LOGIN“Ini cukup untuk memutarbalikkan kenyataan,” gumamnya sambil tersenyum sinis.
Tak lama, ponselnya berdering. Tampak Leonardo sedang menghubunginya. “Sudah siap untuk konferensi pers?” tanya suara di seberang. Raline mengangguk, meski ia tahu Leonardo tak melihat itu. “Setelah ini, Nadine akan terlihat seperti wanita yang menjebak dua pria demi harta. Kita hanya perlu satu ledakan terakhir.” Leonardo tertawa pelan. “Dan saat ledakan itu terjadi, tak ada yang bisa menyelamatkannya. Apalagi ketika polisi menemukan ‘barang bukti’ di tempatnya.” ** Sejak Rayhan merasa keselamatan Nadine dan Arsa terancam, ia mengajak mereka pindah ke rumah mewahnya. Keamanan mereka lebih terjamin di rumah pribadi dengan pengawasan ekstra. Nadine baru akan menyusui Arsa, ketika terdengar suara mobil berhenti di luar pagar. Interkom dari pos jaga menghubunginya. "Ada kurir mencari Anda, Nyonya." Nadine segera menatap layar pengawas. Seorang kurir berdiri di depan gerbang. "Amati dia! Benar kurir atau bukan? Sekiranya aman, terima saja." “Dia mau serahkan dokumen langsung ke Anda.” "Suruh dia bicara lewat interkom!" "Baik, Nyonya." Tak lama kemudian, suara seorang pria terdengar berat dan buru-buru. "Halo, Nyonya Nadine. Saya mau serahkan dokumen rahasia langsung ke Anda." "Serahkan saja ke sekuriti!" "Maaf, gak bisa, Nyonya. Ada pesan khusus untuk Anda." "Oke. Ngomong saja!" “Tolong jangan percaya siapa pun. Bahkan orang yang paling dekat dengan Anda. Ada penyadap di rumah ini. Mohon Anda berhati-hati!" "Oke. Terima kasih atas informasinya." "Dokumen saya serahkan ke sekuriti. Permisi." Tak berapa lama, salah seorang sekuriti mendatangi Nadine di beranda. Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat bersegel. Setelah sekuriti kembali ke pos jaga, Nadine membuka amplop—berisi dua foto yang mengejutkan. Satu foto Leonardo sedang berbincang dengan kepala NICU rumah sakit. Satu lagi, sketsa ruangan bawah tanah tempat Raline dan Leonardo bertemu. Nadine terduduk lemas, tetapi matanya menyala. Ia menatap langit dan berkata pelan, “Selalu saja ada orang baik." --- Di Kantor Pusat Media Hari yang ditentukan pun tiba. Raline dan Leonardo duduk di meja konferensi pers. Di depan mereka, kamera live siap menyiarkan 'pengakuan' mereka ke publik. Raline membuka mapnya, lalu mulai membaca. “Hari ini saya ingin menyampaikan sebuah kenyataan pahit. Nadine bukanlah wanita seperti yang dikenal publik. Ia memalsukan data kehamilan, memanipulasi data rumah sakit, dan merusak hubungan keluarga kami. Bukti-buktinya ada di tangan saya.” Seketika ruangan gaduh. Wartawan menyorot berbagai ekspresi, sebagian mulai menyadari ini terlalu rapi untuk menjadi spontan. Namun tiba-tiba, salah satu layar LED besar di ruangan itu menyala sendiri. Muncul wajah Rayhan. Siaran langsung dari ruangan berbeda. “Maaf mengganggu acara kalian. Tapi saya punya versi yang sedikit berbeda,” katanya datar. Kemudian, ia menayangkan rekaman suara Raline dan Leonardo di ruang bawah tanah, lengkap dengan timestamp, data GPS, dan log panggilan mereka. Wajah Raline seketika pucat. Leonardo berdiri, berusaha menghentikan siaran. Akan tetapi dua aparat keamanan bersenjata sudah berdiri di belakangnya. “Permainan kalian selesai,” ujar Rayhan dingin. “Bukti kalian adalah hasil