Tatapan marah Adam menyerang pusat perasaan Sabrina. Cara yang ampuh untuk membuat orang yang merasa bersalah agar semakin merasa bersalah.
"Aku jalan-jalan sebentar tadi," jawab Sabrina dengan datar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya karena telah berciuman dengan pria selain suaminya. Walaupun, dalam hal ini dia tak bersalah … ralat, mungkin dia sedikit bersalah karena menikmati dan menyambut ciuman Leo.
"Dengan siapa? Ke mana?" desak Adam memburu. Dia tidak suka dengan cara berkilah Sabrina yang sangat khas. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Tadi aku berkali-kali ke kamar kamu. Dua jam lebih aku menunggu dan kamu belum kembali juga."
Sabrina berbalik dan berujar, "Bukan urusan kamu aku mau ke mana dengan siapa!" Dia terus melangkah, memasuki kamar mandi dan berkata. "Lagi pula, aku tidak tahu kamu akan datang lebih cepat. Biasanya kamu sibuk meninabobokan istrimu, 'kan?"
"Sabrina! Kamu juga istriku! Ada apa denganmu?" bentak Adam padanya. Dia tak mengerti mengapa tiba-tiba Sabrina seolah menyalahkannya.
Sabrina tak menggubris kemarahan Adam. Dia kemudian masuk ke kamar mandi dan hendak mengunci pintu. Namun, Adam berhasil menyusulnya dan menyudutkan wanita yang penampilannya kini acak-acakan itu ke dinding.
Adam hendak mencium Sabrina. Namun, dia mengendus bau yang tak wajar. "Kamu? Bau alkohol dan rokok!"
Hati Sabrina mencelos. Dia takut Adam mengetahui lebih dari ini. Apalagi, suaminya itu kini mengendusnya dengan lebih seksama. "Ini bau parfum pria lain!"
Adam marah besar dan menjepit dagu dan pipi Sabrina dengan kasar. "Apa yang kau lakukan dengan pria lain, hah? Kamu selingkuh dengan lelaki di luar sana?"
"Aaahh! Sakit, Adam!" protes Sabrina keras.
Jemari kiri Adam saat ini menekan kedua tangan istri pertamanya ke dinding dengan kuat. Sedangkan tangan kanannya menekan pipi wanita lemah itu dengan sangat kuat. Wajar Sabrina meronta.
"Beraninya kamu membiarkan pria lain menyentuhmu!" Kemarahan Adam tak bisa dibendung lagi. Pria jangkung itu kini membuat Sabrina semakin kesakitan. Disobeknya pakaian Sabrina dan dicarinya bekas-bekas lain di sana.
"Lepaskan, Adam! Sakiiiiitt!" bentak Sabrina sambil menangis. "Kamu pikir hanya kamu yang benar, 'kan? Tak bersalah sedikit pun!"
Adam terdiam dan melonggarkan cengkeramannya. Dia lalu menatap Sabrina yang menangis dan hendak menciumnya, tetapi wanita yang pakaiannya kini telah sobek itu menghindar dengan cepat.
"Apa kamu pernah memikirkan bagaimana posisiku sekarang? Bagaimana rasanya berbulan madu dengan suami orang? Padahal aku istri pertama! Tapi hanya Maya yang pernah kau bawa keluar jalan-jalan dan makan di tempat terbuka!" bentak Sabrina kasar. Kemarahannya tak terbendung lagi. "Bagaimana denganku? Yang harus menunggumu di sini tiap malam! Tiap malam dan hanya beberapa jam karena kamu harus kembali lagi ke kamar Maya sebelum dia terbangun!"
Adam hanya terdiam mendapati amukan Sabrina. Sabrina tak kuat menahan air matanya yang semakin deras. Apalagi melihat Adam hanya kaku berdiri, tak menyahut apa pun. Tak meminta maaf sedikit pun.
"Apa hanya kamu saja yang bisa mencium dua wanita? Apa hanya kamu saja yang boleh menyentuh dua wanita?" bentak Sabrina semakin keras. Lebih terdengar seperti lolongan yang menyayat.
