Share

DIA LAGI?

2

“Dasar duda meresahkan!” Aku terus menggerutu sembari mengacak rambut dengan kesal. Walaupun sudah menganggap ucapan ayahnya Prisa hanya angin lalu, tetapi tak ayal pikiran ini terganggu.

Bagaimana kalau benar dia datang ke rumah, menemui ibu dan ayah, terus melamarku?

“Aarghhh ….” Lagi, aku mengacak rambut. Apa yang akan dipikirkan orang tuaku nantinya? Bagaimana kalau mereka mengira aku dihamili Om Pandu? Atau mereka menyangka aku dihamili Dimas, tapi Dimas tidak mau bertanggung jawab, terus yang nikahin malah ayahnya Prisa?

Idih, amit-amit. Masa iya aku harus nikah sama duda. Dudanya ayahnya Prisa lagi. Apa kata dunia? Helo, Alvina apa kamu sudah tidak laku lagi sampai harus nikah sama Om-om? Ingat, dia ayahnya Prisa. Pantasnya jadi ayahmu juga.

Tapi kan, dia masih ganteng. Walaupun sudah empat puluhan, dia masih gagah, masih tampan, kaya lagi. Rumah makannya saja memiliki cabang di seleuruh sudut kota. Sisi hatiku yang lain terus mempengarungi. Mungkin itu diriku yang versi berwarna merah dan bertanduk.

Sementara sisi diriku yang memakai jubah putih terus mengatakan jika ini tidak benar. Kamu punya Dimas, pacar yang sudah setahun ini mendampingimu. Dimas juga ganteng, romantis, masih muda lagi. Jauh ke mana-mana. Hanya satu kelemahan Dimas, ia belum bekerja.

Aku semakin mengacak rambut karena frustrasi. Bukan tanpa alasan jika aku dibuat pusing, karena sepertinya Om Pandu tidak main-main dengan ucapannya. Raut serius sangat kentara di wajahnya kemarin. Walaupun tetap mengucapkan dengan santai.

Ah, kenapa aku tidak menelepon Dimas saja? Kuadukan jika ada om-om yang mau melamarku. Siapa tahu dengan begitu Dimas bergerak cepat. Ia segera melamarku juga sama Ayah. Karena sebenarnya cita-citaku memang menikah muda.

Aku meraih ponsel di atas nakas, kemudian mulai mencari nama Dimas di list kontak. Menghubunginya dengan semangat. Namun, berkali-kali kucoba menghubungi nomor itu, selalu berakhir sama. Hanya dijawab operator.

Ke mana Dimas? Kenapa sejak kemarin nomornya tidak bisa dihubungi? Padahal ini masalah penting. Jangan sampai ia keduluan om duda itu menemui orang tuaku. Sayangnya, bahkan hingga berpuluh kali aku menghubunginya, nomor Dimas tak kunjung aktif. Anehnya lagi, saat kucari berbagai sosial media miliknya dengan akunku, aku tidak adapat menemukannya.

Apa ini artinya aku diblokir?

**

"Kita mau ke mana, sih?" tanyaku saat kami dalam perjalanan. Sore ini Prisa datang ke rumah saat aku masih dilanda kebingungan. Ia mengatakan ingin diantar ke suatu tempat. Dan aku tidak bisa menolaknya karena katanya ia harus mengerjakan sesuatu yang sangat penting.

"Nanti juga tahu!” Prisa menjawab singkat sambil terus menekuri ponselnya. Sesekali ia tersenyum menatap layar benda pipih itu, lalu tertawa lepas. Aku hanya mendengkus pelan lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ternyata, sifat pecicilan Prisa itu menurun dari Om Pandu, papanya. Setidaknya itu yang kutangkap dari pertemuan pertamaku dengan Om Pandu kemarin.

Dulu, kukira papanya Prisa itu seumuran ayah, usia enam puluhan. Ternyata ia masih muda. Hanya terpaut dua puluh tahun dengan anaknya. Terlihat lebih muda karena ia suka olahraga. Terbukti di rumahnya ada ruangan khusus dengan berbagai alat kebugaran.

Prisa pernah bercerita orang tuanya menikah di usia muda. Saat emosi masih labil dan ego masing-masing masih tinggi, ditambah faktor ekonomi yang belum mapan. Mungkin karena itu mereka akhirnya bercerai saat Prisa masih sangat kecil, hingga akhirnya gadis itu hanya diasuh sang papa. 

Om Pandu hebat, bisa membesarkan anak seorang diri, sambil membangun usaha hingga mapan seperti sekarang. 

Tunggu! Kenapa aku jadi memikirkan Om Pandu? Jangan bilang kalau ... ih, apa sih, Alvina?Payah, katanya tidak mau, tapi terus saja dipikirin.

Aku menggeleng sambil mengibaskan tangan di depan wajah. 

"Kenapa, Al?" tanya Prisa tiba-tiba dengan jarak wajah sangat dekat. "Dari tadi senyum-senyum, geleng-geleng, kibas-kibas. Kamu sakit?" lanjut gadis itu seraya menempelkan punggung tangannya di keningku.

