로그인Sore itu, setelah memastikan baby sitter pergi, Nadine berdiri di balik jendela sambil menatap wanita yang masih mondar-mandir di gerbang paviliun. Meski penampilannya lebih glamor dari terakhir kali mereka bertemu, Nadine sangat mengenali wanita itu—Raline.
Matanya membulat penuh emosi. Wajah yang sama yang pernah merenggut suaminya, yang bahkan berkonspirasi dalam kematian Elio. Nadine menutup tirai perlahan, berusaha mengatur napas yang mulai memburu. Ponselnya bergetar. Panggilan dari Rayhan. “Sayang, aku baru selesai rapat. Mau kutemani pemeriksaan Arsa di rumah sakit?” tanya Rayhan. Nadine menjawab dengan nada datar, “Nggak usah, Arsa lagi tidur. Aku ada hal penting yang harus kubereskan di rumah. Nanti aku kabari.” “Ada masalah?” Rayhan bertanya pelan, tanggap pada nada Nadine. “Belum tentu … tapi kemungkinan iya.” Selesai menutup telepon, Nadine langsung menghubungi security paviliun. “Pak, minta tolong. Jangan sampai perempuan di depan gerbang itu masuk! Saya tidak izinkan dia ke sini.” “Siap, Nyonya Nadine. Dia masih di depan gerbang. Ngotot minta ketemu Tuan Rayhan.” “Kalau perlu, hubungi polisi,” ucap Nadine dengan ketegasan yang dulu tak pernah ia miliki. Setelah menutup sambungan, Nadine menghela napas panjang lalu berjalan ke kamar, membuka sebuah kotak penyimpanan di bawah lemari. Ia mengeluarkan berkas-berkas lama, dokumen perceraian, surat wasiat orang tuanya, juga hasil audit utang Arvan yang sempat diselidikinya diam-diam. Seketika tatapan Nadine mengeras. Di antara tumpukan kertas itu ada bukti transfer ke rekening atas nama Raline dari sebuah perusahaan konsultan milik Arvan, terjadi sebulan setelah kematian Elio. Dengan hati-hati, Nadine memotret bukti itu, mengirimkan ke ponsel Rayhan. [Kayaknya kamu perlu lihat ini. Malam ini, kita bicara.] Tak lama, datang balasan dari Rayhan. [Aku akan pulang lebih cepat. Hati-hati, Sayang.] Nadine menatap bayangan dirinya di cermin. Bukan lagi wanita rapuh yang hanya bisa menangis, seperti sebelumnya. Ia seorang wanita yang akan memperjuangkan masa depannya—dan masa depan Arsa, meski bukan anak kandung. * Malam itu, di ruang kerja Rayhan. “Dia datang bukan cuma buat ganggu hubungan kita. Dia punya agenda lebih besar,” ucap Nadine sambil menunjukkan bukti-bukti di ponselnya. Rayhan membaca dengan rahang mengeras. “Jadi bukan cuma tentang masa lalu kita.” “Benar. Raline sudah terbiasa bermain dengan lelaki berduit. Aku yakin dia kembali bukan hanya karena kamu, tapi karena aset, nama besar. Kemungkinan lebih dari itu.” Rayhan terdiam sejenak lalu bangkit, menggenggam tangan Nadine. “Mulai malam ini, kita lawan dia sama-sama. Aku nggak akan biarkan dia hancurkan kita.” Nadine mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Dan Arvan … dia akan segera kena batunya. Aku sudah punya pengacara yang siap membuka kembali kasus manipulasi aset pernikahanmu,” jelas Rahyan sambil memegang erat jemari tangan Nadine. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, untuk pertama kalinya merasa lebih kuat. Ia pun menyahuti dengan mata berbinar. “Kali ini, bukan aku yang akan menangis. Mereka yang akan kalah.” Rayhan mengecup kening Nadine, penuh janji tak terucap. Malam itu, Nadine tahu, ia bukan lagi wanita yang menunggu keajaiban—tetapi wanita yang menciptakan keajaiban untuk hidupnya sendiri. * “Ingat baik-baik, Raline. Malam ini kamu harus berhasil!” Suara Leonardo terus menggema dalam benak Raline saat ia berdiri diam di sudut ballroom megah, milik Prima