"Sabrina! Ini semua aku lakukan ka—"
"Karena sandiwara demi mendapatkan harta kamu, 'kan? Tapi maaf! Pengorbanan ini begitu berat untukku, Tuan Adam yang terhormat!" Sabrina keluar dari kamar mandi dan membanting pintu. Adam dengan cepat mengikuti dan menahan Sabrina. "Ini sangat berat bagiku! Tak seharusnya aku menyetujui permintaan bodoh ini! Kita bercerai saja!"
Sabrina menepis tangan Adam dan dengan sigap lari ke luar kamar. Hanya satu tujuannya! Kamar 703. Satu-satunya kamar yang akan menampungnya dan menawarkan kehangatan di saat dirinya begitu terpuruk.
Sementara itu, Adam sangat terpuruk dengan perkataan cerai dari Sabrina. Apa yang salah dari rencananya? Bukankah Sabrina sudah setuju bahwa mereka akan melewatkan bulan madu mereka seperti ini?
Sebenarnya, bila bukan karena pengawasan ketat ayahnya, Adam akan membawa kedua istrinya berbulan madu secara terpisah. Namun, ayahnya akan dengan mudah menemukan bahwa dia pergi dengan Sabrina bila dia melakukan hal itu.
Tak disangka, Sabrina ternyata tak bisa menahan pedihnya bersandiwara. Dia memang membutuhkan pengakuan lebih sebagai istri.
"Aaarrrgghh!" Adam memukuli dinding dengan sekuat tenaga hingga tangannya terasa sakit. Dia harus meminta maaf pada Sabrina agar tak kehilangan cintanya.
Dengan lesu, Adam kembali ke kamar Maya. Dia lupa mengendap-endap, sehingga Maya terbangun.
"Ada apa, Sayang?" tanya Maya dengan penuh perhatian. "Kau tak bisa tidur?"
Adam hanya menggeleng. Menyembunyikan apa yang sebenarnya dia pikirkan. "Hanya ada sedikit masalah pekerjaan."
"Kita bisa pulang lebih cepat kalau kau mau," usul Maya sambil menguap. Wanita itu tampak masih mengantuk.
"Ehm, sebenarnya, ada rekan lama yang menelepon dan meminta bertemu langsung di sekitar sini. Tapi di hotel lain." Akal bulus Adam mulai bertindak. Tipu muslihatnya mulai bermain.
"Klien lama?" tanya Maya dengan polosnya. Dia tak menyadari suaminya sedang merencanakan sesuatu yang akan menyakiti perasaannya.
"Oh, dia bekas klien lama sebelum kamu jadi sekretaris dulu. Tampaknya ingin memulai kerja sama lagi." Adam menjelaskan dengan santai, seolah yang dia katakan adalah kebenaran.
"Apakah aku perlu menemanimu?" Maya penasaran dengan klien yang ingin bekerja sama kembali setelah sekian lama memutuskan hubungan.
"Kurasa tak perlu! Karena dia juga tak membawa istri atau sekretarisnya." Adam buru-buru menjawab. "Namun, aku khawatir bila kau sendirian di sini kau akan bosan."
Adam memandang Maya dengan penuh khawatir. Tentu bukan khawatir bahwa Maya akan bosan. Namun, dia khawatir kebohongannya akan tercium.
"Kalau begitu, pergilah! Aku di sini saja. Aku tak akan bosan kalau hanya sehari saja!" jawab Maya dengan senyuman manis agar suaminya tenang. Padahal, dalam hati, sebenarnya Maya sedikit kecewa.
"Ehm, sebenarnya, aku mungkin akan pergi selama empat hari. Akan aku usah—"
"Tentu! Nggak masalah buatku, Adam! Pergilah! Pekerjaan jauh lebih penting!" Maya menjawabnya dengan senyuman lebih lebar. Semakin lebar senyumannya, semakin besar kekecewaan yang dia tutupi.
Adam merasa puas dengan jawaban Maya. Dia memeluk dan menciumi Maya. Dia merasa sangat ingin menyempurnakan sandiwaranya kali ini dengan kelakuan selayaknya seorang suami yang tak ingin berpisah dengan istrinya saat berbulan madu.
