Hatiku menghangat mengenang masa-masa indah sebelum akhirnya semua berubah ketika aku harus mengambil keputusan terberat pada saat itu, yaitu berhenti kuliah. Saat itu, ayahku yang seorang pegawai negeri pangkat rendah meninggal karena serangan jantung, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang akhirnya hanya mengandalkan gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Sementara aku masih punya tiga orang adik yang masing-masing masih membutuhkan biaya. Hingga akhirnya aku mengalah, lalu berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan demi membantu ekonomi keluarga.
“Aku dulu penggemar rahasiamu, Ay.” Ivan membuyarkan lamunanku.
“Itu aku yang dulu. Cahaya yang sekarang sudah jauh berbeda,” gumamku.
Ivan tak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke dalam kafenya saat seorang karyawannya memanggil.
Aku pun meneruskan lamunanku mengenang masa-masa indahku selama setahun menjadi mahasisiwi. Hendra, sang ketua BEM yang saat itu menjadi kekasihku merasa kecewa ketika aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Namun aku sudah memantapkan hatiku. Aku anak sulung, dan aku yang harus bertanggung jawab membantu ibuku mencari nafkah setelah kepergian ayah.
Hubunganku dengan Hendra masih berjalan setelah aku tak lagi kuliah di kampus yang sama, ia bahkan menemaniku mencari pekerjaan dengan modal ijazah SMA ku waktu itu. Hingga kemudian aku memperoleh pekerjaan di sebuah butik milik salah satu teman ibunya. Itu pun dengan rekomendasi dari ibu Hendra. Namun ternyata hubungan kami semakin hari semakin renggang seiring dengan kesibukanku bekerja di butik dan kesibukannya sebagai aktivis kampus. Jarang bertemu dan jarang berkomunikasi membuat hubungan kami berada pada titik terendah, hingga akhirnya aku mendengar kabar jika Hendra sering jalan dengan Paula, salah satu aktivis juga di kampus.
Lalu hubungan kami pun benar-benar berakhir ketika aku menanyakan mengenai kabar hubungannya dengan Paula dan Hendra mengakui jika ia sudah jadian dengan Paula. Aku pun memilih mundur dan berkonsentrasi pada pekerjaanku.
Hingga di tahun ketiga setelah aku berhenti kuliah, suatu hari di rumah kami kedatangan tamu yang mengaku adalah sahabat ayahku dulu, ibuku pun mengenalnya. Pak Lukman, sahabat ayah semasa sekolah dulu rupanya baru mengetahui jika ayahku sudah meninggal. Beliau lalu mengucapkan bela sungkawa atas kepergian ayahku, bahkan menitikkan air mata ketika mengenang persahabatan mereka dulu. Dua bulan setelah kedatangan Pak Lukman waktu itu, tiba-tiba saja sahabat ayah itu kembali datang ke rumah, kali ini dengan niat yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya. Pak Lukman meminangku untuk dinikahkan dengan anak tunggalnya.
Aku tak tau bagaimana prosesnya hingga akhirnya ibuku menyetujui dan membujukku untuk menerima pinangan Pak Lukman waktu itu. Padahal aku sama sekali belum pernah bertemu dengan putra tunggal beliau yang kabarnya saat itu sudah lulus S2 dan menjabat kepala divisi perencanaan di salah satu perusahaan tambang milik salah satu pejabat terkemuka di negara ini yang berkantor pusat di jakarta. Melihat ibuku yang antusias saat membicarakan tawaran Pak Lukman, aku pun menerima lamaran beliau. Niatku hanya satu, ingin mengurangi beban ibu.
“Nanti Bapak ajak Adam ke sini, ya. Kalian boleh pengenalan dulu, Bapak yakin kalian pasti cocok,” ucap Pak Lukman kala itu.
Aku hanya mengangguk. Anggukan yang kemudian menghantarkan seorang Cahaya Kirana menjadi istri dari Adam Haidar hingga saat ini. Menjadi istri yang setiap hari harus mendapatkan kalimat-kalimat tak lazim dari seorang suami pada istrinya. Aku sendiri bingung, kenapa Mas Adam waktu itu menerima saja ketika ayahnya menjodohkannya denganku, padahal seharusnya dia adalah pihak yang paling bisa menolak jika memang tak suka dengan perjodohan itu. Belakangan baru kuketahui jika saat itu ia sedang dalam kondisi patah hati karena ditinggal oleh tunangannya, maka tanpa pikir panjang Mas Adam menerima tawaran perjodohan dari ayahnya saat itu.
Ingatanku tentang Mas Adam membuatku kembali masuk ke dalam kafe. Di kursi tempatku duduk tadi sudah ada dua orang lainnya yang sedang mengobrol dengan Mas Adam, termasuk salah satunya Ivan. Perlahan aku melangkah ke arah meja di mana mereka sedang mengobrol santai.
“Jadi lu juga belum nikah, Pri?” tanya Mas Adam pada salah satu rekannya.
Lelaki di hadapan Mas Adam yang duduk bersebelahan dengan Ivan mengangguk.
“Cariin dong.”
