Tak ada pria securang Adam. Dia berbulan madu bersama dua istri secara rahasia. Dia memang sudah merencanakan hal ini dengan cukup baik sebelumnya.
Adam akan menghabiskan waktu selama sepekan di hotel agar dia bisa membagi waktu untuk Maya dan Sabrina secara bersamaan tanpa harus ketahuan Maya maupun keluarganya. Sementara itu, dia menyiapkan rencana ke depan yang lebih mulus agar semua tujuannya tercapai. Harta dan cinta.
Adam tahu, wanita tak bersalah yang akan dia korbankan adalah Maya. Namun, dia berencana akan memberikan alimoni yang sangat besar untuk Maya agar dia bisa hidup dengan nyaman dan bisa mencari suami baru yang dia sukai.
Adam yakin Maya akan setuju karena alasan wanita yang terlihat polos itu mau dijodohkan dengannya juga pasti karena uang. Apalagi memangnya? Bukankah seharusnya setiap orang akan memilih jalannya sendiri? Bukan perjodohan seperti zaman Siti Nurbaya. Kecuali ada faktor pendukung lain, misalnya uang, dan itulah yang ada di kepala Adam saat ini.
Malam ini adalah malam keempat untuk ketiga pengantin baru tersebut tinggal di hotel yang sama, walaupun berbeda kamar. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah Adam menghabiskan waktu bersama Maya, dia akan mengunjungi Sabrina segera.
Hanya saja, di siang hari, waktu Adam hanya bisa dihabiskan untuk Maya. Saat Adam dan Maya makan romantis di restoran, Sabrina hanya bisa makan sendiri di kamar bila dia tak ingin berpapasan dan melihat secara langsung kemesraan suami rahasianya dengan wanita lain.
Bila Adam dan Maya menghabiskan waktu siang untuk berenang dan jalan-jalan di pantai, Sabrina harus berjuang keras agar tidak cemburu tatkala mereka berada di tempat yang sama pada saat yang bersamaan. Hal ini tentu saja sangat menyiksa batin Sabrina.
Tak jarang Sabrina menangis meratapi nasibnya. Mengapa dia harus menjalani kehidupan yang konyol semacam ini? Walaupun uang dan fasilitas yang dia dapatkan tak berbeda dari Maya, tetapi dia merasa tak cukup. Walaupun cinta dan hati Adam hanya untuknya, tapi Sabrina menginginkan pengakuan publik.
Sabrina membanting pintu kamar keras-keras. Dia merebahkan diri ke kasur sambil menangis. Apakah sebaiknya dia menyerah saja? Mengapa begitu berat rasanya untuk bertahan?
Karena tak tahan dengan kesunyian kamar, Sabrina pergi ke luar untuk jalan-jalan. Saat sudah gelap seperti ini, bisa dipastikan kalau Adam dan Maya sudah masuk ke dalam kamar. Tak mungkin mereka akan berpapasan lagi.
Sabrina pikir, tidak melihat Adam dan Maya bermesraan akan membuatnya baik-baik saja. Namun, ternyata tak seperti itu. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan bahwa Adam sedang memadu kasih dengan Maya. Tangan yang sama dengan tangan yang menyentuhnya pasti juga menyentuh Maya. Semua yang ada pada diri Adam tak hanya miliknya, tetapi juga milik Maya.
Sungguh berat berbagi suami. Bila bukan karena cinta, tak mungkin Sabrina akan bertahan.
Sabrina akhirnya memutuskan untuk berenang agar dia lupa dengan segalanya. Saat dia berjalan di tepi kolam renang hotel, tiba-tiba dia menabrak badan seseorang yang cukup keras.
Bruk!!
Sabrina jatuh di atas tubuh seorang pria jangkung berbadan kekar. Lebih tinggi dan lebih atletis daripada Adam. Matanya yang berwarna hijau menatap dengan tajam. Rambut pirangnya mengingatkan Sabrina bahwa dia mengenal pria itu.
"Leo?"
"Bree?"
Saat Sabrina menyadari betapa tak pantas pose mereka saat ini, dia segera berdiri dan mengenakan handuknya dengan lebih rapat. Malu-malu, dia menunduk dan meminta maaf pada makhluk tampan di hadapannya.
"Maaf ... aku seharusnya berhati-hati," ucap Sabrina. Dia tidak menatap wajah Leo karena pertemuan terakhir mereka yang buruk.
"Tak apa! Kamu tidak berat, Bree!" jawab Leo santai. "Bagaimana kabar kamu?"
Sabrina menjawab pertanyaan Leo dengan formal. Mereka kemudian mengobrol di bangku panjang di tepi kolam.
