LOGINMataku membulat melihat berita itu. Iya benar. Itu memang aku. Meski wajahnya sudah di blur, tapi aku tahu itu aku.Video itu diambil waktu aku berjalan sambil bergandengan tangan dengan Roy di mall tadi siang.Dalam berita itu tertulis, 'DJ ternama yang sedang naik daun kembali menggandeng wanita cantik.'Aku tidak menyangka beritanya akan dirilis secepat ini."I-iya, Pa. Ini emang Erika. Tapi... kita nggak pacaran, kok," jawabku dengan nada santai.Papa menghela napas panjang sambil menatapku tajam. "Kamu nggak pacaran, tapi bergandengan tangan di depan umum?"Aku menunduk karena merasa bersalah. Dudukku menjadi gelisah sambil melirik mama. Berharap dia akan ikut membelaku.Tapi... Mama hanya membuang muka sambil mencibir, seolah sengaja membiarkanku bertarung sendirian."Erika cuma jalan biasa kok, Pa," kilahku. Karena aku dan Roy memang tidak ada hubungan apapun."Bohong! Waktu itu kamu pernah bilang sama mama punya pacar. Itu kan, foto orangnya. DJ tampan yang kamu bilang..." tim
Pak Jefri sempat terpaku—menatapku selama beberapa detik. Kemudian menghela napas berat sambil meraih jasnya di sofa."Jangan berburuk sangka. Saya hanya sedikit memberimu uang jajan," ucapnya dengan nada datar, lalu memakai jasnya di depan cermin. "Kalau kamu tidak mau..." ia berhenti sejenak sambil melirikku sinis. "... buang saja!"Ia mengambil tasnya, lalu keluar begitu saja dengan raut wajah dingin."Arrgghhh! Dasar brengsek!" teriakku sambil melempar kartu ATM itu ke pintu."TUA! KILLER! CABUL!" rutukku pada bayangannya yang sudah menghilang.Aku melempar bantal dan guling ke mana saja untuk melampiaskan amarahku. "AKU BENCIII JEFRIII!!! AKU SANGAT MEMBENCIMU PRIA TUAAA!!!" teriakku dengan napas tersengal-sengal, lalu meremas kepalaku yang terasa berdenyut. Baru kali ini aku merasa begitu marah pada seseorang sampai tak bisa mengendalikan diri. Rasanya aku ingin berlari mengejarnya, lalu mencabik-cabik wajahnya."BRENGSEEEEKKK!! AARRGGHH!!"Aku meringkuk di atas kasur, sambil
Sambil meremas payudaraku, bibir pak Jefri masih terus mengecup area tengkuk hingga ke bahuku.Aku yang semula tidak suka dengan sikap kasarnya ini, lama-lama ikut menikmatinya. Apa lagi saat jenggot halusnya menggelitik kulit bagian belakangku. Aku jadi terangsang dan basah."Bapak anggap saya apa?" tanyaku, dengan napas yang mulai tidak stabil.Tangan pak Jefri mulai menurunkan celana dalamku, namun ia masih meninggalkan rok pendek plisket yang kupakai.Ia semakin mendorongku ke jendela kaca, lalu mengangkat sebelah kakiku—berselendang di lengannya yang berotot."Kamu hanya teman tidur, tapi saya tidak suka melihatmu dengan pria lain," bisiknya dengan suara berat.Kemudian, ia mulai memasukkan batang keperkasaannya lewat belakang—membuat tubuhku seketika tersentak."Ah!"Penis besarnya mulai memasuki rongga vaginaku yang becek karena rangsangannya."Aahh.... Hah!" desahku bercampur napas memburu. "Bapak nggak bisa seenaknya."Aku berusaha menahan sodokannya dengan satu kaki yang be
"Apa-apaan sih, Pak?!" teriakku sambil mendorongnya. "Saya ke sini untuk bimbingan, bukan untuk melayani nafsu Bapak!" Aku segera balik badan dan membuka pintu untuk keluar. Namun pak Jefri kembali datang dan langsung menimang tubuhku. "Lepasin! Bapak mau apa, sih?!" bentakku sambil memukul dadanya yang bidang. Aku masih kesal karena dia mengabaikanku di mall tadi. Sikapnya benar-benar acuh seolah membuangku begitu saja. Tapi apa yang dia lakukan sekarang? Pak Jefri menatapku dengan matanya yang merah padam. Raut wajahnya terlihat marah besar. "Kamu sengaja ingin membuat saya cemburu?" Aku tersenyum miring, lalu menjawabnya dengan nada sinis. "Buat apa? Kita nggak ada hubungan apapun." Sebelumnya aku memang sengaja ingin memancing reaksinya, saat mengakui Roy sebagai pacarku. Tapi ternyata dia tidak peduli. Aku tidak menyangka sekarang dia benar-benar terpancing, saat melihatku bergandengan dengan Roy di mall tadi. "Kamu pernah bilang tidak pacaran sama DJ itu. Lantas
Pak Jefri. Ia berdiri dengan badan tegap dan raut wajah dingin—sedang menatapku sinis."Pak Jefri?" gumamku sambil terus berjalan.Roy semakin berjalan cepat, menggandeng tanganku sambil melewati pak Jefri begitu saja. Ia berjalan menunduk, itu sebabnya tidak melihat dosenku yang sedang berdiri di dekat pintu.Mata pak Jefri terus mengikuti langkahku bersama Roy. Tatapan kami bahkan sempat saling bertabrakan. Ia masih mematung saat aku melewatinya. Tapi aku tahu, dari raut wajahnya ia terlihat tidak suka.Kenapa? Mungkinkah dia cemburu, atau... aku saja yang terlalu geer?Saat kami sampai di parkiran valley, aku sempat melirik ke dalam mall. Pak Jefri terlihat masuk kembali ke dalam sambil menempelkan ponsel di telinganya."Erika... Maaf, ya. Kamu pasti kaget," ucap Roy sambil membuka pintu mobil."Nggak apa-apa, kok. Itu adalah resiko jalan sama kamu," sahutku sambil tersenyum lebar.Meski dalam hatiku terlintas perasaan khawatir. Bukan karena serangan dari para wartawan itu. Melaink
"Roy... Kenapa bisa begitu?" tanyaku dengan kening berkerut.Selama ini aku hanya percaya dengan omongan Dita yang mengatakan bahwa, Roy adalah pria playboy dan gila seks.Bahkan aku masih meyakini itu saat menangkap basah Roy, yang tengah menggenjot seorang wanita di club tempo hari.Lalu benarkah apa yang baru saja aku dengar? Dia berimajinasi setiap wanita yang tidur bersamanya adalah aku."Lantas, apa kamu pikir aku bisa dengan mudahnya meniduri pelacur itu?!" jawabnya dengan tekanan tinggi.Tubuhku menegang mendengar jawabannya. Mataku membulat, nafasku terasa terhenti karena syok."Pelacur? Jadi... Mereka itu bukan pacar-pacar kamu?"Roy menghela napas panjang, lalu menunduk seperti menahan sedih. "Aku nggak pernah meniduri wanita yang sama, lebih dari satu kali. Karena aku nggak mau punya hubungan spesial, kecuali teman tidur," bisiknya.Ia mengangkat wajah, lalu menatapku dalam dengan mata yang sendu. "Dan aku melakukan itu... Hanya di saat aku sangat merindukanmu, Erika."Prin







