu di dalam celananya bereaksi.Tidak mungkin.Enam bulan. Enam bulan sejak kecelakaaan itu, sejak tubuhnya menolak semua wanita, sejak dokter-dokter mahal hanya bisa menggeleng.Tapi sekarang?Karena seorang wanita mabuk yang salah kamar?"Aku bukan gigolo," geramnya, suara serak.Wanita itu tertawa kecil, lalu mencoba berdiri—tapi malah terjatuh lagi. "Jangan... jangan malu-malu. Aku bayar mahal kok~"Antonio menatapnya.Gaun hitamnya melorot, memperlihatkan bahu mulus. Pipinya merah, bibirnya mengkilap karena lipstik yang sedi
Malam itu, kamar suite mewah Antonio Valentino dipenuhi oleh kemarahan yang meledak."Keluar! Sekarang!" Antonio menggeram, melemparkan bantal ke arah wanita bayaran yang terlihat ketakutan."Tapi, Tuan—""Diam! Kau tidak berguna!" Suaranya menggelegar, membuat sang wanita segera menyambar gaunnya dan kabur dari kamar.Antonio menatap tajam ke bawah, frustrasi melihat bagian tubuhnya yang tetap lemas, tak peduli seberapa cantik atau seksi wanita yang dihadirkan untuknya. Ia mengutuk dalam hati, meninju dinding hingga buku-buku tangannya memerah.Ini tidak masuk akal.Sejak kecelakaan itu, segala sesuatu yang membuatnya Antonio Valentino—kekuasaan, ketakutan yang ia tebarkan, bahkan kejantannya—seolah tercabik.Jio, asisten sekaligus sahabatnya, masuk dengan langkah hati-hati. "Boss...""Jangan mulai, Jio," Antonio memotong, meneguk whiskey langsung dari botol. "Aku sudah muak dengan dokter-dokter itu dan teori bodoh mereka. Coba dengan wanita lain, coba suasana berbeda— BULLSHIT!"Jio