rekayasa. Dan kalian akan menjawabnya di hadapan hukum.” --- Leonardo buru-buru menarik tangan Raline. Mereka berlari menuju jalan rahasia. Saat mereka keluar dari pintu, telah disambut oleh kendaraan khusus dengan kaca gelap. Mobil melaju kencang ke arah bandara. Dalam kendaraan roda empat itu, Raline tersenyum. “Aku kalah kali ini. Tapi kalian lupa, aku punya seribu cara untuk hancurkan Nadine.” Ia menatap ke arah layar ponsel yang terpampang rekaman CCTV. Tampak Nadine sedang mengajak bermain Arsa di ruang tengah, bersama seorang baby sitter. *** Di dalam mobil yang melaju menuju bandara, Leonardo tampak gelisah, berbeda dengan Raline yang masih menyunggingkan senyum sinis. “Kau gila,” geram Leonardo. “Kita nyaris tertangkap. Kau dengar sendiri, Rayhan punya semua rekaman kita!” Raline menoleh lambat, matanya tajam seperti belati. “Rayhan cuma satu kepala dari ular ini. Yang lain belum muncul ke permukaan.” Ia mengangkat ponselnya, lalu membuka sebuah aplikasi dengan ikon tersembunyi. Di layar, muncul akses remote ke sistem rumah Rayhan. “Lima menit lagi,” bisik Raline. “Dan akan ada kejutan kecil untuk Nadine.” --- Di Rumah Rayhan Nadine masih bermain bersama Arsa ketika terdengar suara ketukan cepat dari dalam rumah. Baby sitter berlari kecil, mengecek ke arah sumber suara dari lorong. “Bu Nadine, ada yang mengetuk dari dalam gudang bawah. Tapi tadi semua kuncinya sudah dikunci.” Nadine berdiri dengan cepat. “Gudang bawah?” Ia menyuruh baby sitter membawa Arsa ke kamar atas, lalu mengaktifkan tombol keamanan di dinding ruang tengah. Kamera tersembunyi di seluruh rumah aktif menampilkan area strategis. Namun sebelum ia sempat menganalisis, layar utama berkedip. System rebooting … Unauthorized access detected. Nadine tertegun. “Ada yang masuk sistem.” Dalam sekejap, lampu rumah padam. --- Sementara itu dalam mobil tak jauh dari kediaman Rayhan Raline melihat notifikasi: Access successful. Disarming system in 10 … 9 ... 8 ... Namun sebelum hitungan mencapai nol, layar ponselnya membeku. Sinyal terputus. Leonardo mengernyit. “Apa yang terjadi?” Raline menggeram. “Seseorang memutus koneksi satelit.” --- Di Rumah Rayhan – Gudang Bawah Rayhan datang bersama timnya dari kepolisian siber. Mereka bergerak cepat memasuki rumah setelah mendeteksi anomali sinyal masuk dari server eksternal. Rayhan masuk ke gudang bawah. Di sudut ruangan, ia menemukan router pengalihan sinyal yang dipasang sangat rapi—milik seseorang yang sangat mengenal struktur rumah itu. Ia berbalik pada teknisinya. “Lacak jejak IP terakhir sebelum akses terputus.” Tak lama, salah satu dari mereka mengangkat tangan. “Kami menemukan pemilik jaringan penyusup. Tapi, Pak Rayhan … nama ini akan membuat Anda terkejut.” Ia menyerahkan tablet itu. Pada layar tertera: Pemilik jaringan: Amira Soerjono IP lokasi awal: Surabaya Status: Meninggal – 5 tahun lalu Rayhan terpaku. “Mustahil … Amira sudah mati dalam kebakaran rumah keluarga Nadine.” --- Di Tempat Rahasia Raline menatap Leonardo tajam. “Kau tahu siapa Amira?” Leonardo menghela napas. “Tentu. Dia saudara tiri Nadine. Yang harusnya ikut mewarisi kekayaan keluarga kalau tidak ... terbakar.” Raline tersenyum dingin. “Tapi bagaimana jika dia tidak mati?” Leonardo menatap Raline dengan curiga. “Kau tahu sesuatu yang