“Saran gue jangan buru-buru deh, Pri. Puas-puasin aja dulu lu bebas dari ikatan yang bernama rumah tangga. Jangan sampai lu nyesal ntar kayak gue,” ucap Mas Adam yang posisinya sedang membelakangiku..
Deggg!
Jantungku berdetak cepat. Apa katanya tadi? Nyesal? Mataku mulai berkabut. Sementara Ivan menatapku tajam.
“Emang sekarang lu nyesal, Bro?” tanya pria di samping Ivan.
“Nyesal banget, banyak yang lebih menarik di luar sana. Sayangnya gue udah telanjur terikat pernikahan! Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.”
Netraku semakin memanas mendengar kalimat Mas Adam, bahkan kini dadaku pun terasa sesak.
🌸Bersambung🌸
Kutatap wajahku dari pantulan cermin di toilet lalu mencoba menghapus sisa-sisa tangis di sana. Kata-kata yang dilontarkan Mas Adam barusan pada rekannya membuatku segera menjauh dari sana sebelum bulir-bulir bening itu menghambur keluar dari mataku. Aku memang sudah terbiasa dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut suamiku, tapi terasa sangat menyakitkan ketika ia melontarkan kalimat-kalimat meyudutkan itu di hadapan orang lain. Terus terang saja aku malu pada Ivan, pria pemilik kafe yang mengundang kami ke acara ini. Pria yang tadi mengatakan bahwa ia adalah penggemarku saat kuliah dulu. Kini di hadapannya, pria yang berstatus sebagai suamiku justru merendahkanku dengan mengatakan tak ada yang bisa dibanggakan dariku.“Kamu nggak apa-apa?”Aku terkejut saat mendapati Ivan tengah berdiri di depan pintu toilet saat aku keluar dari sana.Aku hanya menggeleng. Ia menahan langkahku.“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”“Tolong menyingkirlah, j
“Kenapa dulu Mas mau nikahin aku?”Ia melirikku sesaat.“Pertanyaan apa itu, Ay. Kamu tau sendiri kan, aku menikahimu karena keinginan orang tuaku. Kalau disuruh memilih sih aku nggak akan mungkin mau menikahimu, kita bahkan tak pernah saling mengenal sebelumnya.”“Tapi kenapa Mas Adam waktu itu tak menolak saja?”“Kenapa nggak kamu aja yang menolak perjodohan waktu itu.”Ia mengembalikan ucapanku.“Cahaya pihak perempuan, Mas. Tidak terlalu banyak pertimbangan untuk menerima pinangan seseorang terlebih ketika orang tua Cahaya sudah merestui. Aya juga akan dianggap pembangkang jika menolak, belum lagi anggapan orang tua zaman dulu yang mengatakan jika pamali seorang gadis menolak pinangan lelaki jika tak ada alasan yang prinsip. Kesempatan menolak waktu itu harusnya lebih banyak di pihak Mas Adam.”“Kamu kenapa sih? Nyesal udah nikah sama aku?”“Bukannya Mas yang menyesal sudah menikahiku? Aku tadi dengar sendiri Mas ngomong gitu di depan teman-teman Mas Adam.”Ia tertawa sinis.“Oh,
Malam ini kuhabiskan dengan tidur memunggungi Mas Adam, aku masih sangat kesal dengan kejadian di coffeshop tadi. Sementara pria itu justru nampak biasa saja, ia juga tak berbicara lagi padaku setelah menghardik saat aku membanting pintu mobilnya tadi. Aku tau pria itu masih duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memperhatikan layar ponselnya. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Mas Adam sebelum tidur, entah dia sedang membaca artikel apa pada layar ponselnya atau sedang chatting dengan siapa, aku tak berani menanyakannya.Pikiranku justru melayang pada si pemilik coffeshop tadi, Ivan. Sejujurnya aku sedikit heran ketika ia tadi menyusul dan menungguku keluar dari toilet kafenya saat aku sedang menumpahkan tangisku di sana. “Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”Kenapa pria itu bertanya seperti itu padaku? Kenapa dia terlihat begitu peduli? Padahal ini adalah hari pertama pertemuan kami, setelah bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan ta
“Nah, kan. Baru juga malam pertama kamu sudah tulalit gini, bikin kesal aja. Kamu mau tidur di ranjang apa di sofa, silakan pilih!” Suaranya meninggi.“Kenapa harus memilih, Mas?” Aku masih tak mengerti."Apa kamu pikir kita akan tidur bareng? Yang benar aja aku tidur dengan cewek tulalit macam kamu! Ya udah kamu di ranjang sana, biar aku yang di sofa.”Pria itu langsung merebahkuan tubuhnya di sofa yang ada di dalam kamar. Sementara aku masih tertegun dengan semua kalimatnya barusan. Seperti ini kah pria yang baru saja menikahiku? Baru beberapa jam yang lalu aku menyandang status sebagai istrinya, tapi kini aku sudah mendengar kalimat hinaan darinya. Tulalit? Ia menyebutku gadis tulalit? Lalu kenapa ia menikahiku jika ia menganggapku tulalit? Ingin sekali kutanyakan padanya malam itu, tapi akhirnya aku memilih diam karena tubuhku pun sudah terlalu lelah setelah seharian berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari para undangan.Lalu hari-hari selanjutnya, bulan-bulan berikutnya
