Share

Bab 5

Kutatap wajahku dari pantulan cermin di toilet lalu mencoba menghapus sisa-sisa tangis di sana. Kata-kata yang dilontarkan Mas Adam barusan pada rekannya membuatku segera menjauh dari sana sebelum bulir-bulir bening itu menghambur keluar dari mataku. Aku memang sudah terbiasa dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut suamiku, tapi terasa sangat menyakitkan ketika ia melontarkan kalimat-kalimat meyudutkan itu di hadapan orang lain. Terus terang saja aku malu pada Ivan, pria pemilik kafe yang mengundang kami ke acara ini. Pria yang tadi mengatakan bahwa ia adalah penggemarku saat kuliah dulu. Kini di hadapannya, pria yang berstatus sebagai suamiku justru merendahkanku dengan mengatakan tak ada yang bisa dibanggakan dariku.

“Kamu nggak apa-apa?”

Aku terkejut saat mendapati Ivan tengah berdiri di depan pintu toilet saat aku keluar dari sana.

Aku hanya menggeleng. Ia menahan langkahku.

“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”

“Tolong menyingkirlah, jangan campuri urusanku! Aku tak mengenalmu, jadi jangan bertanya yang nggak-nggak.”

“Cahaya ....”

Aku tak menggubrisnya, meski sebenarnya aku merasa sangat malu padanya. Ia pasti mendengar kata-kata hinaan Mas Adam padaku tadi.

‘Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.’

Kata-kata itu masih saja terngiang di telingaku, hingga akhirnya aku kembali duduk mematung di samping Mas Adam. Tak lama kemudian Ivan pun juga kembali duduk dan bergabung di meja kami. Mas Adam mengenalkanku pada rekannya yang ternyata bernama Supri.

“J-jadi ini istri lo?” Supri tergagap, mungkin ia tadi melihatku di belakang Mas Adam.

“Iya. Perkenalkan saya Cahaya, istri Mas Adam,” sapaku hangat.

Hanya sampai di situ, sisanya aku hanya terdiam sambil sesekali membuka media sosial di ponselku ketika mereka kembali mengobrol dan membahas hal-hal ringan khas pria. Satu hal yang kusadari, Ivan terus menerus menatap tajam padaku di sela-sela obrolan mereka. Sesekali pula ia meninggalkan meja ketika menyapa tamunya yang lain, lalu kemudian kembali duduk di tepat hadapanku yang memilih duduk di samping Mas Adam.

“Terima kasih atas undangannya, Bro. Semoga tambah sukses dan ditunggu undangan-undangan selanjutnya,” ucap Mas Adam pada Ivan saat kami berpamitan untuk pulang.

Sedangkan aku sendiri tak lagi bersuara semenjak keluar dari toilet tadi. Aku hanya mengangguk sopan tanpa bersuara ketika menyalami Ivan saat berpamitan namun aku bisa merasakan pria itu mempererat genggamannya saat kami bersalaman.

***

Hening menguasai saat aku dan Mas Adam sudah berada di dalam mobilnya. Aku masih menyimpan perasaan tak nyaman mendengar ucapan Mas Adam tentangku di hadapan teman-temannya tadi.

‘Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.’

Aku melirik pria yang terlihat sedang serius menyetir itu. Ekspresinya biasa saja, karena ia memang tak merasa baru saja menorehkan sayatan luka di hatiku. Ya, Mas Adam pasti merasa biasa saja karena memang hampir setiap hari ia selalu mengucapkan kata-kata yang tak nyaman padaku. Lisan pria itu benar-benar sudah terbiasa seperti itu sehingga ia tak lagi merasa bersalah. Akupun sebenarnya sudah kebal pada kalimat-kalimat sarkasnya, namun mendengar hinaannya di hadapan rekannya tadi membuatku merasa sakit.

“Mas.”

“Hm.”

“Kenapa dulu Mas mau nikahin aku?”

Bersambung.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Agus Sawal Armin
lanjuttttt lg seru
goodnovel comment avatar
May Uminya Afaz
emg bisa ya? menunggu hari berikurnya
goodnovel comment avatar
Yeni Asih
sll mnunggu hari berikutnya krn trhambat koin yg sdah habis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status