Karena itulah, dia memutuskan untuk memberi hadiah untuk Maya. "Kalau begitu, sebaiknya aku memberimu pelayanan yang istimewa sebelum aku berangkat nanti."
Kekecewaan di hati Maya pun terobati seketika oleh perkataan suaminya. Kepiawaian tangan dan lidah Adam yang telah hafal cara menyenangkan Maya, membuat dini hari itu tak lagi dingin, melainkan sangat panas dan bersemangat. Mereka melakukannya hingga pagi menjelang dan tak ada tenaga Maya yang tersisa lagi.
Saat Maya telah terlelap dalam mimpi indah, Adam pun keluar kamar dengan mengendap-endap. Dia memencet bel kamar Sabrina, tapi tak ada sahutan. Rupanya Sabrina belum kembali ke kamar. Dia lalu menelepon Sabrina, tetapi belum diangkat juga.
"Sayang, kumohon angkatlah teleponmu!" bisik Adam pelan. Semalam, dia tak bisa menghubungi Sabrina karena ponselnya dimatikan. Sekarang, ponsel Sabrina hidup. Namun, panggilannya belum dijawab juga.
"Apa maumu?" jawab Sabrina dengan ketus dari seberang telepon.
Nada ketus Sabrina membuat Adam merasa takut. Namun, dia lega karena Sabrina masih mau mengangkat teleponnya. "Sayang, maafkan aku. Aku akan memperbaiki bulan madu kita. Dengarkan rencanaku …."
Lima tahun telah berlalu sejak kepergian Maya. Kini, si kembar telah tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. "Paul, Freya! Ayo cepat turun dan habiskan sarapan kalian!" seru Adam dari bawah memanggil kedua anaknya yang terdengar ribut di atas saat berganti pakaian. "Ayah, Paul menyembunyikan bonekaku! Padahal aku ingin mengajaknya jalan-jalan saat menjemput Paman Leo di bandara!" jawab Freya dengan suara hampir menangis. Gadis kecil berambut gelap bergelombang itu semakin tampak mirip dengan ibunya seiring dengan bertambahnya usianya. "Bohong! Kamu sendiri yang lupa meletakkan di mana boneka kelinci jelekmu itu. Jangan menuduh sembarangan!" sanggah Paul dengan suara melengking. Mata gelap miniatur Adam itu memandang tajam saudarinya yang berukuran lebih mungil darinya. Dengan tubuhnya yang lebih kuat dan besar, dia memang kerap mengusili Freya. Sekalipun dia berkali-kali dihukum, mengusili kembarannya sudah bagaikan candu yang akan tetap dia lakukan tak peduli apa pun konsekuen
Adam memandangi kedua makhluk kecil yang ada di hadapannya dengan linangan air mata. Begitu kecil dan rapuh. Mereka membutuhkan selang-selang bantuan untuk hidup."Anak-anakku ...." Kata-kata yang Adam bisikkan dengan penuh perasaan, membuat Leo merasa keputusan Maya untuk menyerahkan bayi-bayinya kepada ayah kandungnya adalah pilihan yang tepat.Darah lebih kental daripada air. Begitulah. Adam pun menyayangi kedua anaknya karena mereka adalah darah dagingnya sendiri."Dia begitu bahagia saat mendengar bahwa dia mengandung anak kembar. Aku pun begitu. Sampai-sampai aku mengumpat betapa beruntungnya dirimu," jelas Leo mengenang saat-saat Maya bersorak mengetahui jenis kelamin bayinya. "Seandainya saat itu dia hamil dengan pria yang tulus mencintainya, pasti akan sangat membahagiakan. Tahukah kau perasaan Maya saat melihat kau dan Sabrina bergembira saat tahu jenis kelamin bayi kalian?"Ada
