Share

DONATUR ASI JADI CINTA CEO
DONATUR ASI JADI CINTA CEO
Author: Citra Rahayu Bening

SEBUAH PENGKHIANATAN

last update Huling Na-update: 2025-06-08 19:23:03

Hari itu seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan—ulang tahun pertama Elio. Namun alih-alih balon, kue dan lilin, yang hadir adalah tangis dan bunga duka. Nadine berdiri kaku di depan nisan mungil yang baru saja ditancapkan ke tanah basah. Dalam genggaman tangannya ada sebuah boneka beruang kecil milik putranya, satu-satunya peninggalan yang masih menyimpan aroma bayi Elio.

“Elio bisa diselamatkan kalau dapat donor sumsum, 'kan?” bisik salah satu tamu pemakaman.

“Benar. Sebenarnya ayahnya, Arvan, satu-satunya yang cocok. Tapi katanya mereka sudah pisah ranjang sejak Nadine hamil. Arvan bahkan menolak jadi donor.”

“Ya Tuhan! Jadi anak itu mati karena ayahnya sendiri menolak menyelamatkannya?”

Kata-kata itu mengiris hati Nadine. Ia menggigit bibir untuk menahan isak. Mereka tak paham kebenaran di baliknya. Mereka tak tahu betapa ia sudah memohon, mengemis, bahkan mencium kaki pria yang dulu pernah ia cintai itu.

“Aku tak mau urusan dengan anak itu,” ucap Arvan dulu. “Bayi itu adalah hasil dari malam sial, dan aku tidak akan mempertaruhkan hidupku untuknya.”

Kini, jadi kenyataan pahit, Elio pergi. Bukan karena penyakit yang tak bisa disembuhkan, tetapi karena kebencian seorang ayah yang terlalu dalam. Satu-satunya keluarga yang tersisa kini hanya tinggal luka.

Saat para pelayat telah meninggalkan pemakaman, Nadine duduk sendiri di tepi nisan. Suara notifikasi dari ponselnya memecah kesunyian. Ada sebuah pesan video dari nomor tak dikenal.

Jari Nadine gemetar menekan tombol putar. Dalam rekaman itu, Arvan terlihat sedang bercinta dengan seorang wanita—Raline--sepupu Nadine. Di tengah tawa dan desahan, suara mereka terdengar begitu jelas.

“Aku lebih baik denganmu, Raline. Nadine membosankan.”

“Lupakan dia, Arvan! Aku yang kau butuhkan,” bisik Raline seraya mencium leher pria itu.

Napas Nadine tercekat. Dadanya sesak bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga karena pengkhianatan yang kini terasa begitu nyata. Saat anaknya meregang nyawa, dua orang terdekatnya justru bersenang-senang dalam kubangan dosa.

Belum sempat ia menyeka air mata, pesan teks lain masuk.

[Kau terlihat cantik dalam balutan duka. Lihatlah ke belakangmu, Nadine.]

Dengan hati-hati, ia menoleh.

Raline berdiri tak jauh dari tempatnya, mengenakan gaun hitam dengan senyum licik terpulas di wajah.

“Apa lagi maumu?” tanya Nadine dengan suara rendah.

Raline berjalan pelan, menyentuh nisan Elio seolah benar-benar berduka. “Hanya ingin melihat keponakanku terakhir kali. Sayang sekali, dia tak sempat mengenalku lebih lama.”

“Kau sudah merampas suamiku, kebahagiaanku, dan kini putraku mati. Kau masih belum puas juga?”

Raline menatapnya penuh kemenangan. “Aku belum puas… karena kamu masih hidup.”

Napas Nadine tercekat. Seketika, tubuhnya didorong keras ke arah belakang. Ia terguling menuruni tangga pemakaman. Dunia berputar. Benturan keras di kepalanya membuat dunia perlahan menggelap.

Namun samar, di antara jeritan pura-pura Raline yang memanggil pertolongan, Nadine melihat senyum Elio—di ujung pandangan, seolah menantinya.

“Mama akan segera datang…” bisik Nadine, sebelum kesadarannya sirna.

---

“Dokter! Pasien di kamar 187 sadar!”