Medical Company—perusahaan milik Rayhan. Malam itu adalah perhelatan tahunan perusahaan, dihadiri oleh jajaran direksi, para pegawai dan rekan bisnis penting. Satu per satu tamu mulai memadati ruangan. Di antara keramaian, masuk seorang pria berpenampilan berkelas, mengenakan setelan jas hitam yang terpasang rapi di tubuh tegapnya. Aura maskulin yang dipancarkan pria tersebut sontak mengundang tatapan dari banyak tamu, membuat detak jantung Raline semakin liar. Tangannya tanpa sadar menyentuh botol kecil yang tersembunyi di saku gaunnya. “Aku gak punya pilihan lain,” bisiknya lirih, suara gemetar. Sementara itu, Rayhan sedang sibuk menyapa kolega-koleganya. Meski saat ini posisinya sedang terancam dengan manuver halus dari Leonardo Ananta, pamannya yang ambisius. “Selamat malam, Tuan Ryhan!” sapaan demi sapaan datang menghampirinya. “Selamat malam,” jawab Rayhan sopan. “Senang sekali bisa bertemu Anda malam ini.” Rayhan larut dalam obrolan bisnis bersama beberapa pengusaha lainnya. Dari kejauhan, Raline hanya bisa memandangi pria itu dengan perasaan campur aduk. Dalam hati, Raline mengutuk dirinya sendiri. Ia merasa begitu rendah, apalagi mengingat kejadian sehari sebelumnya, saat Rayhan dalam pengaruh obat bius, tiba-tiba sadar lalu meninggalkannya. Kejadian itu membuat harga dirinya diinjak-injak. Namun ia menegakkan bahu, mencoba menyingkirkan keraguan, lalu berjalan ke arah meja minuman. Ia mengambil segelas minuman, melirik kanan kiri, kemudian secara cepat menuangkan cairan dari botol kecil tadi ke dalam gelas yang ditujukan untuk Rayhan. Baru saja Raline berbalik hendak menghampiri pria itu, sebuah suara berat mengejutkannya dari belakang. “Kamu nggak sedang menaruh sesuatu di minuman itu kan?” Tubuh Raline menegang, matanya membelalak kaget saat melihat Rayhan berdiri tepat di belakangnya, mengawasi dengan tajam. Tatapan pria itu menyipit curiga. Rayhan tadinya sedang mencari seorang kolega, tetapi malah menemukan Raline. “T-Tuan Rayhan,” ucap Raline terbata-bata, mencoba menyembunyikan kepanikan. “Aku bertanya, apa yang kamu masukkan ke minuman itu?” nada suara Rayhan meninggi, sarat emosi. “Tidak … tidak ada, Pak. Saya hanya ingin mengantarkan minuman ini untuk Anda dan kunci kamar. Barangkali ingin beristirahat sejenak,” ucap Raline terburu-buru, kemudian segera menyodorkan gelas dan kunci kamar, lalu pergi dengan langkah cepat. Rayhan mengerutkan dahi, matanya masih mengikuti Raline yang menjauh. Ia tidak pernah punya rasa benci terhadap Raline sebelumnya. Namun sejak wanita itu sering merayunya, semuanya berubah. Baginya, perempuan itu tampak murah dan licik. “Membuat mood-ku rusak saja,” gumamnya kesal, tetap meneguk minuman yang diberikan Raline hingga tandas. Rayhan lalu bergabung lagi dengan rekan-rekan bisnisnya, kembali larut dalam diskusi serius. Namun tak lama, rasa aneh mulai menyusup ke tubuhnya. “Kenapa ruangan ini terasa begitu panas? AC-nya rusak ya?” keluh Louis sambil menarik kerah bajunya. “AC-nya normal, Pak,” jawab salah satu tamu. Rayhan hanya membalas dengan senyum kaku. Tubuhnya terasa semakin tidak nyaman—tenggorokannya kering, keringat mengucur, dan seluruh tubuhnya panas seperti terbakar. Konsentrasinya buyar, bahkan suaranya terasa berat di telinga sendiri. Rayhan mencoba tetap tenang, tetapi gelombang panas dalam tubuhnya tak terbendung. Rasanya seakan-akan ada dorongan kuat dalam dirinya yang mendesak keluar dari ruangan. “Mohon maaf semuanya, saya izin sebentar,” pamit Rayhan dengan senyum sopan, bergegas keluar dari ballroom. Begitu pintu ballroom tertutup di belakangnya, Rayhan melangkah cepat menyusuri lorong hotel, melepaskan dasi dan mengumpat pelan. “Apa yang terjadi denganku? Kenapa rasanya aku terbakar begini .