Aku menepisnya cepat. 

"Kayaknya aku mabuk laut, Pris," jawabku asal untuk menyembunyikan malu. 

"Mabuk laut?" Prisa keheranan. 

Aku mengangguk pasti. 

"Tapi, kita, kan ... di darat.” Ia menatap bingung. 

Aku mengulum senyum melihat raut wajahnya. 

"Aku tahu, kamu bukan mabuk laut," katanya lagi sambil menjentikkan jari. 

"Lalu?"

"Mabuk ... mabuk duda, haha ...." Tawa Prisa membahana, tetapi tak lama kemudian meringis saat kakinya kuinjak.

"Rasain!" omelku pelan. 

"Galak banget ibu tiri!" gerutunya. 

"Kamu bilang apa?" Aku mendelik. 

Prisa refleks menutup mulutnya sambil menggeleng. 

"Sudah, yuk, turun! Sudah sampai dari tadi!" ajaknya sambil membuka pintu taxi. Aku mengikutinya turun. Namun kemudian mengernyitkan kening saat menyadari kami berada di mana.

"Yaelah, jadi kita cuma mau makan doang? Kamu minta diantar hanya buat makan?" tanyaku setelah kami berada di depan sebuah rumah makan yang cukup ramai. Kuedarkan pandang mengamati sekeliling restoran yang terlihat sangat cantik dan elegan. Pasti pemiliknya memiliki selera tinggi.

"Di rumahku enggak ada makanan, Al. Aku lapar," jawab Prisa memelas. Aku kasihan melihatnya.

"Aku bisa masak buat kita, Pris." Aku membelai pundaknya. Tapi jika dipikir-pikir, buat apa kasihan? Walaupun tidak punya ibu, di rumahnya ada pembantu yang mengerjakan pekerjaan rumah.

"Memangnya kamu bisa masak?" Ia menatap sangsi.

"Bisa!"

"Masak apa?" 

"Mie instan."

Prisa memutar bola mata malas mendengar jawabanku. Lalu, menarikku memasuki bangunan yang ternyata di dalam terasa sangat luas. Di pintu, seorang pelayan menyambut kami dengan ramah. 

"Selamat datang, Mbak Prisa.”

Aku takjub, pasti Prisa sering datang ke sini sampai pelayan saja mengenalnya. 

Prisa mengajakku duduk di meja agak sudut dekat jendela. Lebih privacy katanya. Entahlah, dia mau apa, seperti mau pacaran saja. Padahal kami hanya mau makan, bukan?

Aku duduk dekat jendela dengan pandangan menyapu keluar. Sebuah taman kecil dengan air mancur dan bunga warna-warni di luar sana, memanjakan mata.

"Baru datang, Sayang?" Sekonyong-konyong suara seseorang terdengar dari belakang kami. Dan aku mengenali suara itu.

Aku dan Prisa menoleh bersamaan ke asal suara. Dan ….

Ya Tuhan, dia lagi? 

Aku sontak membalikkan badan kembali menghadap meja, membelakanginya. Karena di sana berdiri duda meresahkan yang katanya ingin meminta tanggung jawabku.

Dadaku mendadak berdebar sangat keras karena jantung di dalamnya terasa melompat-lompat. Kenapa, ya, hal ini selalu terjadi setiap kali aku bertemu Om Pandu? Padahal dia pakai baju sekarang. 

Kuketuk-ketuk ujung telunjuk di meja untuk membuang grogi yang tetiba menyerang. Kaki juga kuhentak pelan agar tidak kentara jika aku salah tingkah. Duh, Om Pandu kenapa harus ada di sini, sih? Apa dia menyusul kami? Mau apa?

Dipikir-pikir, kenapa aku segrogi ini? Seolah belum pernah mengenal laki-laki.

“Mau makan apa? Ada menu special buat calon nyonya bos di sini.”

Aku mengerjap sebelum melirik Prisa yang cengengesan geli. Pertanyaan Om Pandu barusan ….

"Menu di sini enak-enak, loh. Apalagi buat calon nyonya bos, spesial pokoknya,” lanjut Om Pandu lagi yang tidak aku mengerti. 

Aku menatap Prisa dan Om Pandu yang tersenyum penuh arti melihatku kebingungan, mereka tertawa bersama. 

"Ini rumah makan papaku, Al. Nyantai aja. Kita bisa makan sepuasnya, menu spesial pakai cinta," goda Prisa lagi masih dengan cekikikan.

Aku mengerjap lagi. Tunggu! Ini rumah makan Om Pandu? Nyonya bos, menu special, pakai cinta? Apa maksudnya?

Aku meraih tangan Prisa, kemudian menariknya agar menghadapku.

“Pris, aku enggak ngerti. Apa maksudnya ini? Calon Nyonya bos. Menu special pakai cinta? Apa itu?”

Prisa mengibaskan tangan dengan jengah. “Yaelah, gitu aja masa eggak ngerti. Itu artinya sebentar lagi kamu jadi ibu sambungku, Alvina. Karena papaku besok mau melamar kamu.”

“Apa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status