Sabrina menutup percakapan dengan Adam dengan perasaan campur aduk. Dia sudah memutuskan untuk menyetujui rencana Adam. Namun, emosi membuat dirinya tak menepati janji dan menuntut lebih. Hal ini membuat Adam bekerja keras untuk memberikan yang Sabrina minta. Dia bahkan rela mengambil risiko untuk berbohong kepada Maya dengan alasan pekerjaan agar bisa mendapatkan waktu berdua saja dengan Sabrina.
Mengetahui hal ini, Sabrina merasa sedikit malu walaupun dia senang akan kesungguhan Adam. Dia pun menyunggingkan senyuman tipis di bibir dan berencana akan memaafkan Adam atas perlakuannya semalam. Tidak, Adam tidak salah. Dialah yang salah. Dialah yang hampir berselingkuh dengan Leo semalam.
Tak hanya berciuman di depan kamar. Semalam, Sabrina hampir melakukan hubungan terlarang dengan Leo karena rayuan Sabrina sendiri walaupun Leo sudah menolak. Benar-benar sebuah pengkhianatan yang sempurna yang dilakukan Sabrina atas dasar ingin membalas dendam.
Tadi malam, Sabrina datang ke kamar Leo dan menangis, mengadukan semua penderitaan yang harus dia tanggung karena menjadi istri rahasia. Adam harus bersandiwara agar hartanya tak direbut oleh seorang wanita bernama Maya yang sudah dari dulu mengincar harta keluarga Adam. Leo yang sangat perhatian, berusaha menenangkan Sabrina.
"Sebaiknya kamu bercerai saja dengannya bila kamu tidak sanggup. Kamu tak tahu pasti sampai kapan harus menanggung penderitaan semacam ini, bukan?" nasihat Leo semalam setelah Sabrina mengadu. Dia membelai punggung mantan kekasihnya dengan rasa iba serta menawarkan segelas minuman kepada Sabrina.
Namun, Sabrina hanya bergeming beberapa saat. Dia tak sanggup meninggalkan Adam. Dia sangat tahu. Lebih dari siapa pun.
Tak hanya Leo, yang sangat tampan walaupun miskin. Sabrina pernah mencari beberapa pria lain yang sama tampan dan sama kaya dengan Adam. Hal yang tak sulit bagi wanita secantik Sabrina. Namun, hubungannya dengan mereka kandas di tengah jalan karena kesalahan yang sama saat dia menjalin hubungan dengan Leo. Dia tak bisa melupakan Adam.
Sayangnya, emosi semalam membuat Sabrina ingin membalas hal yang setimpal untuk Adam. Bila Adam bisa menyentuh dua wanita, dia juga bisa menyentuh dua pria. "Leo, bercintalah denganku!" ajak Sabrina dengan deraian air mata yang masih membasahi pipinya.
Leo menolak, "Aku tak mau kamu melakukan semua ini dengan motivasi dendam."
"Tapi kau tadi menciumku, 'kan?" protes Sabrina.
"Kau tak bilang kalau sudah menikah! Aku kira bisa melewati malam denganmu untuk mengenang masa lalu!" bantah Leo membela diri dari kesalahan yang tadi dia lakukan. Mana mungkin dia mengakui bahwa kecantikan Sabrina masih membuat hatinya berdesir?
Leo, bagaimanapun juga, masih teringat luka yang ditimbulkan Sabrina saat dia benar-benar jatuh cinta kepada wanita itu. Tepat saat Leo menyentuh Sabrina dengan penuh perasaan, tepat saat Leo akan mengatakan bahwa dia ingin melamar Sabrina dan hidup selamanya dengan wanita itu, tepat saat mereka berdua akan menggapai langit ketujuh secara bersama-sama, saat itu juga Sabrina lupa diri dan menyerukan, "Adam, I love you!" Bayangkan betapa hancur perasaan pria tampan yang dipuja semua wanita yang dia temui. Saat itu, dia merasa benar-benar seperti sampah.
Walaupun Leo adalah pria baik yang pemaaf, tetapi perasaan luka yang pernah ditimbulkan Sabrina tak bisa sembuh semudah itu. Dia tak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama.