Leo adalah mantan kekasih Sabrina saat dia berusaha lari dari Adam. Namun, mereka berpisah karena Sabrina tidak bisa melupakan Adam. Kenangan bersama Leo tak bisa dia ingat dengan perasaan wajar. Dia sangat malu.
Bagaimana tidak? Sabrina tak sengaja menyerukan nama Adam saat Leo menyentuhnya. Segera setelah itu, mereka berdua memilih untuk tidak meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Sabrina pun memutuskan untuk kembali pada Adam walaupun dia harus menjadi kekasih simpanan bagi Adam.
"Kamu masih bersama ... Mmmm ... siapa? Adam?" tanya Leo berbasa basi.
Sabrina hanya mengangguk pelan. Namun, suasana hatinya yang sedang tak baik saat ini membuat wajah cantiknya terlalu jujur. Sedih dan muram.
"Bree, kamu baik-baik saja?" tanya Leo prihatin.
"Bagaimana kalau kita party? Melupakan kesedihan?" Leo berusaha menawarkan perhatian seorang sahabat kepada Sabrina. "Tenang, aku yang traktir!"
Sabrina tertawa melihat gaya bicara Leo yang sok. "Kamu sekarang sudah banyak uang?" tanya Sabrina dengan nada bercanda pula.
"Lumayan! Aku bekerja sebagai seorang pengawal sekarang. Bayarannya cukup tinggi," jawab Leo dengan senyum manis yang membuat wajah maskulinnya terlihat kekanak-kanakan.
"Okay! Aku akan senang menerima uang hasil kerja keras kamu dengan senang hati," jawab Sabrina pada akhirnya.
Kemudian, Sabrina mengikuti Leo ke rooftop bar dan bersenang-senang di sana. Dia melihat jam tangan di pergelangan kiri yang menunjukkan pukul 23:00. Satu jam lagi, Adam akan ke kamarnya. Masih ada waktu cukup untuk kembali ke kamar dan membersihkan diri. Dia tak ingin Adam mencium bau rokok dari tubuhnya.
Dia pun berpamitan ke Leo. Pria itu menawarkan diri untuk mengantarkan Sabrina ke kamarnya. Sabrina marasa tak enak untuk menolak kebaikan Leo. Keduanya pun berjalan ke kamar sambil mengobrol santai.
Saat akan berpisah, Leo yang masih berada di bawah pengaruh alkohol, tiba-tiba menarik tubuh Sabrina dan mengklaim bibir ranumnya tanpa permisi. Sabrina berusaha menolak, tetapi tak bisa. Kemudian lama kelamaan, dia justru larut dalam kepiawaian Leo yang Sabrina akui sangat hebat.
Leo pun memisahkan diri setelah merasa cukup puas. "Aku ada di kamar 703. Ini nomor ponselku. Datanglah bila kamu mau. Teleponlah bila kamu membutuhkan aku. Aku akan selalu ada untuk kamu, Bree!"
Sabrina tertegun menatap Leo. Dia tak menyangka kejadiannya akan berkembang sejauh ini. "Apa maksudmu?"
"Bercanda! Hahaha," jawab Leo yang kini tertawa terpingkal-pingkal. "Aku sedang liburan. Jadi, aku akan bisa menemanimu selama liburan saja. Pekan depan aku akan bekerja dengan klien baru. Jadi, aku tak bisa menemanimu lagi."
Sabrina ikut tertawa. "Dasar! Kamu bikin aku kaget saja!"
Leo pun segera kembali ke kamarnya lewat tangga. Sedangkan Sabrina yang perasaannya masih kacau dan berdebar kencang karena ciuman Leo, segera masuk ke kamar. Sebaiknya, dia segera membersihkan diri. Tak mungkin dia menyambut Adam dengan aroma tubuh pria lain menempel di tubuhnya.
Sabrina menampar-nampar mukanya. Malam ini yang dia lakukan adalah kesalahan. Mana mungkin dia berciuman dengan pria lain? Sementara kini dirinya sudah bersuami? Bukankah ini berarti pengkhianatan kepada Adam?
Saat Sabrina hendak masuk ke kamar mandi, tiba-tiba bel kamarnya berbunyi. Hati Sabrina mencelos. Adam datang lebih awal dari biasanya. Dia harus membuka pintu segera bila tak ingin dicurigai.
Begitu pintu terbuka, tampaklah wajah masam Adam yang kini bersedekap dan menatapnya dengan tajam. "Dari mana saja kamu?"
***
Note:
Tolong tinggalkan komentar, review, dan masukin library kamu, ya!
Makasih.
