Pagi ini aku memilih memesan taksi online untuk pulang ke rumah, setelah semalaman ‘terjebak’ di House of Coffee bersama pemiliknya. Hanya berdua.“Kalau Adam marah, usahakan calm down. Tak akan ada habisnya jika kamu juga membalasnya dengan kemarahan,” ucapnya saat aku tengah menunggu taksi.Kuhela napasku kasar. Bukannya seharusnya aku yang marah? Aku membayangkan Mas Adam yang memilih mengajak Nindya padahal ia sendiri melarangku dengan kerasa datang memenuhi undangan Bella.“Hati-hati,” katanya saat taksi yang kupesan datang.“Aku ikutin taksinya dari belakang.”Aku menoleh. “Kenapa ngikutin, Van? Nggak perlu.”“Karena aku peduli.”Lalu dia meninggalkanku, berjalan menuju mobilnya, sementara aku masih menatapnya takjub.Karena aku peduli.Aku menoleh berkali-kali ke arah belakang saat taksi memasuki perumahanku. Tak terlihat lagi mobil Ivan di belakang pdahal sepanjang jalan tadi mobil sport merah itu terus mengiringi taksi yang kutumpangi di belakang. Mungkin dia sudah pulang ka
Masih dengan tangan gemetar aku menyuguhkan minuman pada kedua pria yang tampak sedang berdiskusi serius ini. Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang mereka bahas karena pikiranku tak bisa fokus. Kemunculan Ivan pagi ini membuat otakku tak bisa berpikir secara normal. Sialnya lagi, saat aku mendongakkan wajahku setelah meletakkan minuman dan beberapa cemilan di meja, mataku justru bersitatap dengan matanya. Sementara Mas Adam terlihat lagi serius mencoret-coret sesuatu di sebuah kertas. Ivan tersenyum. Oh God! Entah mengapa aku dengan lancang menyimpulkan sendiri jika pria ini datang bukan untuk mengobrol atau pun ada urusan penting dengan suamiku. Tapi otakku menggiring opini sendiri. Dia datang untuk menemuiku.“Terima kasih, Aya,” ucapnya lembut, masih dengan senyuman khas nya.“Silakan,” ucapku gugup, mempersilakannya minum.Aku buru-buru hendak melangkah kembali ke dapur saat pria itu justru memanggilku.“Aya.”Aku menoleh, kali ini kedua pria itu sedang menatap padaku. Jan
[Sengaja bersembunyi?]Pesan dari Ivan beberapa menit yang lalu. Aku memang langsung mandi setelah masuk ke dalam kamar tadi, sehingga baru membaca pesannya setelah selesai mandi. Tak perlu membalas pesannya, karena kurasa ini sudah terlalu jauh. Bahkan sudah cenderung mengarah pada hubungan yang semakin ‘tak biasa’.[Aku bisa pulang sekarang juga, Ay. Tapi juga bisa berada di rumahmu seharian. Tergantung kamu maunya yang mana.][Aku akan tinggal lebih lama jika kamu tak membalas pesanku.]Aku menelan ludah dengan susah payah.Jangankan membalas pesan, aku bahkan ingin menggantikan posisi Mas Adam menemanimu mengobrol. Suara-suara dari dalam hatiku mengganggu akal sehatku. Kuketuk-ketuk keningku sendiri, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran yang menganggu.[Ngapain ke sini? Aku tau reuni tim bakset hanya alasanmu saja.] Balasku.[Ternyata kamu pintar, Ay. Bisa menebaknya dengan tepat.]Ternyata kamu pintar.Sangat berlawanan dengan kalimat yang selalu kudengar dari suamiku.Kamu itu
“Ah, Tante bisa aja,” jawab Ivan.“Mama nggak usah ngenalin Ivan ke Aya, Ma. Mereka udah kenal, kok. Dulu pernah satu kampus dan satu jurusan, sebelum Aya milih jurusan lain.” Ada nada sinis dalam ucapan Mas Adam, dan aku sudah paham maksudnya.Ivan berpamitan, pada Mas Adam, pada mama dan terakhir padaku. Dan aku bisa membaca komunikasi non verbal dari tatapannya yang seolah berkata, aku pulang, kamu baik-baik, ya.Kupandangi punggung pria tinggi atletis itu, yang kembali menoleh saat mama tiba-tiba bertanya padaku.“Kata Adam tadi malam kamu nginap di rumah teman, Nak. Teman yang mana?”Aku terdiam sesaat. Antara memikirkan jawaban atas pertanyaan mama dan menghindar dari lirikan pria yang kembali menoleh itu.“Ehm, i-iya, Ma. Semalam Aya nginap di rumah teman.”Teman, dia memang hanya teman.🍁🍁🍁“Kenapa kemarin WA ke Nindya, bukan langsung nanya ke aku?”Aku dan Mas Adam tengah duduk di ruang TV. Mama sendiri belum pulang dan sedang beristirahat di kamar tamu.“Nindya laporan sa