Dua bayi, lelaki dan perempuan yang berpelukan di ruang NICU itu berukuran sangat kecil. Yang lelaki beratnya 656 gram, sedangkan lainnya 533 gram. Banyak selang menempel di tubuh kecil mereka demi memperjuangkan detak jantung keduanya.Kulit mereka begitu keriput. Begitu kurus seperti hanya tulang dan kulit tanpa selapis daging pun. Bila orang berkata bahwa bayi sangat lucu, pemandangan yang disaksikan mata hijau pria kekar yang mengamatinya dari kaca luar ruangan tidak demikian. Mereka berdua jauh dari kata lucu. Seperti alien. Seperti bukan manusia.Kesedihan masih belum bisa lepas dari hati Leo. Melihat mereka berdua membuat Leo teringat akan sang ibu yang telah berjuang mempertahankan nyawa mereka. Usaha telah dilakukan sebaik mungkin walau hasilnya tak sempurna, seperti yang diinginkan oleh semua pihak."Maya, mereka akan berterima kasih padamu suatu hari nanti," bisik Leo dengan suara yang bergetar hebat karena menahan air mata."Paul, Freya .... J
Dapur kecil sebuah di sebuah apartemen mungil milik lelaki menawan berbadan atletis, kini dipenuhi dengan aroma butter yang menggoda. Tak hanya aroma makanan yang membuat air liur menetes, tapi ada pemandangan lain yang tak kalah menggiurkan. Celana training pria yang sedang beraksi di dapur tersebut menggantung terlalu rendah di bagian pinggang, membuat wanita mana pun yang memandang tak akan bisa melewati harinya tanpa merasa kepanasan karena terbayang pemandangan indah itu sepanjang hari. Andai saja ada seorang wanita di sana, pasti kelima indranya akan dimanjakan dengan kenikmatan duniawi karena suara pria yang sedang memegang wajan dan tongs itu pun akan membuat hati semua kaum hawa berdesir bila sedang berbicara. Jangan tanya bagaimana sensasi yang dirasa bila suara merdu itu berbisik di telinga, sudah bisa dipastikan para bidadari dunia akan melayang walaupun tak ada sayap yang menempel di punggungnya. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat waj
Pukulan Adam yang pertama mengenai wajah Leo. Namun, yang kedua tentu berhasil ditangkis oleh lawannya."Adam! Hentikan! Mengapa kau tiba-tiba memukul Leo!" jerit Maya berusaha menghentikan amukan Adam.Adam tak peduli. Dia masih berusaha menghajar Leo. Sementara Leo yang sebenarnya dapat dengan mudah menghabisi lawannya, hanya sibuk menangkis dan menahan serangan Adam. Tak sampai hati dia memukul Adam karena ada Maya di sampingnya."Hei! Mengapa kau berbuat sembarangan seperti ini? Ingatlah kita sedang di rumah sakit!" bisik Leo pelan tapi tegas."Kau apakan Sabrina, huh? Seorang saksi mengatakan istriku jatuh setelah pria berambut pirang dengan tubuh besar membuatnya ketakutan!" balas Adam dengan geram. "Siapa lagi kalau bukan kau!"Leo pun mengernyit. Dia bingung dengan pertanyaan Adam. Dia memang sempat bersitegang dengan Sabrina. Namun, apakah semengerikan itu sampai-sampai membuat kondisi Sabrina dalam keadaan kritis?"Kamu! Kamu pasti
Sabrina berjalan menyusuri koridor perlahan karena merasakan sakit di perutnya. Dia tak menyangka bahwa kegiatan hari ini membuatnya kelelahan. Bagaimanapun juga, berjalan kaki sejauh dua kilometer dari apartemennya ke rumah sakit bukan tugas mudah untuk wanita hamil sepertinya.Dering ponsel yang lembut pun membuat Sabrina terkaget. Dia lalu mengangkat telepon yang berasal dari suaminya. Dalam hati, Sabrina sangat cemas. Dia takut Adam sudah sampai di rumah lebih dulu dan mendapati apartemen mereka kosong."Sabrina, kamu di mana?" tanya Adam dari ujung telepon dengan suara cemas."Aku ... aku keluar sebentar. Suplemen penambah darahku habis." Sabrina menjawab dengan sedikit tergagap karena dia tak meminta izin kepada Adam bahwa dia akan menemui Maya hari ini. Jika suaminya tahu, pastilah akan menentang aksi frontalnya kali ini. Bagaimanapun juga, Adam akan menganggap dirinya mengemis kepada Maya untuk memperbaiki kondis