Seruan itu mengoyak keheningan, menarik Nadine dari tidur panjangnya yang terasa seperti seabad. Kelopak matanya terasa berat, cahaya menyilaukan menusuk retinanya begitu ia mencoba membuka mata.

Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat. “Cepat hubungi keluarganya. Nona Nadine sudah sadar,” ujar sang perawat. Nadine hanya mampu menggerakkan bola matanya, mengamati langit-langit putih yang asing.

Beberapa menit kemudian, pintu bangsal terbuka. Nadine berharap melihat wajah yang ia kenal—mungkin mama, atau… siapa pun yang mencintainya. Tapi bukan. Yang masuk adalah bibinya, Hestia, bersama suaminya, Danu.

“Nadine… syukurlah…” Hestia langsung memeluknya. Namun, setelah pelukan itu, suara bibinya berubah menjadi sesenggukan. “Kenapa kamu mencoba mengakhiri hidupmu, Sayang?”

Nadine mengerutkan kening. Mencoba bunuh diri? Tidak. Dia tidak mencoba… dia tidak melompat sendiri. Raline yang mendorongnya. Tapi suaranya tak keluar. Tenggorokannya kering, dan lidahnya terasa lumpuh. Dia mencoba bersuara, namun yang keluar hanya desah parau.

“Kenapa suaranya serak seperti itu?” Danu menatap dokter yang baru saja masuk. Dengan ekspresi serius, dokter mempersilakan mereka keluar ruangan.

Nadine hanya bisa melihat bayangan mereka dari balik kaca jendela. Lalu tangis Hestia meledak. “Kau bilang dia kehilangan bayinya… suaminya menceraikannya saat dia masih koma… dan sekarang dia alami trauma?!”

Apa? Nadine membeku. Bisakah suaramu pulih?

Tangannya menggigil, meraih selimut, berusaha bangkit. Tapi tubuhnya terlalu lemah. Dia jatuh dari ranjang. Infus tercabut, darah mengalir. Semua panik, termasuk dokter dan perawat yang berlari masuk.

Setelah ditenangkan dan dikembalikan ke ranjang, Nadine hanya bisa menatap langit-langit kosong. Sampai akhirnya, Hestia menyerahkan sebuah kotak kecil.

“Ini satu-satunya yang Tante bisa selamatkan dari rumah…” ucapnya lirih.

Di dalamnya ada pakaian mungil berwarna biru—kaus milik bayi Nadine, Elio. Aroma sabun bayi masih tertinggal. Nadine mencium kain itu, menahan isak yang mendesak dari tenggorokan bisunya.

Dengan tangan lemah, Nadine menulis di kertas.

Cerai?

Hestia mengangguk, matanya merah.

“Arvan menceraikanmu tak lama setelah kamu koma. Dia juga meninggalkan semua utang atas namamu. Rumah, mobil, aset—semua atas nama perusahaan. Kau… tak punya apa-apa lagi.”

Nadine memejamkan mata. Luka itu dalam. Terlalu dalam. Tapi Hestia belum selesai.

“Ada satu lagi…” bisik Hestia.

“Orang tuamu… mereka mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari pemakaman Elio. Mereka… tidak selamat, Nadine.”

Tubuh Nadine menggigil. Tangisnya meledak tanpa suara. Seakan dunia benar-benar menghapus keberadaannya satu demi satu—anaknya, suaminya, suaranya, orang tuanya.

---

Beberapa Hari Kemudian

Nadine tidak pernah benar-benar pulih. Ia menjalani fisioterapi, makan dengan dipaksa, hidup dengan tubuh yang bergerak tanpa jiwa.

Suatu malam, ia menunggu hingga malam berganti dini hari. Ia tahu jadwal petugas. Ia tahu rooftop rumah sakit akan terbuka selama lima belas menit untuk inspeksi udara.

Angin dingin menyambutnya saat ia berdiri di tepi pembatas. Rambutnya beterbangan, gaun rumah sakitnya tipis melambai. Tangannya terbuka, seakan menyambut Elio di langit.

“Elio … mama akan pulang.”

Namun tepat ketika tubuhnya hendak melompat, sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Nadine terhuyung dan jatuh ke pelukan seseorang.