…” Ia segera menghubungi Nadine. “Buruan ke hotel. Langsung ke kamar, ada yang coba racun aku.” “Oke, Sayang.” Hubungan telepon berakhir. Langkah Rayhan semakin berat. Namun ia terus berjalan, menahan rasa tidak nyaman yang semakin menjadi-jadi. Ia menyeret dirinya menuju kamarnya. Kamar khusus itu memang disediakan untuk dirinya setiap ada event perusahaan. Rayhan menggenggam erat kunci kamar sambil menelan ludah, merasa dorongan aneh dalam tubuhnya semakin sulit dikendalikan. Namun, di tengah langkahnya yang hampir gontai, kesadaran mulai menyelinap ke pikirannya. “Sial! Ada yang aneh dengan minuman itu. Jangan-jangan Raline …,” geramnya, sambil mengepalkan tangan dan mempercepat langkah, rasa kesal bercampur dengan kegelisahan yang terus menyergap.“Mereka datang lebih cepat. Kita percepat rencana!”teriak Alma.Baik Nadine maupun Caleste terkejut. Nadine menggenggam lengan Celeste, sambil menggerutu,"Bagaimana bisa mereka dapat informasi secepat itu?"Celeste tersenyum penuh arti, lalu mengelus punggung kekasihnya. Ia berkata, "Yang penting kita bisa keluar dari sini."*-*Helikopter itu masih jauh, tetapi suaranya sudah cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Alma langsung menutup pintu gudang dan menyalakan EMP portabel kecil, cukup untuk mengacaukan sinyal drone atau tracker dalam radius setengah kilometer.“Brandon pakai kontraktor swasta sekarang,” geram Alma sambil mengecek magasin senapinya. “Bukan polisi. Lebih berbahaya.”Celeste menarik Nadine ke sudut ruang kontrol. “Kita nggak tunggu lagi. Hack dimulai sekarang juga.”Nadine sudah duduk di depan laptop kedua, jari-jarinya menari di keyboard. “IP server utama Hongkong ketemu. Aku masuk lewat VPN ganda. Alma, kirim payload ke Jakarta sekarang.”Alma mengangguk, menek
Nadine mulai bergerak, pinggulnya bergoyang maju-mundur pelan dulu, seperti menikmati setiap gesekan. Matanya tak lepas dari mata Celeste, penuh cinta, dan gairah.Celeste mengangkat pinggulnya menyambut, tangannya meremas bokong Nadine, membantu ritme yang mulai mempercepat.Suara kasur lipat berderit pelan, bercampur suara basah kecil dari tempat mereka bersatu. Napas mereka kembali berat, keringat baru mulai menetes dari pelipis.Nadine mencondongkan tubuh, payudaranya menempel di dada Celeste, putingnya bergesekan dengan kulit yang panas. Ia mencium bibir Celeste dalam-dalam, lidah mereka saling mengejar, saling menjilat sisa rasa satu sama lain.“Aku mau kamu keluar di dalam lagi,” bisik Nadine di sela ciuman. Suaranya terputus-putus karena gerakan pinggulnya yang semakin cepat.Celeste hanya bisa mengangguk, matanya setengah terpejam. Pinggulnya mulai menghentak lebih keras, mengejar klimaks yang sudah dekat.Beberapa detik lagi .… Nadine menegang lebih dulu, tubuhnya kejang,