tidak kuketahui?” Raline hanya berkata pelan, “Permainan ini belum selesai. Karena ternyata, lawan kita bukan cuma Nadine. Ada seseorang yang juga ingin membalas dendam kepada keluarga Nadine sendiri.” Ia mengetik cepat di ponselnya, mengirim satu pesan. [Aktifkan Protokol Kode A13. Target berubah. Fokus pada Amira.] Pesan balasan pun langsung ia terima. [Oke. Kami siap amankan target.] Raline tersenyum lebar. Sebuah kemenangan akan segera dalam genggaman tangan. Itu bisa ia pastikan sebagai pencapaian tertingginya dalam bersaing dengan Nadine. "Aku tak pernah rela jadi yang kedua!"“Mereka datang lebih cepat. Kita percepat rencana!”teriak Alma.Baik Nadine maupun Caleste terkejut. Nadine menggenggam lengan Celeste, sambil menggerutu,"Bagaimana bisa mereka dapat informasi secepat itu?"Celeste tersenyum penuh arti, lalu mengelus punggung kekasihnya. Ia berkata, "Yang penting kita bisa keluar dari sini."*-*Helikopter itu masih jauh, tetapi suaranya sudah cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Alma langsung menutup pintu gudang dan menyalakan EMP portabel kecil, cukup untuk mengacaukan sinyal drone atau tracker dalam radius setengah kilometer.“Brandon pakai kontraktor swasta sekarang,” geram Alma sambil mengecek magasin senapinya. “Bukan polisi. Lebih berbahaya.”Celeste menarik Nadine ke sudut ruang kontrol. “Kita nggak tunggu lagi. Hack dimulai sekarang juga.”Nadine sudah duduk di depan laptop kedua, jari-jarinya menari di keyboard. “IP server utama Hongkong ketemu. Aku masuk lewat VPN ganda. Alma, kirim payload ke Jakarta sekarang.”Alma mengangguk, menek
Nadine mulai bergerak, pinggulnya bergoyang maju-mundur pelan dulu, seperti menikmati setiap gesekan. Matanya tak lepas dari mata Celeste, penuh cinta, dan gairah.Celeste mengangkat pinggulnya menyambut, tangannya meremas bokong Nadine, membantu ritme yang mulai mempercepat.Suara kasur lipat berderit pelan, bercampur suara basah kecil dari tempat mereka bersatu. Napas mereka kembali berat, keringat baru mulai menetes dari pelipis.Nadine mencondongkan tubuh, payudaranya menempel di dada Celeste, putingnya bergesekan dengan kulit yang panas. Ia mencium bibir Celeste dalam-dalam, lidah mereka saling mengejar, saling menjilat sisa rasa satu sama lain.“Aku mau kamu keluar di dalam lagi,” bisik Nadine di sela ciuman. Suaranya terputus-putus karena gerakan pinggulnya yang semakin cepat.Celeste hanya bisa mengangguk, matanya setengah terpejam. Pinggulnya mulai menghentak lebih keras, mengejar klimaks yang sudah dekat.Beberapa detik lagi .… Nadine menegang lebih dulu, tubuhnya kejang,
Pintu triplek ditutup rapat. Lampu LED kecil di sudut ruangan hanya menyala separuh. Cahaya kuning pucat jatuh miring di kulit mereka. Hal itu membuat bayangan payudara Nadine terlihat lebih penuh, lebih berat dari biasanya."Sakit banget, Celes," rintih Nadine sambil meringis."Sabar, Sayang," balas Celeste.Ilmuwan tampan itu berlutut di depan Nadine. Deru napasnya sudah panas di kulit leher Nadine sebelum bibirnya menyentuh. Ia mulai dari bawah telinga, ciuman kecil yang basah. Lidahnya menelusuri garis rahang, turun ke lekuk leher yang selalu membuat Nadine menggigil."Aah ... Gak nyangka, kamu semakin mahir," ucap lirih Nadine."Dari kamu aku belajar," balas Celeste.Jaket kulit Nadine sudah terlepas, kemeja flanel terbuka kancing demi kancing hingga terlihat bra olahraga hitam yang ketat. Bagian depannya basah dua lingkaran besar.Cairan putih kental merembes perlahan, menetes satu-satu ke perutnya yang rata. Celeste menatapnya sebentar, mata gelap, napas berat.“Cantik banget k
