“Minum dulu, Ay. Ini aku yang sendiri yang bikin. Makanya tadi agak lama di belakang. Setelah ini kuantar pulang ke rumahmu.”“Aku mau ke butikku aja, Van.”“Kamu harus istirahat kalau ingin kakimu cepat pulih kembali, Aya.”Aduh, mengapa justru pria ini yang perhatian padaku? Aku yakin jika itu Mas Adam, dia akan membiarkanku tetap ke butik tanpa memintaku untuk beristirahat. Ah, ada apa denganku? Kenapa aku justru membandingkan suamiku dengan Ivan? Tapi perhatian kecil seperti itu memang hampir tak pernah kudapatkan dari Mas Adam.Diam-diam aku mencuri pandang pada pria di hadapanku ini ketika ia sedang berkonsentrasi menelepon, sepertinya ia sedang berbicara pada karyawannya sebab kudengar ia memberikan beberapa instruksi. Ivan Nicholas, itu nama lengkapnya. Aku sendiri sama sekali tak mengingatnya, namun saat bertemu Imelda di tempat ini tempo hari. Aku mendengar gadis itu mengeja nama lengkap Ivan. Buru-buru kutundukkan pandanganku saat tatapanku dengannya bertemu setelah dia me
“Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.”Sekali lagi aku mengangguk. Entah kenapa pria yang hanya kubiarkan duduk di kursi teras itu membuatku terus menerus mengangguk, menyetujui semua ucapannya.“Aku pulang, Aya.”Ia melangkah ke arah pagar menuju mobil sport merah yang sudah terparkir di depan rumahku. Ivan tadi memang menelepon seseorang untuk menjemputnya di alamat rumahku. Ia hapal alamat rumahku, tapi aku enggan bertanya dari mana ia mengetahui alamat kami. Mungkin dari Mas Adam, karena mereka berteman, pikirku.“Van,” panggilku. Ia menoleh.“Hati-hati di jalan.”Ia tersenyum, lalu mengangguk. Aku masih memandangi punggungnya hingga pria itu masuk ke dalam mobilnya.🌹🌹🌹Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.Kata-kata Ivan tadi membuatku malam ini meraih ponselku, berniat
[Bisa enggak sih sekali saja kasih perhatian. Aku istrimu, Mas. Kenapa selalu seperti ini caranya ngomong denganku? Selalu ketus dan nyakitin hati. Nggak hanya dengan lisan, tapi lewat chat pun aku masih harus menerima kalimat-kalimat seperti itu dari suamiku sendiri. Kalau sudah nggak suka bilang, Mas. Aku bisa pergi jika memang tak dibutuhkan lagi.]Entah dari mana datangnya keberanianku mengirim pesan seperti itu padanya. Padahal selama tiga tahun ini aku tak pernah protes seperti itu padanya, hanya di awal-awal pernikahan kami dulu aku pernah memprotesnya, namun akhirnya aku menjadi capek sendiri karena ia tak pernah menggubrisku dan tak juga berubah, maka semua itu akhirnya menjadi kebiasaan bagiku. Kebiasaan yang sangat buruk, yang berhasil mengubahku menjadi wanita yang tidak percaya diri, bahkan cenderung menutup diri.Tapi kenapa baru sekarang aku kembali mempertanyakan sikapnya ini? Apakah karena ucapan Ivan kemarin? Jangan sedih terus. Kamu berhak bahagia. Aku suka Cahaya
Banyak sekali notifkasi yang masuk saat aku mengaktifkan ponselku. Padahal tidak biasanya ponselku seramai ini. Setiap harinya paling hanya grup butikku yang terlihat aktif mengirim info-info butik padaku. ku-scroll layar ponselku dan membaca satu persatu pesan yang masuk.[Kamu kenapa, Aya? Ngirim pesan nggak jelas gitu. Bukannya tadi kakimu yang cidera, kenapa jadi otakmu yang eror?]Balasan pesan dari Mas Adam menanggapi pesan terakhirku sebelum ponsel kumatikan. Aku mendengkus kasar.Lalu kemudian beberapa pesan dari Mama Indah menanyakan kabarku dan mengatakan akan mampir pagi ini. Seperti yang dikatakannya tadi, mama juga menjelaskan kalau Mas Adam meneleponnya dan mengabari jika kakiku sedang cidera.[Kak Aya, kakinya gimana? Udah baikan? Tadi Mas Adam telepon suruh Candra lihatin Kak Aya, tapi sudah kemalaman. InsyaAllah besok pagi Candra mampir ke rumah Kakak. Candra sengaja nggak bilang Ibu, takut ibu khawatir.]Pesan dari Candra, adikku. Rupanya Mas Adam juga meneleponnya s