Pintu triplek ditutup rapat. Lampu LED kecil di sudut ruangan hanya menyala separuh. Cahaya kuning pucat jatuh miring di kulit mereka. Hal itu membuat bayangan payudara Nadine terlihat lebih penuh, lebih berat dari biasanya."Sakit banget, Celes," rintih Nadine sambil meringis."Sabar, Sayang," balas Celeste.Ilmuwan tampan itu berlutut di depan Nadine. Deru napasnya sudah panas di kulit leher Nadine sebelum bibirnya menyentuh. Ia mulai dari bawah telinga, ciuman kecil yang basah. Lidahnya menelusuri garis rahang, turun ke lekuk leher yang selalu membuat Nadine menggigil."Aah ... Gak nyangka, kamu semakin mahir," ucap lirih Nadine."Dari kamu aku belajar," balas Celeste.Jaket kulit Nadine sudah terlepas, kemeja flanel terbuka kancing demi kancing hingga terlihat bra olahraga hitam yang ketat. Bagian depannya basah dua lingkaran besar.Cairan putih kental merembes perlahan, menetes satu-satu ke perutnya yang rata. Celeste menatapnya sebentar, mata gelap, napas berat.“Cantik banget k
“Kabar buruk,” katanya. “Ada tiga sinyal masuk radar portabel. Mereka bukan cuma tim ini.”Celeste menghela napas pendek. “Brandon all-in.”Nadine menatap wajah Celeste, kegentaran bercampur tekad.“Celes, kalau keadaan makin buruk—”“Kita bisa lolos,” potong Celeste cepat.Ia menatap Nadine dengan pandangan teduh. Kali ini tak sekadar protektif, tetapi intim dan penuh makna.“Kalau harus jatuh, kita jatuh bareng. Tapi bukan hari ini.”Pintu baja terbuka. Hujan malam menyambut mereka, dingin dan gelap. Di kejauhan, siluet kendaraan lain sudah menunggu di jalan akses lama.Celeste menyipitkan mata. “Kontak jam dua belas,” desisnya.Lampu kendaraan di ujung jalan akses utama, tiba-tiba menyala terang. Sinarnya menyorot langsung tubuh mereka. Dari balik semak di sisi kanan terowongan keluar, tiga siluet muncul nyaris bersamaan. Mereka bergerak terbuka dan cepat, tak bisa dihindari tanpa perlawanan.Alma langsung menarik pistol dari balik jaket.“TIARAP!" teriaknya sambil meloncat ke sis
Celeste menarik Nadine lebih dekat. Dalam situasi genting itu, jarak mereka terasa lebih intim dari sebelumnya. Bukan romantis yang manis, tetapi romantis yang dibumbui ketakutan kehilangan.“Kalau keadaan buruk,” bisik Celeste di telinga Nadine, “kau lari lewat lorong belakang. Aku dan Alma nutup.”Nadine menggeleng keras. “Sudah janji. Aku nggak ninggalin kamu.”Tatapan Celeste mengeras, tetapi hangat. “Keras kepala.”“Anda jatuh cinta pada cewek keras kepala, ingat?” balas Nadine setengah berani.Seketika langkah kaki terdengar mendekat dari luar pagar. Bukan satu atau dua, tetapi empat. Kemudian ada suara gesekan logam, seperti seseorang sedang memotong sesuatu.“Shit, mereka masuk lewat sisi utara,” laporan salah satu polisi akhirnya terdengar tersendat lewat radio cadangan.Namun itu sudah terlambat. Lampu ruang tamu tiba-tiba mati. Safe house tenggelam dalam gelap.Alma spontan menarik pistol dari tas pinggang. “Celes, mata barat.”Celeste mendorong Nadine ke balik sofa besar.
Beberapa menit kemudianPolisi mulai mengamankan perimeter. Garis polisi membentang di pagar yang hangus. Lampu strobo memantul di jendela safe house.Alma berdiri dekat pintu, mengusap wajah lelah. “Celes, mereka percaya sementara. Tapi berita ini nggak bakal berhenti di sini.”“Aku tahu,” jawab Celeste. “Bernard hanya pion. Orang yang benar-benar memesan kontrak Nadine masih bebas.”Nadine meneguk napas. “Yaros bilang dia hampir mengungkap sesuatu tentang kontrak itu, sebelum teleponnya terputus.”Rahang Celeste mengeras. “Itu yang menggangguku. Yaros tahu lebih banyak dari yang dia katakan.”“Dia mau melindungiku juga,” Nadine membela lirih.“Aku tahu,” sahut Celeste datar. “Itulah sebabnya aku tidak menyentuhnya.”Ada jeda canggung. Perasaan yang saling bertabrakan mengambang di udara.*-*Tiba-tiba radio polisi berderak keras.“Unit dua, kami kehilangan sinyal tahanan sementara di ambulans. Ada dugaan intervensi pihak ketiga.”Semua kepala menoleh.“Apa maksudnya ‘kehilangan’?” t