“Gila,” gumam suara berat seorang pria. “Kalau mau mati, cari tempat lain. Jangan di sini. Aku tidak punya waktu menjelaskan pada polisi kenapa wanita setengah hidup ada di tanganku.”

Nadine terbelalak. Pria itu berdiri dengan kemeja lusuh, mata cokelatnya tajam, penuh luka, namun tak ada sedikit pun iba dalam sorotnya.

“Apa hidupmu semenyedihkan itu?” tanyanya.

Nadine tak bisa menjawab. Hanya air mata yang mengalir dan kepala yang tertunduk.

“Baiklah,” ucap pria itu sambil membalik badan. “Kalau kamu masih ingin mati besok malam, aku akan menunggumu. Tapi untuk malam ini, ikut aku. Kita belum selesai membicarakan tentang hidup.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    TITIK TERANG

    Beberapa Jam Kemudian – Di Gudang KosongUdara di dalam gudang tua itu terasa lembap dan dingin. Bau besi karat, oli, dan debu memenuhi hidung. Di tengah ruangan, Nadine duduk di kursi besi, tangannya terikat di belakang. Di depannya ada seorang wanita berambut pirang dan berkacamata hitam. Ia bukan orang asing.Raline.“Apa kabar, Nadine?” tanya Raline dengan senyum sinis. “Kamu terlalu banyak berharap dari posisi yang hanya bersifat kontrak. Kamu pikir kamu siapa? Hanya pendonor. Hanya proyek sosial.”“Proyek?” Suara Nadine serak.“Iya, dong! Emang kamu, kasih ASI gratisan? Selama ini Rayhan membayar mahal setiap tetes susu yang dinikmati anaknya, di luar biaya pelunasan pengobatan kamu.” “Kau ?! Manusia macam apa kamu …?”Raline mendekat, menepuk pipinya pelan. “Aku wanita yang tahu apa yang pantas dimiliki. Dan kamu ... sayangnya bukan bagian dari dunia kami.”Kemudian Raline menyodorkan sebuah laptop. Pada layar tertera aplikasi email.“Buat surat pengunduran diri! Ketik dan kir

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    KECURIGAAN RAYHAN

    Rayhan mengatupkan rahangnya. Ia menutup laptop dengan kasar, lalu bangkit berdiri."Ke mana kamu pergi, Nadine?” gumamnya penuh frustrasi.Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerja seperti orang panik. Tak ada satu pun pesan Nadine masuk ke ponselnya. Ia mencoba menelepon, tetapi nadanya langsung tidak aktif. Bahkan kontak WhatsApp-nya pun hilang—diblokir.“Pak?” Suara Santi, sekretaris pribadi Rayhan, muncul dari balik pintu. “Semua barang Bu Nadine sudah benar-benar diambil. Rumah dinas juga sudah dikembalikan kuncinya pagi tadi.”Rayhan hanya mengangguk pelan. Ia tak sanggup menjawab.Ketika Santi keluar, Rayhan berjalan menuju kamar bayi. Arsa sedang tertidur lelap di dalam boksnya. Pria itu duduk di kursi goyang di samping anak itu, memandangi wajah mungil yang tak tahu apa-apa.“Maafin Papa, Nak,” bisiknya lirih. “Mama Nadine sudah pergi.”Tangannya mengusap lembut kepala Arsa yang penuh rambut halus. Ingatannya kembali ke malam terakhir, ke aroma tubuh Nadine, ke bisikan-bisika

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    HABISKAN MALAM

    Sebelum pintu kamar tertutup rapat, Nadine yang baru datang, buru-buru masuk. Rayhan tersenyum melihat kehadirannya. Ia menarik tangan wanita itu dengan kasar. Gerakan spontan itu membuat tubuh mereka bersamaan terempas ke atas ranjang empuk hotel bintang lima ini.Nadine meringis sejenak, bukan karena sakit semata, tetapi karena kejutan atas betapa buasnya sisi Rayhan yang baru saja dilihatnya.“Enggak bisakah kau sedikit lebih lembut?” bisik Nadine, setengah protes. Sisi kelakian Rayhan semakin tertantang karenanya.Rahyan tak menjawab. Tatapannya yang gelap penuh nafsu seakan-akan menelan semua protes dari Nadine. Tubuh Nadine dibalik dengan mudah, seolah-olah wanita itu tak lebih dari boneka di tangannya. Helaan napas Nadine tercekat ketika Rayhan membuka pahanya, memperjelas jarak di antara mereka yang semakin menguap—tak ada lagi ruang bagi logika, hanya letupan yang semakin membakar.Rayhan membungkuk, mencengkeram pinggang Nadine dengan kuat. Mata pria itu menatap wanitanya da