“Kabar buruk,” katanya. “Ada tiga sinyal masuk radar portabel. Mereka bukan cuma tim ini.”Celeste menghela napas pendek. “Brandon all-in.”Nadine menatap wajah Celeste, kegentaran bercampur tekad.“Celes, kalau keadaan makin buruk—”“Kita bisa lolos,” potong Celeste cepat.Ia menatap Nadine dengan pandangan teduh. Kali ini tak sekadar protektif, tetapi intim dan penuh makna.“Kalau harus jatuh, kita jatuh bareng. Tapi bukan hari ini.”Pintu baja terbuka. Hujan malam menyambut mereka, dingin dan gelap. Di kejauhan, siluet kendaraan lain sudah menunggu di jalan akses lama.Celeste menyipitkan mata. “Kontak jam dua belas,” desisnya.Lampu kendaraan di ujung jalan akses utama, tiba-tiba menyala terang. Sinarnya menyorot langsung tubuh mereka. Dari balik semak di sisi kanan terowongan keluar, tiga siluet muncul nyaris bersamaan. Mereka bergerak terbuka dan cepat, tak bisa dihindari tanpa perlawanan.Alma langsung menarik pistol dari balik jaket.“TIARAP!" teriaknya sambil meloncat ke sis
Celeste menarik Nadine lebih dekat. Dalam situasi genting itu, jarak mereka terasa lebih intim dari sebelumnya. Bukan romantis yang manis, tetapi romantis yang dibumbui ketakutan kehilangan.“Kalau keadaan buruk,” bisik Celeste di telinga Nadine, “kau lari lewat lorong belakang. Aku dan Alma nutup.”Nadine menggeleng keras. “Sudah janji. Aku nggak ninggalin kamu.”Tatapan Celeste mengeras, tetapi hangat. “Keras kepala.”“Anda jatuh cinta pada cewek keras kepala, ingat?” balas Nadine setengah berani.Seketika langkah kaki terdengar mendekat dari luar pagar. Bukan satu atau dua, tetapi empat. Kemudian ada suara gesekan logam, seperti seseorang sedang memotong sesuatu.“Shit, mereka masuk lewat sisi utara,” laporan salah satu polisi akhirnya terdengar tersendat lewat radio cadangan.Namun itu sudah terlambat. Lampu ruang tamu tiba-tiba mati. Safe house tenggelam dalam gelap.Alma spontan menarik pistol dari tas pinggang. “Celes, mata barat.”Celeste mendorong Nadine ke balik sofa besar.
Beberapa menit kemudianPolisi mulai mengamankan perimeter. Garis polisi membentang di pagar yang hangus. Lampu strobo memantul di jendela safe house.Alma berdiri dekat pintu, mengusap wajah lelah. “Celes, mereka percaya sementara. Tapi berita ini nggak bakal berhenti di sini.”“Aku tahu,” jawab Celeste. “Bernard hanya pion. Orang yang benar-benar memesan kontrak Nadine masih bebas.”Nadine meneguk napas. “Yaros bilang dia hampir mengungkap sesuatu tentang kontrak itu, sebelum teleponnya terputus.”Rahang Celeste mengeras. “Itu yang menggangguku. Yaros tahu lebih banyak dari yang dia katakan.”“Dia mau melindungiku juga,” Nadine membela lirih.“Aku tahu,” sahut Celeste datar. “Itulah sebabnya aku tidak menyentuhnya.”Ada jeda canggung. Perasaan yang saling bertabrakan mengambang di udara.*-*Tiba-tiba radio polisi berderak keras.“Unit dua, kami kehilangan sinyal tahanan sementara di ambulans. Ada dugaan intervensi pihak ketiga.”Semua kepala menoleh.“Apa maksudnya ‘kehilangan’?” t