"Kumohon, Leo! Sentuhlah aku malam ini!" rengek Sabrina semalam yang mungkin sudah tak sadar sepenuhnya karena dia tak menolak tawaran segelas minuman dari Leo untuk meringankan kesedihannya. "Anggap saja kita tak pernah kenal! Cinta satu malam! Atau anggap saja aku ini wanita bayaran! Atau apa pun semaumu! Hubungan pertemanan yang saling memberi keuntungan juga boleh. Yang penting, sentuh aku, Leo!"
Godaan dari wanita cantik memang racun dunia. Leo yang tadinya tak ingin menyentuh Sabrina, menjadi tertarik dengan hubungan tanpa komitmen yang ditawarkan Sabrina. Bukankah selama ini, dia juga melakukan hal itu dengan banyak wanita lain? Tentu saja, semalam dengan Sabrina akan menjadi sesuatu yang manis seperti madu bila tak ada konsekuensi yang harus dia tanggung.
Leo pun mulai menuruti keinginan Sabrina. Dia memulai semua dari tempat yang paling dia sukai dari wajah Sabrina. Bibir Sabrina yang merah, merona, dan terbelah sensual. Setiap hal yang dia lakukan di bibir dan bagian dalamnya, membuat hasrat Leo muncul dalam waktu yang tak lama.
Mereka berdua hanyut dalam suasana yang semakin tegang dan panas. Aksi yang Leo lakukan bahkan telah membuat Sabrina mencapai puncak nirwana beberapa kali. Sampai pada saat Leo akan menyempurnakan semuanya, lagi-lagi, Sabrina meracau, "Ayo, Adam! Aku sudah tak tahan! Jangan berhenti!"
Lagi-lagi, Leo merasa terhina. Bagaimana mungkin wanita di hadapannya melakukan hal ini dengan pria lain sementara kepalanya membayangkan Adam yang melakukan semua ini untuknya? Sementara Leo sangat yakin, permainannya jauh lebih baik daripada pria bernama Adam itu. Ini penghinaan.
Namun, wajah Sabrina yang penuh air mata penderitaan, memelas ingin dihibur, membuat Leo tak tega. Dia pun meneruskan pelayanan untuk Sabrina sampai wanita penggoda di hadapannya itu puas. Sementara, dirinya hanya menuntaskan hasrat dengan menyentuh diri sendiri. Dia tak berminat lagi melakukannya dengan Sabrina.
Sekembalinya dari kamar mandi, Sabrina telah tertidur pulas di ranjang. Leo pun memilih untuk tidur di sofa daripada tidur seranjang dengan Sabrina.
Pagi hari ketika bangun, Sabrina baru menyadari apa yang dia lakukan semalam. Dia membuka selimut dan menyadari betapa kacau kondisinya saat ini. Tanda-tanda yang terjadi seperti dia melakukan perselingkuhan dengan Leo. Namun, mengapa Leo tak tidur di sampingnya? Mengapa justru tidur di sofa?
Setelah berpakaian dengan baik, Sabrina menghampiri Leo yang masih terpejam. Melihat penampilan Leo saat ini, Sabrina menyadari apa yang dia lakukan semalam.
"Hi, kau bangun?" tanya Leo yang terbangun karena merasakan ada sosok di sisinya. Kewaspadaannya sebagai seorang pengawal pribadi membuat dia secara reflek melakukan hal itu bila ada yang diam-diam mendekatinya.
"Maafkan aku semalam!" ucap Sabrina malu.
"Tak masalah! Aku sudah tahu kau akan begitu," bisik Leo dengan tersenyum jenaka. Dia tak ingin menambah beban masalah Sabrina.
"Kembalilah pada suamimu! Kau tak akan bisa melupakannya. Aku jamin!" nasihat Leo berlawanan dengan apa yang dia katakan semalam. "Bertahanlah dengan perjanjian yang kamu lakukan dengan suamimu! Cinta harus diperjuangkan walaupun sakit!"