Pagi ini, setelah Mas Adam berangkat bekerja, aku pun mulai bersiap mengunjungi butik kecilku. Seperti inilah aktivitasku sehari-hari. Belum hadirnya anak dalam rumah tanggaku dengannya membuatku memilih menghabiskan hariku di butik yang kuberi nama “Ayya Boutique”. Aku sangat mencintai aktivitasku ini. Suatu kepuasan tersendiri bagiku jika pelanggan butikku merasa puas dengan penampilan mereka setelah mencoba beberapa fashoin koleksi butik. Beberapa produk butikku juga kurancang sendiri, karena memang dari remaja dulu aku suka sekali menggambar model-model baju yang ada dalam imajinasiku.Dulu, diawal membuka Ayya Boutique aku hanya bekerja sendiri, menjaga butik sendiri, merancang dan menggambar sendiri hingga akhirnya butikku mulai berkembang hingga kini aku sudah mempekerjakan dua orang karyawan perempuan dan satu karyawan laki-laki. Sebenarnya perkembangan butik ini sangat membanggakan bagiku, meskipun Mas Adam tak pernah mengakui itu dan selalu menghina butik sederhanaku ini.Na
Aku masih berkutat dengan pertanyaan seputar Bella ketika pintu depan butik dibuka dari luar. Lalu seorang gadis bertubuh tinggi semampai dengan rambut pirang sebahu memasuki butik. Aku terpesona oleh penampilan gadis itu, tanpa perlu bertanya lagi, aku sudah yakin jika gadis yang kini sedang terseyum ramah itu adalah Bella, mantan tunangan Mas Adam. Tiba-tiba saja aku merasa kerdil di hadapannya.Dengan berusaha menghilangkan rasa gugup, aku menyambut dan menyapanya. Baru kali ini aku menyesali kenapa Mama Indah datang di jam istrirahat seperti ini sehingga hanya aku sendirian yang menghadapi pelanggan kelas atas ini. Rasa gugupku seketika menguap ketika gadis cantik itu menyapaku dengan ramah, bahkan ketika aku masih terpaku mengagumi kecantikannya.“Hai, dengan Cahaya, ya. Kenali aku Bella,” ucapnya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.“Oh, hai Bella. Iya saya Cahaya. Terima kasih ya sudah mampir ke butik sederhana ini,” sambutku.“Boleh lihat koleksi gamisnya?” tanya gadis cant
“Ah, pokoknya jangan ngomong yang nggak-nggak. Jangan bikin aku malu di hadapannya dengan jawaban-jawaban murahanmu! Kamu nggak selevel dengan dia, Ay.”Klik. Aku memilih mengakhiri telpon. Kesal sekali rasanya mendengar kalimat Mas Adam. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja menelpon hanya untuk membandingkan aku dengan mantan tunangannya. Ponseku kembali berdering, kali ini Mas Adam mengirim pesan di applikasi hijau.[Kamu jadi istri bener-bener nggak punya sopan santun ya. Suami lagi ngomong, telponnya diputus. Awas saja kalau kamu malu-maluin aku di depan Bella. Dia bukan tandinganmu.] Isi pesan dari Mas Adam.Aku berdecak kesal.“Adam bilang apa, Nak? Maaf tadi Mama yang ngabarin kalau Bella sedang ada di butikmu.” Suara ibu mertuaku mengejutkanku.“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Mas Adam cuma memastikan aja.”“Ay.”“Iya, Ma.”“Mama dengar percakapan kalian tadi. Omongan suamimu jangan diambil hati ya, Nak. Mungkin Adam lagi gugup karena ini pertama kalinya Bella kembali ke Indones
Kuperintahkan pada Iin, karyawan butik yang lebih dulu kembali ke butik setelah jam istirahat untuk merapikan kembali beberapa koleksi butik yang masih tergeletak di sofa setelah dipilah pilih oleh Bella dan maminya tadi. Aku sendiri, entah mengapa ingin segera pulang setelah dongkol dengan isi percakapanku dengan Mas Adam tadi dan juga masih berpikir kenapa Bella memintaku untuk mempertemukannya dengan Mas Adam.“In, aku pulang duluan, ya,” pamitku pada karyawanku.“Tumben, Mbak. Biasanya juga betah berlama-lama di butik.”“Aku lagi pusing, In. Rasanya pengen refreshing.”“Mbak Aya udah makan?”Ah, iya. Aku sampai lupa kalau aku belum makan siang. Kedatangan mama dan temannya tadi membuatku melewatkan jam makan siangku. Akhirnya aku meminta Iin menemaniku mencari cemilan pengganti makan siangku.“Kamu ada rekomendasi kafe yang asik nggak In. Yang bisa untuk tempat nongkrong sekaligus pesan cemilan untuk ngisi perut,” tanyaku setelah beberapa saat melajukan mobilku di jalan raya.“Hmm