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    SAAT BERSAMA

    Sore itu, setelah memastikan baby sitter pergi, Nadine berdiri di balik jendela sambil menatap wanita yang masih mondar-mandir di gerbang paviliun. Meski penampilannya lebih glamor dari terakhir kali mereka bertemu, Nadine sangat mengenali wanita itu—Raline.Matanya membulat penuh emosi. Wajah yang sama yang pernah merenggut suaminya, yang bahkan berkonspirasi dalam kematian Elio. Nadine menutup tirai perlahan, berusaha mengatur napas yang mulai memburu.Ponselnya bergetar. Panggilan dari Rayhan.“Sayang, aku baru selesai rapat. Mau kutemani pemeriksaan Arsa di rumah sakit?” tanya Rayhan.Nadine menjawab dengan nada datar, “Nggak usah, Arsa lagi tidur. Aku ada hal penting yang harus kubereskan di rumah. Nanti aku kabari.”“Ada masalah?” Rayhan bertanya pelan, tanggap pada nada Nadine.“Belum tentu … tapi kemungkinan iya.”Selesai menutup telepon, Nadine langsung menghubungi security paviliun.“Pak, minta tolong. Jangan sampai perempuan di depan gerbang itu masuk! Saya tidak izinkan di

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    RALINE SAKIT

    “Ini cukup untuk memutarbalikkan kenyataan,” gumamnya sambil tersenyum sinis.Tak lama, ponselnya berdering. Tampak Leonardo sedang menghubunginya.“Sudah siap untuk konferensi pers?” tanya suara di seberang.Raline mengangguk, meski ia tahu Leonardo tak melihat itu. “Setelah ini, Nadine akan terlihat seperti wanita yang menjebak dua pria demi harta. Kita hanya perlu satu ledakan terakhir.” Leonardo tertawa pelan. “Dan saat ledakan itu terjadi, tak ada yang bisa menyelamatkannya. Apalagi ketika polisi menemukan ‘barang bukti’ di tempatnya.” **Sejak Rayhan merasa keselamatan Nadine dan Arsa terancam, ia mengajak mereka pindah ke rumah mewahnya. Keamanan mereka lebih terjamin di rumah pribadi dengan pengawasan ekstra.Nadine baru akan menyusui Arsa, ketika terdengar suara mobil berhenti di luar pagar. Interkom dari pos jaga menghubunginya."Ada kurir mencari Anda, Nyonya."Nadine segera menatap layar pengawas. Seorang kurir berdiri di depan gerbang."Amati dia! Benar kurir atau bukan

  • DONATUR ASI JADI CINTA CEO    KELUARGA TOXIC

    Rayhan menerima kiriman email dari pengirim anonim. Kali ini, bukan dokumen medis—melainkan sebuah rekaman CCTV buram, dari lorong hotel di malam yang sama yang diceritakan Nadine.Dalam rekaman itu, terlihat Arvan yang setengah mabuk berjalan sempoyongan ke sebuah kamar hotel. Tak lama, seorang wanita muncul—bergaun gelap, membawa gelas minuman. Wajahnya hanya terlihat sebagian, tetapi Rayhan mengenali gaya berjalan dan siluet rambutnya, Raline.Ia menonton video itu dengan pandangan tajam. Kemudian di video kedua, yang membuat kedua matanya hampir terlepas, tampak seorang wanita dengan penampilan berantakan keluar dari kamar yang dimasuki oleh Arvan semalam.Detik demi detik terasa menusuk hati Rayhan. Tidak hanya karena kemungkinan jebakan itu nyata—tetapi juga karena bagaimana kehidupan Nadine telah dihancurkan oleh orang yang mengaku “keluarga”.***Beberapa Hari KemudianDi ruang kerjanya, Rayhan menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Video dari email anonim itu terus ber

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status