Tak lama, ponsel Sabrina berdering. Panggilan dari Adam. Sabrina ragu untuk mengangkat teleponnya. Namun, jemari Leo yang iseng memencet tombol answer untuk Sabrina. Matanya berkedip dan mengisyaratkan bahwa Sabrina harus bicara. Wanita yang masih tampak belum pulih dari hangovernya itu menurut dan menjawab panggilan suaminya dengan malas.
"Sabrina! Aku akan memperbaiki bulan madu kita!" seru Adam dalam bisikan. "Datanglah ke hotel yang alamatnya akan aku kirimkan padamu sebentar lagi. Kita akan bulan madu berdua saja di sana selama empat hari!"
Wajah Sabrina mendadak berubah cerah. Hatinya menghangat. Di kepalanya terbayang saat indah bersama Adam tanpa harus bersembunyi.
Leo memandang Sabrina dengan senyuman persahabatan. Dua jempol tangannya teracung ke arah Sabrina. Hal ini membuat Sabrina merasa tenang dan menyanggupi rencana Adam.
Setelah Sabrina berpamitan, dan minta maaf sekali lagi, Leo pun berkata sambil tersenyum penuh arti, "Adam adalah pria brengsek. Namun, aku akui dia mencintaimu dan berusaha memberikan yang terbaik untukmu! Wajar saja kau tak bisa lepas darinya."
Sabrina tersenyum dengan hati berbunga-bunga. Dia memeluk Leo dan mengucapkan terima kasih sebagai tanda persahabatan. Wanita itu berlari menuju kamarnya, menuruni tangga dengan senandung gembira. Dia benar-benar tak sabar untuk menghabiskan bulan madu eksklusif bersama Adam di tempat baru. Dia pun, kembali merasa optimis dengan hubungan yang dijalinnya dengan Adam. Sabar adalah kunci kebahagiaan!
Leo hanya memandangi Sabrina berlalu. Mulut Leo yang manis memang hanya bisa menyemangati orang-orang di sekitarnya. Dalam hati, dia tak menyukai apa pun yang dilakukan oleh Sabrina maupun Adam. Terlalu riskan.
Siang itu, Leo yang bosan, memilih untuk jalan-jalan di luar hotel. Dia menyusuri jalanan sambil melihat-lihat lingkungan sekitar. Banyak anak-anak jalanan yang sedang berkeliaran.
Tak lama, terlihat seorang wanita berkulit pucat berpakaian mini jumpsuit putih. Tampak kontras dengan rambut gelap panjangnya yang indah berkibar. Wanita itu keluar dari sebuah minimarket membawa sekardus besar susu dan biskuit. Dia tampak kepayahan. Tubuh langsingnya seperti tak sanggup menyangga beban yang dia bawa.
Leo hendak menolong, tetapi tidak sempat karena si wanita segera berhenti dan meletakkan kardusnya di bangku yang tak jauh dari minimarket. Wanita muda berkaki jenjang itu lalu melambaikan tangannya kepada anak-anak jalanan di sekitar tempat tersebut. Kontan saja, mereka yang tadinya mengamen dan mengemis segera menghentikan aktivitasnya dan menghampiri sang wanita muda.
"Kakak, aku minta dua!"
"Tante, aku mau ambil untuk keluargaku juga!"
"Bibi, aku ingin tiga untuk makan hari ini!"
Banyak anak berebut. Walaupun si wanita sudah berseru agar mereka jangan berebut, tetap saja anak-anak itu tak mau tertib. Alhasil, tak ada lima menit, makanan dan susu di kardus pun tandas. Banyak yang menangis karena tidak kebagian.
"Tenang, jangan menangis! Aku beli lagi! Kalian tunggu di sini, ya! Jangan ke mana-mana! Yang tertib," seru wanita itu dengan suara yang kini serak karena sibuk menertibkan anak-anak.
Entah mengapa. Leo tak bisa melepaskan matanya dari pemandangan yang menyentuh nurani itu. Kali ini, dia tak akan melepaskan kesempatan untuk menolong si wanita membawa kardus yang lebih besar lagi untuk dibagi ke anak-anak jalanan yang telah antre memanjang. Mereka butuh sekitar 10 kardus susu dan 10 kardus biskuit karena satu anak mengambil lebih dari satu.
