Nadine berusaha menegakkan punggungnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, meski matanya masih merah dan tubuhnya masih bergetar halus. Ia melangkah menuju ruang rapat dengan langkah yang tegas, menutupi luka batinnya dengan topeng profesional. Namun, setiap embusan napasnya terasa sesak—seperti ada belenggu tak kasatmata yang mencekiknya.Ruang rapat penuh. Beberapa klien penting sudah duduk, menoleh ke arahnya begitu ia masuk. Nadine tersenyum tipis, memaksakan wibawa yang tersisa.“As we discussed earlier, let’s continue to the proposal stage,” ucapnya dengan suara tenang, padahal tenggorokannya kering.Asistennya membagikan dokumen presentasi, sementara Nadine mencoba fokus pada layar proyektor. Akan tetapi, pikirannya terus terganggu—bayangan wajah Alfandi, tatapan liar penuh cemburu, dan suara desis ancamannya "kamu cuma milikku, Nad ..." terus terngiang.Tiba-tiba, pintu ruang rapat terbuka. Semua kepala menoleh.Alfandi berdiri di ambang pintu, senyum samar menghiasi wajahnya
“Asisten aku sudah jelas bilang, kamu nggak bisa masuk seenaknya.” Nadine mencoba mempertahankan nada tenangnya, meski tangannya otomatis mengepal di sisi meja.Alfandi melangkah masuk tanpa permisi, menutup pintu di belakangnya dengan satu sentakan yang membuat dinding bergetar halus. “Kenapa aku harus tunggu izin? Aku tunangan kamu, Nadine. Atau kamu lupa, perusahaan ini berasal dari modalku juga?”Napas Nadine tercekat. “Kucatat itu sebagai utang dan sudah tercatat dalam akad perjanjian. Ini kantor. Ada aturan yang harus dihormati.”“Lucu,” sahut Alfandi, mendekat perlahan. “Aturan cuma berlaku buat aku, sementara kamu bebas terima pesan, telepon, bahkan undangan makan malam dari laki-laki lain?”Nadine berdiri, mencoba menahan jarak di antara mereka. “Fan, jangan bawa masalah pribadi ke kantor! Aku ada meeting sebentar lagi.”“Meeting … atau alibi baru?” Alfandi menyipitkan mata, lalu tatapannya melesat ke meja kerja, ke berkas-berkas terbuka, ke laptop yang menyala. Ia seperti se
“Ucapan terima kasih yang … spesial, ya?”“Fan, dengar aku dulu!” Nadine mencoba meraih ponselnya. Namun Alfandi memiringkan tubuh, menyandarkan diri ke kursi sambil tetap menggenggamnya.“Dengar kamu?” Alfandi terkekeh pendek, dengan nada tawanya dingin. “Kamu pikir, aku ini orang bodoh yang Cuma mau disuapi alasan setengah matang?”Mobil mendadak terhenti di tepi jalan. Ia memutar tubuh menghadap Nadine sepenuhnya, jemarinya yang bebas kini menekan bahu wanita itu.“Kamu sudah tahu aku nggak suka kalau kamu dekat lagi sama Shen. Dan sekarang, dia ngundang kamu makan malam?”Nadine menggeleng cepat, berusaha mempertahankan napasnya yang mulai memburu. “Fan, kamu salah paham.”“Kalau Cuma salah paham, kenapa kamu langsung panik begitu lihat pesannya?” potong Alfandi, mencondongkan wajah hingga jarak mereka hanya sejengkal.“Makan malam sama dia … atau sama aku? Pilih sekarang!” tegas Alfandi dengan raut wajah tegang.Di luar, suara kendaraan lewat samar-samar. Sedangkan di dalam mobi
Begitu Nadine membuka pintu, telah disambut oleh ekspresi kesakitan Shen. Pria itu membuka mata, lalu tersenyum tipis. Nadine duduk di sebelahnya.“Tolong aku, Lou po!”pinta Shen dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya mendekat ke arah Nadine. Sikap Shen itu membuat jantung wanita itu berdebar kencang.Wanita mana yang tak akan bereaksi berlebihan saat berada di dekat lelaki tampan seperti Shen. Rahangnya yang tajam, hidungnya yang mancung, dan bola mata yang kebiruan membuat ketampanannya nyaris sempurna.“Aku butuh,” ucap Shen dengan bibir gemetar. Suhu tubuhnya panas tinggi membuat badannya lemas dan sulit untuk bergerak bebas karena gemetar.Nadine terdiam dia merasa sangat bodoh. Oleh karena kebodohannya itu pula, ia merasa sangat khawatir saat melihat kondisi si mantan sedang tidak baik-baik saja.“Tolong, gerah!” titah Shen sembari mengangkat kedua tangan ke atas.Nadine mendekati Shen, lalu membantunya membuka baju. Ia melihat tubuh kekar pria ini itu, enam susun dada kotak-ko
Alfandi membuka matanya kembali, tatapan tajam itu menusuk Nadine seakan-akan ingin memaksa jawaban yang lebih meyakinkan.“Kalau aku izinin, aku ikut,” suaranya tegas, dingin. “Aku mau lihat sendiri kalau yang kamu bilang itu, cuma darurat medis.”Nadine menelan ludah, hatinya berdebar kencang. “Fan, kalau kamu ikut ...,”“Jangan bilang nggak bisa. Aku ikut,” potong Alfandi. Nada suaranya tak bisa ditawar.Ponsel bergetar lagi. Kali ini Nadine langsung mengangkat. “Shen? Shen, kamu dengar aku?” Suara di seberang hanya terdengar napas berat, lalu desahan lemah. “Nadine … susah … napas … kunci … apartemen … di pot … bunga …”Sambungan terputus.Nadine langsung bangkit dari ranjang, meraih celana jeans yang tergantung di kursi. “Kita harus cepat. Dia nggak punya banyak waktu.”Alfandi masih duduk, menatapnya penuh kecurigaan. Namun saat melihat jari-jari Nadine gemetar saat meraih kunci mobil, ia ikut bangkit. “Aku nyetir.”*-*Hujan masih mengguyur deras ketika mobil melaju kencang me
Nadine masih menatap Alfandi dengan napas terengah, dada naik-turun. Tangannya bergetar, bukan hanya karena rasa marah. Namun itu karena getaran aneh yang sulit ia jelaskan setiap kali pria itu terlalu dekat.“Fan … jangan begini,” ucap Nadine pelan, suaranya bergetar.Alfandi menutup matanya sejenak, seolah-olah menahan emosi yang sudah di ujung. Saat ia kembali menatap Nadine, sorot matanya berbeda—lebih teduh, tetap intens. Ia melepaskan genggamannya perlahan, lalu menarik napas panjang.“Aku takut …,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. “Takut kalau suatu hari aku kehilangan kamu lagi, Sayang.”Nadine terdiam. Kata-kata itu menghantam hatinya lebih keras daripada cengkeraman tadi. Wajah Alfandi kini terlihat rapuh, jauh dari sosok keras kepala dan penuh ego yang ia kenal.Alfandi melangkah maju, kali ini bukan dengan kemarahan, tetapi dengan hati-hati. Tangannya terulur, menyentuh pipi Nadine, ibu jarinya mengusap bekas air mata yang ia bahkan tak sadar sudah jatuh.“Nadine …,”