Tatapan marah Adam menyerang pusat perasaan Sabrina. Cara yang ampuh untuk membuat orang yang merasa bersalah agar semakin merasa bersalah."Aku jalan-jalan sebentar tadi," jawab Sabrina dengan datar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya karena telah berciuman dengan pria selain suaminya. Walaupun, dalam hal ini dia tak bersalah … ralat, mungkin dia sedikit bersalah karena menikmati dan menyambut ciuman Leo."Dengan siapa? Ke mana?" desak Adam memburu. Dia tidak suka dengan cara berkilah Sabrina yang sangat khas. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Tadi aku berkali-kali ke kamar kamu. Dua jam lebih aku menunggu dan kamu belum kembali juga."Sabrina berbalik dan berujar, "Bukan urusan kamu aku mau ke mana dengan siapa!" Dia terus melangkah, memasuki kamar mandi dan berkata. "Lagi pula, aku tidak tahu kamu akan datang lebih cepat. Biasanya kamu sibuk meninabobokan istrimu, 'kan?""Sabrina! Kamu juga istriku! Ada apa denganmu?" bentak
Sabrina menutup percakapan dengan Adam dengan perasaan campur aduk. Dia sudah memutuskan untuk menyetujui rencana Adam. Namun, emosi membuat dirinya tak menepati janji dan menuntut lebih. Hal ini membuat Adam bekerja keras untuk memberikan yang Sabrina minta. Dia bahkan rela mengambil risiko untuk berbohong kepada Maya dengan alasan pekerjaan agar bisa mendapatkan waktu berdua saja dengan Sabrina.Mengetahui hal ini, Sabrina merasa sedikit malu walaupun dia senang akan kesungguhan Adam. Dia pun menyunggingkan senyuman tipis di bibir dan berencana akan memaafkan Adam atas perlakuannya semalam. Tidak, Adam tidak salah. Dialah yang salah. Dialah yang hampir berselingkuh dengan Leo semalam.Tak hanya berciuman di depan kamar. Semalam, Sabrina hampir melakukan hubungan terlarang dengan Leo karena rayuan Sabrina sendiri walaupun Leo sudah menolak. Benar-benar sebuah pengkhianatan yang sempurna yang dilakukan Sabrina atas dasar ingin membalas denda
Maya memperkenalkan diri sambil menyambut hangat uluran tangan Leo, menyunggingkan senyuman manis untuk pria baik hati yang membantunya. Dalam hati, dia terheran mengapa pria pirang bernama Leo itu terperangah mendengar namanya. Apakah namanya begitu aneh?"Maya?" tanya Leo lagi meyakinkan.Maya pun mengangguk sambil tetap tersenyum dengan polos. Dia lalu menarik tangan karena Leo terlalu lama dan terlalu erat mencengkeram. Tentu tanpa sengaja, karena pikiran Leo saat ini melayang kepada hal lain.Mendengar nama Maya, mengingatkan Leo akan sosok gold digger istri Adam yang diceritakan Sabrina semalam. Sangat bertentangan dengan penampilan Maya yang kini ada di hadapannya.Untuk memastikan, Leo melihat jemari kiri Maya dan alangkah terkejutnya dia bahwa Maya mengenakan cincin nikah. "Kamu sudah menikah?""Benar. Saya baru saja menikah dan sekalian berbulan madu di sini," jawab Maya. Mata bulatnya menatap Leo dengan pancaran kebahagiaan, membuat hati
Maya berjalan menyusuri jalanan asing yang dia sendiri tak tahu jalan ini akan membawanya ke mana. Namun, karena suasananya semakin sepi dan mencurigakan, Maya memutuskan untuk kembali ke jalan semula.Memandangi sekeliling, wanita berbadan langsing itu menelan ludah. Hanya sunyi dan senyap yang mewarnai suasana di sekitarnya. Pertokoan yang tutup dan banyak coretan grafis memakai cat semprot hasil karya seniman jalanan liar membuat Maya sangat yakin bahwa tempat ini seharusnya tak dia lalui.Matahari sudah hampir tenggelam. Sebentar lagi, hari mulai gelap. Bila dia tidak segera menemukan jalan pulang, tentu liburan ini akan berubah menjadi bencana."Ya, Tuhan! Mana mungkin aku masih bisa menyebut diri sebagai sekretaris lagi?" ratap Maya mengutuk kebodohannya sendiri.Ini semua hanya karena hal sepele. Dia tidak ingat nama hotel tempatnya menginap. Karena bukan dia yang mengatur ini semua, Maya lupa mengingat semua detailnya.Masalah bertambah tat