Hari-hariku hanya kuhabiskan dengan menonton film, lalu kemudian membuka layar ponsel. Padahal sebelumnya aku bukanlah tipe orang yang selalu memegang ponsel. Lalu kenapa beberapa hari ini benda pipih itu tak pernah jauh dariku? Bahkan kadang dalam keadaan tidur pun aku masih memegang benda itu. Apa sebenarnya yang sedang kutunggu. Pesan dari suamiku? Tidak. Mas Adam tak pernah menghubungiku ketika sedang di luar kota, meski hanya untuk menanyakan kabarku.Dan jantungku berdetak tak karuan ketika menyadari bahwa beberapa hari ini aku sedang menunggu pesan darinya. Dari seseorang yang baru beberapa hari yang lalu nomornya kusimpan di kontak ponselku dengan nama IN. Namun ternyata Ivan tak pernah mengirim pesan lagi. Bahkan pesan tarakhirku waktu itu hanya dibacanya, tapi tak berbalas. Maka beberapa hari ini aku hanya membuka chat terakhirku dengannya lalu membacanya kembali berulang-ulang sambil berharap ia membalas pesanku atau mengirim pesan padaku.Hingga akhirnya di hari ketiga ini
“Jangan nolak. Kamu juga lagi kepalaran tuh. Ganti baju sana, kita nyari makan. Oiya, pakai bajunya yang sopan ya, jangan yang tipis seperti itu,” ucapnya sambil membalikkan badannya membelakangiku.Aku terkejut menatap diriku sendiri.Brukk!! Spontan aku menutup pintu dengan kasar ketika menyadari bagaimana penampilanku saat ini. Arrgghh! Bisa-bisanya aku mengobrol dengannya dengan balutan piyama berbahan tipis seperti ini. Buru-buru aku berlari menuju kamarku lalu mengganti pakaianku dan mengurai kembali rambutku. Kuhela napas panjang sebelum kembali membuka pintu, semoga pria itu tak lagi membahas penampilan memalukanku tadi.Ivan masih berdiri menghadap ke taman kecil di depan rumah, membelakangi pintu.“Sudah bener belum bajunya?” tanyanya masih memunggungiku.Plakk!! Kuayunkan tas tanganku memukul punggungnya. Ia terkekeh, kemudian membalikkan tubuhnya.“Nah ini baru bener.”“Jangan dibahas!”“Oke oke. Jadi kita makan di mana?”“Terserah kamu, asal jangan jauh-jauh dari sini bi
Pagi ini aku kembali aktif di butik setelah beberapa hari hanya memantau lewat chat di grup WA yang beranggotakan karyawan butik Ayya. Iin langsung menyapaku dengan ekspresi senangnya saat aku membuka depan butik yang terbuat dari kaca.“Sepi banget butik beberapa hari ini, Mbak.”“Enggak apa, In. Rejeki kan sudah ada yang atur. Nanti kita coba promosi lebih giat lagi,” ucapku menanggapi.“Bukan itu, Mbak. Kalau pelanggan ini alhamdulillah ramai. Laporannya juga sudah saya kirim di grup WA kan? Bahkan etalase sebelah sana hanya sudah nyaris kosong, hanya tinggal terisi beberapa koleksi aja.”“Alhamdulillah kalau begitu, In. Lah, terus maksud kamu tadi apa?”“Maksud saya beberapa hari ini butik terasa sepi enggak ada Mbak Aya.”Aku tertawa.“Oiya, Mbak. Kemarin ada tamu yang antarin undangan. Saya letakkan di atas meja Mbak Aya.”“Tamu? Siapa In? Undangan apa?”“Katanya teman Mbak Aya. Orangnya cantik banget kayak artis. Kalau nggak salah namanya Bella.”Bella? Aku menautkan alis. Meng
“Kenapa ke sini? Tau dari mana alamat butikku?” tanyaku gugup. Tak percaya pria yang tadi hanya ada di lamunanku kini sedang berdiri di hadapanku.“Tadi nanya sama Adam alamat butikmu.”“Hahhh???” pekikku.“Kamu kenapa, Ay? Ngagetin aja!”“Minta alamat butikku sama Mas Adam? Untuk alasan apa? Terus dia bilang apa?”“Untuk alasan mau ngajak kamu makan siang dan Adam tak nanya apapun lagi.”“Hahh? Kamu udah gila?”Ia tergelak.“Kenapa sepanik itu sih, Ay?”“Aku serius, Van.” Mataku mulai berembun. Aku sendiri tak mengerti kenapa mataku jadi berkabut.“Eh, kok nangis, Ay. Aku bercanda tadi. Iya aku nanya Adam alamat butikmu, tadi alasannya aku mau nengok kamu dan nanyain keadaan kakimu. Maaf, Aya. Jangan nangis.” Ia terlihat panik.Tatapan Iin dan karyawanku yang lain membuatku merasa tak nyaman sekaligus merasa malu. Bisa-bisanya aku menangis seperti ini untuk sesuatu yang tak jelas, bahkan aku sendiri tak tau kenapa aku rasanya ingin menangis. Sehingga aku menurut saja ketika Ivan meng