Dalam hati, Leo membatin betapa baik hatinya si wanita karena dengan mudah mengeluarkan uang untuk berbagi dengan anak-anak yang tak dia kenal. Setelah selesai, Leo menyodorkan sekaleng minuman dingin kepada si wanita yang telah dia bantu. "Hadiah untuk kerja kerasmu!" ujar Leo dengan senyuman ramah khasnya.
"Terima kasih!" si wanita mengambil minuman soda dingin rasa jeruk dari Leo dengan senyum cerah yang mendamaikan hati siapa pun yang memandangnya.
Keringat yang mengucur di tubuh wanita cantik itu tak membuat Leo merasa risih, melainkan membuat si wanita semakin tampak atraktif. Karakternya tampak berbeda dengan Sabrina yang sensual, tetapi tak kalah menarik. Hati Leo yang kesepian pun tak kuasa untuk tidak berkenalan dengan bidadari tanpa sayap di hadapannya. Dia pun segera mengulurkan tangan dan berujar, "Leo!"
"Eh, maaf aku lupa memperkenalkan diri! Aku Maya!"
Mendengar nama Maya terucap dari bidadari di hadapannya, mata Leo menyipit. Apakah dunia ini benar-benar sempit? Apakah dia Maya yang sama dengan yang diceritakan Sabrina semalam?
Lima tahun telah berlalu sejak kepergian Maya. Kini, si kembar telah tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. "Paul, Freya! Ayo cepat turun dan habiskan sarapan kalian!" seru Adam dari bawah memanggil kedua anaknya yang terdengar ribut di atas saat berganti pakaian. "Ayah, Paul menyembunyikan bonekaku! Padahal aku ingin mengajaknya jalan-jalan saat menjemput Paman Leo di bandara!" jawab Freya dengan suara hampir menangis. Gadis kecil berambut gelap bergelombang itu semakin tampak mirip dengan ibunya seiring dengan bertambahnya usianya. "Bohong! Kamu sendiri yang lupa meletakkan di mana boneka kelinci jelekmu itu. Jangan menuduh sembarangan!" sanggah Paul dengan suara melengking. Mata gelap miniatur Adam itu memandang tajam saudarinya yang berukuran lebih mungil darinya. Dengan tubuhnya yang lebih kuat dan besar, dia memang kerap mengusili Freya. Sekalipun dia berkali-kali dihukum, mengusili kembarannya sudah bagaikan candu yang akan tetap dia lakukan tak peduli apa pun konsekuen
Adam memandangi kedua makhluk kecil yang ada di hadapannya dengan linangan air mata. Begitu kecil dan rapuh. Mereka membutuhkan selang-selang bantuan untuk hidup."Anak-anakku ...." Kata-kata yang Adam bisikkan dengan penuh perasaan, membuat Leo merasa keputusan Maya untuk menyerahkan bayi-bayinya kepada ayah kandungnya adalah pilihan yang tepat.Darah lebih kental daripada air. Begitulah. Adam pun menyayangi kedua anaknya karena mereka adalah darah dagingnya sendiri."Dia begitu bahagia saat mendengar bahwa dia mengandung anak kembar. Aku pun begitu. Sampai-sampai aku mengumpat betapa beruntungnya dirimu," jelas Leo mengenang saat-saat Maya bersorak mengetahui jenis kelamin bayinya. "Seandainya saat itu dia hamil dengan pria yang tulus mencintainya, pasti akan sangat membahagiakan. Tahukah kau perasaan Maya saat melihat kau dan Sabrina bergembira saat tahu jenis kelamin bayi kalian?"Ada