Kedua penjahat itu berhenti menatap pria ketiga yang hadir di tengah-tengah mereka. "Mau apa kau? Apa kau cari mati?"Si tambun menoleh, bangkit, dan berjalan mendekati pria yang berusaha menghalangi aksinya. "Mau ikut bersenang-senang, Bro?" tanya si tambun sambil mengulurkan tangan ke bahu pria berambut pirang itu untuk mengajak berpesta.Namun, pria pirang itu menangkap pergelangan tangan si tambun lalu memelintirnya sekuat tenaga. Si tambun menjerit kesakitan, lalu dia berusaha menyerang si pirang dengan tendangan.Sayang sekali, usahanya sia-sia karena si pirang jauh lebih sigap dari si tambun. Dia meangkap kaku penjahat itu dengan mudah. Kemudian, dia memelintir dan membanting lawannya dengan sekuat tenaga. Dengan badan kekar dan jangkung, secara fisik, si pirang memang tampak lebih unggul dari lawannya.Pria bermata hijau terang itu memandang tajam si tambun sebelum dia menekuk lutut dan menghadiahi perut penjahat itu dengan tendangan maut. "Rasaka
Angin malam yang dingin, tak sedikit pun mendinginkan perasaan Leo. Maya yang tergolek lemah bersimbah darah, menatapnya dengan mata yang semakin hendak menutup."Kau baik-baik sa–ja, bu–kan?" tanya Maya dalam bisikan lemah tersendat yang hanya bisa didengar oleh Leo. Maya memaksakan senyuman semanis mungkin agar Leo tidak bersedih.Leo hanya bisa menjawab dengan kepanikan dan gelengan. Dia tak percaya Maya menolong, bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Mengapa wanita ini melakukan hal senekat itu untuk orang asing seperti dia?Petugas medis segera membawa Maya ke rumah sakit. Leo menemani Maya di sisi wanita malang itu. Dia tahu bahwa dirinya adalah pendosa. Namun, kali ini, Leo percaya pada Tuhan dan berdoa padanya agar Maya diselamatkan.Kegaduhan hanya membayang di mata dan telinga Leo. Dia tak peduli. Fokusnya hanya satu. Maya harus selamat dengan cara apa pun."Dokter, tolong selamatkan dia! Berapa pun biayanya dan apa pun caranya,
Leo mengamati kondisi Maya yang masih lemah pasca operasi dengan prihatin. Dia sangat bersyukur Maya selamat karena pertolongan anak-anak jalanan yang kemarin mereka temui. Benar-benar sebuah keajaiban.Golongan darah Maya O negatif. Rumah sakit saat itu sedang kehabisan stok darah dengan golongan tersebut. Saat itulah Leo sangat menyesal mengapa tadi dia membanting ponsel hingga hancur. Tak mungkin dia bisa mengirim pesan kepada semua rekan kerja dan kenalan yang barangkali memiliki golongan darah yang sama.Dia pun berlari keluar, menuliskan di selembar kertas bahwa dirinya membutuhkan golongan darah O negatif untuk teman yang kritis. Namun, tak satu pun donor didapatkan. Saat itulah, dia bertemu dengan anak-anak jalanan yang datang bersama Apollo. Mereka pun membantu aksi mencari donor dengan gigih. Setengah jam kemudian, mereka kembali membawa tiga orang pendonor. Sangat cukup untuk membantu menyuplai kebutuhan darah Maya saat ini."Leo! Kamu belum tidur dar
Ini adalah hari ketiga Maya di rumah sakit. Maya meminta Leo untuk tidak menemaninya sepanjang hari. Dia menyuruh Leo untuk kembali ke hotel dan mengurus dirinya dengan baik.Maya sangat merasa bersalah. Liburan Leo rusak karena peristiwa yang dia alami. Andai saja saat itu dia tidak ceroboh, pastilah tak akan bertemu dengan para penjahat.Hari ini, Maya harus kembali ke hotel. Sebentar lagi suaminya akan pulang dari pertemuan bisnisnya dan ponselnya yang mati, tentu tak akan membantu menjelaskan apa pun tentang keberadaannya di rumah sakit.Karena itulah, Maya segera mengganti pakaian dan keluar dari kamar. Dia merasa kondisinya sudah baik. Maya akan meminta keluar hari ini dan mengurus semua keperluan administrasi."Maaf, tapi di rumah sakit kami tak mungkin dilakukan perawatan sebelum ada jaminan pembayaran. Jadi, biaya perawatan Anda sudah ditanggung. Anda tak perlu membayar lagi." Petugas administrasi menjelaskan kepada Maya dengan singkat tanp