MasukDarahku berdesir hebat, jantungku berdegup kencang tak keruan. Aku segera mengalihkan pandangan, lalu meraba wajahku yang terasa menghangat. Mungkin, saat ini pipiku sudah memerah ranum bagai buah ceri."Istirahatlah... Besok kamu masih harus ke kantor," ucapnya dengan nada lembut dan hangat. Hal itu sukses membuat bibirku bergetar hebat menahan senyum yang ingin merekah.Aku menundukkan wajah, kakiku terus bergerak gelisah karena grogi yang luar biasa. "Bapak... tidak merindukan saya?" gumamku tanpa berani menatap wajahnya.Pak Jefri tak langsung menjawab, ia mengangkat daguku perlahan, memaksa mata kami untuk kembali saling bertatapan. "Menurut kamu?" bisiknya hangat tepat di depan wajahku.Mata kami saling mengunci selama beberapa detik, seolah ingin menyampaikan beribu kata yang selama ini tertahan di tenggorokan. Aku kembali tersenyum belibis. Jantungku berdegup kian kencang, seperti sedang berpacu di arena balap kuda.Wajah Pak Jefri semakin mendekat, kepalanya sedikit miring se
"Erika... Kamu sudah pulang, Sayang?" tanya Mama menghampiriku.Aku tidak menjawab. Mataku masih enggan berpaling dari Pak Jefri. Ia tengah menatapku tanpa berkedip dengan raut wajah datar. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini, ia tampak begitu sulit dibaca."Sayang... Ayo, Mama temani kamu makan," ucap Mama lembut sambil merangkul bahuku.Namun, suara Mama seakan hanya angin lalu di telingaku. Dalam hatiku bergumam, 'Aku nggak butuh makan, aku hanya butuh Pak Jefri sekarang.'Tapi, apa yang dia lakukan? Pak Jefri hanya terdiam membisu sambil terus menatapku. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya. Tidakkah dia ingin mengatakan bahwa dia rindu?"Erika... Kenapa kamu diam saja?" tanya Mama lagi, kini sambil meneliti wajahku dengan heran.Tubuhku membeku. Sorot mataku masih enggan terlepas dari pria yang aku cintai ini. Tanpa sadar, bibirku bergumam pelan, "Erika rindu..."Bola mata Pak Jefri membulat seketika. Aku melihat jemarinya saling meremas di atas pangkuan
"Salah gue?" tanyaku dengan alis berkerut dalam.Dita mengangkat dagunya. Matanya yang basah menatapku dengan bibir bergetar. "Sekarang jawab yang jujur. Ello marah karena gue hianatin Pak Jefri, atau karena Ello cemburu sama Roy?"Aku tertawa getir sambil menahan emosi, menatapnya dengan air mata yang mulai berlinang. "Ello masih berpikir gue mencintai Roy?""Iya. Itu kan, yang Lo bilang sama Pak Jefri?" sahutnya dengan nada sinis sembari melipat tangan di dada.Aku memijat kening yang terasa berdenyut. "Harus berapa kali gue bilang, gue nggak pernah mencintai Roy, Dita...""Lantas, kenapa Ello terima cintanya di depan orang banyak?!" hardiknya dengan mata menyala. Ia melangkah maju, menuntut jawaban.Amarahku seketika mereda, digantikan oleh rasa penyesalan yang sulit untuk diungkapkan. "Gue..." Suaraku tercekat di tenggorokan.Aku menunduk, berusaha keras menyembunyikan rasa malu sekaligus amarah yang menyatu di dalam dada. "Gue cemburu sama Lo," bisikku nyaris tak terdengar.Dita
Aku menarik tangan Sherly, menjauh dari Mama. "Ceritakan sama gue, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa waktu itu Lo bohong sama gue?" desakku."Bohong yang mana, Kak?" ucapnya berkilah.Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi yang meluap. "Sherly, waktu kita pertama ketemu di ruangan Pak Jefri. Kenapa Ello bersikap seolah-olah baru aja berhubungan badan?!" tanyaku dengan nada ketus.Sherly tersenyum tipis, senyum yang terlihat jelas dibuat-buat. Ia mengalihkan pandangan sambil menggaruk tengkuknya, terlihat salah tingkah. "Maaf, Kak. Aku cuma disuruh Mas Jefri," sahutnya dengan nada menyesal."Buat apa? Kenapa Pak Jefri ngelakuin itu?" tanyaku semakin penasaran, lebih mirip introgasi.Sherly tersentak, raut wajahnya terlihat gelisah. "Aduh... Soal itu, tanya aja sama Mas Jefri," ucapnya dengan nada sedikit ragu. "Udah ya, Kak. Aku duluan..."Sherly mencoba kabur, namun dengan cepat aku meraih Hoodie jaketnya. "Ehh... Tunggu dulu. Ello nggak bisa kabur gitu aja setelah berha
Bu Niken menghampiriku dan membantuku berdiri. "Non Erika kenapa? Ada yang bisa saya bantu?"Aku menggeleng, terus menangis sambil meringkuk di lantai. Orang-orang mulai berkerumun melihatku, tapi aku tidak peduli. Saat ini hatiku benar-benar sesak memikirkan Pak Jefri."Ada apa ini ramai-ramai?!" Suara sinis Mia terdengar.Aku berhenti meraung, lalu mengangkat wajah perlahan sambil menahan sisa isak."Oh, ternyata Erika?" Mia menatapku sinis sambil bertolak pinggang. "Ngapain Ello nangis? Udah ditinggalin ya sama Pak Jefri?"Ia terkekeh, terlihat begitu senang melihat penderitaanku. "Gue bilang juga apa? Lo itu cuma wanita simpanannya, enggak usah bermimpi jadi istri sah Pak Jefri!" ucapnya ketus.Aku bangkit, lalu pergi dari tempat itu tanpa merespons Mia sedikit pun."Huu... Dasar pelakor!" teriak Mia dari kejauhan.Aku tak mau mendengarkannya. Hati dan pikiranku terlalu sesak untuk meladeni kata-kata Mia yang tidak penting."Harus ke mana aku sekarang?" gumamku, berjalan lemas bag
"Sayang... Siapa sebenarnya Dita?" tanya Mama sambil membalik pundakku.Aku tertegun beberapa saat, lalu mengeluarkan ponsel. Aku membuka galeri dan mencari foto Dita dengan cepat."Ini. Apa Pak Jefri pernah mengirim foto ini sama Mama?" tunjukku padanya.Mama mengambil alih ponselku. Matanya memicing saat menatap foto Dita di layar ponsel, lalu menggeleng sambil mengembalikan ponsel itu padaku. "Tidak pernah, Sayang..." "Ah, Mama ingat," ucapnya tiba-tiba, membuatku kaget sekaligus penasaran.Ia mengeluarkan ponselnya, lalu mengotak-atik dengan wajah serius. Entah apa yang dicarinya."Jefri pernah mengirim sebuah foto. Kalau tidak salah, itu adalah pertama kalinya kalian bertemu," ucap Mama sambil terus mengusap layar ponsel itu ke atas, seolah mencari sesuatu yang begitu penting."Oh, ini!" Ia memperlihatkan layar ponselnya padaku dengan mata berbinar. "Ini kamu, kan, Sayang..."Ia menatap foto yang ada di dalam ponselnya, lalu kembali melihatku seolah ingin membandingkan keduanya.