Dua bayi, lelaki dan perempuan yang berpelukan di ruang NICU itu berukuran sangat kecil. Yang lelaki beratnya 656 gram, sedangkan lainnya 533 gram. Banyak selang menempel di tubuh kecil mereka demi memperjuangkan detak jantung keduanya.Kulit mereka begitu keriput. Begitu kurus seperti hanya tulang dan kulit tanpa selapis daging pun. Bila orang berkata bahwa bayi sangat lucu, pemandangan yang disaksikan mata hijau pria kekar yang mengamatinya dari kaca luar ruangan tidak demikian. Mereka berdua jauh dari kata lucu. Seperti alien. Seperti bukan manusia.Kesedihan masih belum bisa lepas dari hati Leo. Melihat mereka berdua membuat Leo teringat akan sang ibu yang telah berjuang mempertahankan nyawa mereka. Usaha telah dilakukan sebaik mungkin walau hasilnya tak sempurna, seperti yang diinginkan oleh semua pihak."Maya, mereka akan berterima kasih padamu suatu hari nanti," bisik Leo dengan suara yang bergetar hebat karena menahan air mata."Paul, Freya .... J
Dapur kecil sebuah di sebuah apartemen mungil milik lelaki menawan berbadan atletis, kini dipenuhi dengan aroma butter yang menggoda. Tak hanya aroma makanan yang membuat air liur menetes, tapi ada pemandangan lain yang tak kalah menggiurkan. Celana training pria yang sedang beraksi di dapur tersebut menggantung terlalu rendah di bagian pinggang, membuat wanita mana pun yang memandang tak akan bisa melewati harinya tanpa merasa kepanasan karena terbayang pemandangan indah itu sepanjang hari. Andai saja ada seorang wanita di sana, pasti kelima indranya akan dimanjakan dengan kenikmatan duniawi karena suara pria yang sedang memegang wajan dan tongs itu pun akan membuat hati semua kaum hawa berdesir bila sedang berbicara. Jangan tanya bagaimana sensasi yang dirasa bila suara merdu itu berbisik di telinga, sudah bisa dipastikan para bidadari dunia akan melayang walaupun tak ada sayap yang menempel di punggungnya. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat waj
Pukulan Adam yang pertama mengenai wajah Leo. Namun, yang kedua tentu berhasil ditangkis oleh lawannya."Adam! Hentikan! Mengapa kau tiba-tiba memukul Leo!" jerit Maya berusaha menghentikan amukan Adam.Adam tak peduli. Dia masih berusaha menghajar Leo. Sementara Leo yang sebenarnya dapat dengan mudah menghabisi lawannya, hanya sibuk menangkis dan menahan serangan Adam. Tak sampai hati dia memukul Adam karena ada Maya di sampingnya."Hei! Mengapa kau berbuat sembarangan seperti ini? Ingatlah kita sedang di rumah sakit!" bisik Leo pelan tapi tegas."Kau apakan Sabrina, huh? Seorang saksi mengatakan istriku jatuh setelah pria berambut pirang dengan tubuh besar membuatnya ketakutan!" balas Adam dengan geram. "Siapa lagi kalau bukan kau!"Leo pun mengernyit. Dia bingung dengan pertanyaan Adam. Dia memang sempat bersitegang dengan Sabrina. Namun, apakah semengerikan itu sampai-sampai membuat kondisi Sabrina dalam keadaan kritis?"Kamu! Kamu pasti
Sabrina berjalan menyusuri koridor perlahan karena merasakan sakit di perutnya. Dia tak menyangka bahwa kegiatan hari ini membuatnya kelelahan. Bagaimanapun juga, berjalan kaki sejauh dua kilometer dari apartemennya ke rumah sakit bukan tugas mudah untuk wanita hamil sepertinya.Dering ponsel yang lembut pun membuat Sabrina terkaget. Dia lalu mengangkat telepon yang berasal dari suaminya. Dalam hati, Sabrina sangat cemas. Dia takut Adam sudah sampai di rumah lebih dulu dan mendapati apartemen mereka kosong."Sabrina, kamu di mana?" tanya Adam dari ujung telepon dengan suara cemas."Aku ... aku keluar sebentar. Suplemen penambah darahku habis." Sabrina menjawab dengan sedikit tergagap karena dia tak meminta izin kepada Adam bahwa dia akan menemui Maya hari ini. Jika suaminya tahu, pastilah akan menentang aksi frontalnya kali ini. Bagaimanapun juga, Adam akan menganggap dirinya mengemis kepada Maya untuk memperbaiki kondis