Share

Bab 4

Hatiku menghangat mengenang masa-masa indah sebelum akhirnya semua berubah ketika aku harus mengambil keputusan terberat pada saat itu, yaitu berhenti kuliah. Saat itu, ayahku yang seorang pegawai negeri pangkat rendah meninggal karena serangan jantung, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang akhirnya hanya mengandalkan gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Sementara aku masih punya tiga orang adik yang masing-masing masih membutuhkan biaya. Hingga akhirnya aku mengalah, lalu berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan demi membantu ekonomi keluarga.

“Aku dulu penggemar rahasiamu, Ay.” Ivan membuyarkan lamunanku.

“Itu aku yang dulu. Cahaya yang sekarang sudah jauh berbeda,” gumamku.

Ivan tak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke dalam kafenya saat seorang karyawannya memanggil.

Aku pun meneruskan lamunanku mengenang masa-masa indahku selama setahun menjadi mahasisiwi. Hendra, sang ketua BEM yang saat itu menjadi kekasihku merasa kecewa ketika aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Namun aku sudah memantapkan hatiku. Aku anak sulung, dan aku yang harus bertanggung jawab membantu ibuku mencari nafkah setelah kepergian ayah.

Hubunganku dengan Hendra masih berjalan setelah aku tak lagi kuliah di kampus yang sama, ia bahkan menemaniku mencari pekerjaan dengan modal ijazah SMA ku waktu itu. Hingga kemudian aku memperoleh pekerjaan di sebuah butik milik salah satu teman ibunya. Itu pun dengan rekomendasi dari ibu Hendra. Namun ternyata hubungan kami semakin hari semakin renggang seiring dengan kesibukanku bekerja di butik dan kesibukannya sebagai aktivis kampus. Jarang bertemu dan jarang berkomunikasi membuat hubungan kami berada pada titik terendah, hingga akhirnya aku mendengar kabar jika Hendra sering jalan dengan Paula, salah satu aktivis juga di kampus.

Lalu hubungan kami pun benar-benar berakhir ketika aku menanyakan mengenai kabar hubungannya dengan Paula dan Hendra mengakui jika ia sudah jadian dengan Paula. Aku pun memilih mundur dan berkonsentrasi pada pekerjaanku.

Hingga di tahun ketiga setelah aku berhenti kuliah, suatu hari di rumah kami kedatangan tamu yang mengaku adalah sahabat ayahku dulu, ibuku pun mengenalnya. Pak Lukman, sahabat ayah semasa sekolah dulu rupanya baru mengetahui jika ayahku sudah meninggal. Beliau lalu mengucapkan bela sungkawa atas kepergian ayahku, bahkan menitikkan air mata ketika mengenang persahabatan mereka dulu. Dua bulan setelah kedatangan Pak Lukman waktu itu, tiba-tiba saja sahabat ayah itu kembali datang ke rumah, kali ini dengan niat yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya. Pak Lukman meminangku untuk dinikahkan dengan anak tunggalnya.

Aku tak tau bagaimana prosesnya hingga akhirnya ibuku menyetujui dan membujukku untuk menerima pinangan Pak Lukman waktu itu. Padahal aku sama sekali belum pernah bertemu dengan putra tunggal beliau yang kabarnya saat itu sudah lulus S2 dan menjabat kepala divisi perencanaan di salah satu perusahaan tambang milik salah satu pejabat terkemuka di negara ini yang berkantor pusat di jakarta. Melihat ibuku yang antusias saat membicarakan tawaran Pak Lukman, aku pun menerima lamaran beliau. Niatku hanya satu, ingin mengurangi beban ibu.

“Nanti Bapak ajak Adam ke sini, ya. Kalian boleh pengenalan dulu, Bapak yakin kalian pasti cocok,” ucap Pak Lukman kala itu.

Aku hanya mengangguk. Anggukan yang kemudian menghantarkan seorang Cahaya Kirana menjadi istri dari Adam Haidar hingga saat ini. Menjadi istri yang setiap hari harus mendapatkan kalimat-kalimat tak lazim dari seorang suami pada istrinya. Aku sendiri bingung, kenapa Mas Adam waktu itu menerima saja ketika ayahnya menjodohkannya denganku, padahal seharusnya dia adalah pihak yang paling bisa menolak jika memang tak suka dengan perjodohan itu. Belakangan baru kuketahui jika saat itu ia sedang dalam kondisi patah hati karena ditinggal oleh tunangannya, maka tanpa pikir panjang Mas Adam menerima tawaran perjodohan dari ayahnya saat itu.

Ingatanku tentang Mas Adam membuatku kembali masuk ke dalam kafe. Di kursi tempatku duduk tadi sudah ada dua orang lainnya yang sedang mengobrol dengan Mas Adam, termasuk salah satunya Ivan. Perlahan aku melangkah ke arah meja di mana mereka sedang mengobrol santai.

“Jadi lu juga belum nikah, Pri?” tanya Mas Adam pada salah satu rekannya.

Lelaki di hadapan Mas Adam yang duduk bersebelahan dengan Ivan mengangguk.

“Cariin dong.”

“Saran gue jangan buru-buru deh, Pri. Puas-puasin aja dulu lu bebas dari ikatan yang bernama rumah tangga. Jangan sampai lu nyesal ntar kayak gue,” ucap Mas Adam yang posisinya sedang membelakangiku..

Deggg!

Jantungku berdetak cepat. Apa katanya tadi? Nyesal? Mataku mulai berkabut. Sementara Ivan menatapku tajam.

“Emang sekarang lu nyesal, Bro?” tanya pria di samping Ivan.

“Nyesal banget, banyak yang lebih menarik di luar sana. Sayangnya gue udah telanjur terikat pernikahan! Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.”

Netraku semakin memanas mendengar kalimat Mas Adam, bahkan kini dadaku pun terasa sesak.

🌸Bersambung🌸

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
astaghfirullah suami laknat
goodnovel comment avatar
Hasdi Nursi
dasar suami tak bersyukur punya istri baik. kelaut biar di makan hiu,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status