“Terus kenapa harus ngajak orang lain bukan dengan Aya?”Aku menajamkan pendengaranku ingin mendengar jawabannya. Beruntung pertanyaan ini ditanyakan oleh mama, bukan olehku.“Bella nggak akan terpengaruh kalau Adam ajak Aya, Ma.”“Maksud kamu?”“Aya bukan tandingan Bella, Ma. Nindya lebih cocok untuk membuatnya tau kalau Adam juga sudah membuangnya dari hidup Adam.”“Ya ampun, Adam! Kamu ajak Nindya hanya untuk manas-manasin Bella? Kalau niatmu seperti itu bagaimana mungkin kamu bisa bilang kalau sudah membuang Bella dari hatimu? Kenapa pikiranmu sebodoh ini, Dam?”Pria itu berdiri, memandang mama dengan ekspresi kesal, lalu menatapku sesaat.“Sudahlah! Mama nggak pernah tau rasa sakit hati Adam pada Bella. Dia ninggalin aku di saat aku hampir saja mewujudkan semua mimpi-mimpiku. Sekarang dia kembali datang disaat aku sudah hampir mati rasa karenanya. Dan mama tau apa yang dikatakannya? Bella bilang dia menyesal dan nggak bisa melupakanku, lalu menawarkan menyambung kembali hubungan
Hari senin pagi. Aku menjalani pagi seperti biasa, menyiapkan sarapan pagi dan perlengkapan kerja Mas Adam. Setelah berdebat di depan mama Indah kemarin, tadi malam pria yang telah tiga tahun bersamaku itu hanya mengatakan satu kata.Kemarin setelah mama pulang, aku lebih memilih berkebun, merapikan rumput-rumput dan bunga-bunga mawar di taman kecil di depan rumah. Sedangkan Mas Adam masih berada di kamar, tidak keluar dari sana bahkan tak juga kunjung keluar saat aku memanggilnya untuk makan malam. Lalu saat aku masuk ke dalam kamar, kulihat pria itu terlihat serius dengan laptonya. Maka aku tak menyapanya dan memilih langsung tidur memunggunginya yang masih duduk bersandar pada headboard tempat tidur dengan laptop di pangkuannya, kuselimuti tubuhku hingga ke dada karena sepertinya Mas Adam meyetel AC dengan suhu rendah.Lalu saat aku sudah mulai terbuai masuk ke dalam mimpi. Kurasakan gerakan pria itu di belakangku merebahkan tubuhnya. Sesaat kemudian, sebuah lengan kokoh memeluk pi
Bagaimana mungkin surgaku berada pada pria yang setiap hari hanya memberi rasa sakit hati padaku?Tapi hari ini, dengan satu kata “maaf” dengan nada yang sangat dalam semalam, lalu dengan telapak tangan lebar yang tadi menyentuh rambutku. Aku merasa ingin menjadikannya surgaku. Mungkin benar kata mama, aku harus lebih sabar lagi.Suara bell dari arah depan membuatku berlari kecil ke arah pintu, karena aku pun sudah bersiap untuk berangkat ke butik.“Nindya?” Wanita muda itu berdiri di sana.“Maaf, Aya. Seharusnya aku datang menemuimu kemarin sesuai janjiku waktu itu. Tapi kemarin hari minggu, dan aku yakin Pak Adam ada di rumah. Maka aku memutuskan datang hari ini untuk memenuhi janjiku. Aku tau jam segini Pak Adam pasti sudah di kantor.”Aku menghela napas. Waktu itu Nindya memang mengatakan akan menemuiku, ketika aku mengirim pesan padanya menanyakan kehadirannya dengan Mas Adam di acara Bella. Namun sejujurnya aku sudah tak berharap dia datang menemuiku. Toh, Nindya juga sudah meng
“Kamu benar, Aya. Tak ada yang bisa mengatur perasaan orang lain. Kita hanya bisa menahannya, meski rasa itu tetap saja ada dan bahkan makin bertumbuh.”Aku mengeryitkan keningku. Kurasa kalimat Nindya barusan menyiratkan sesuatu.“Apa kamu juga menyukai Mas Adam?”Kulihat Nindya terkejut, menatapku sesaat sebelum segera memalingkan wajahnya sambil menelan ludahnya. Dari gerakan salah tingkahnya, aku sudah bisa menebak apa jawaban dari pertanyaanku tadi.“Tak perlu menjawabnya, Nindya. Aku bisa membaca itu dari matamu.”Ia menatapku.“Maafkan aku, Aya. Intensitas pertemuan kami dan ungkapan perasaan Pak Adam berkali-kali padaku membuat perasaan itu tumbuh begitu saja. Entah sejak kapan aku mulai menyadari bahwa aku juga ... punya ... perasaan yang sama.” Kalimatnya terputus-putus.“Tapi aku menyadari jika perasaanku itu tak seharusnya tumbuh. Kamu jangan khawatir, aku bukan tipe wanita yang mau jadi orang ketiga. Aku bisa bertahan dan aku akan bertahan,” lanjutnya.Kami saling menatap.