"Lo udah kirim barang yang gue minta tadi pagi, Mir?" tanya Malik pada sang Asisten, Emir. Saat itu Malik sedang break syuting.
"Yes, sesuai permintaan. Satu pasang pakaian cewek lengkap sampe ke daleman, Hp baru sama duit," jawab Emir dengan nada jengkel.Malik menganggukkan kepalanya dan berterima kasih pada sang asisten.Emir menatap Malik penuh menyelidik. "Siapa cewek itu Lik?" tanya Emir pada akhirnya. Selama ini, Emir bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain, tapi jika hal itu sudah mengarah ke hal-hal yang berbau negatif, Emir tidak akan tinggal diam. Bukan karena dia sok tahu, tapi karena dia perduli.Hubungan persahabatan antara Emir dan Malik sudah terjalin sejak mereka SMP. Itulah sebabnya, keduanya sudah seperti saudara.Malik sengaja memperkerjakan Emir sebagai asistennya karena tahu kehidupan perekonomian Emir yang memang jauh di bawahnya. Emir itu orang yang paling anti dibantu, selama dia merasa masih bisa berusaha sendiri, itulah alasan mengapa pada akhirnya Malik memilih Emir menjadi asistennya. Selain rasa saling percaya, Malik pun merasa nyaman bersama Emir. Semua rahasianya selama ini aman. Termasuk, dirinya yang mengalami penyakit Impoten sejak Kinara meninggal.Hanya Emirlah yang menjadi satu-satunya tempat bagi Malik mencurahkan segala macam keluh kesah problematika hidupnya yang rumit."Bukan siapa-siapa, gue juga nggak kenal," jawab Malik jujur. Batin lelaki itu terus bergejolak hebat, berpikir keras, apakah dia harus menceritakan pada Emir mengenai kebejatannya tadi malam terhadap wanita itu?Terhadap wanita yang bahkan tidak dia kenal, tapi dengan begitu berani dia malah menodainya.Malik meraup wajahnya, gusar.Sejak tadi dia tidak bisa berkonsentrasi dengan baik saat syuting hingga melakukan beberapa kesalahan. Untung saja tidak fatal."Kalau nggak kenal kenapa tuh cewek bisa nyasar ke kamar lo?" tanya Emir lagi. Curiga.Malik menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Dada lelaki itu bergemuruh menahan beban rasa bersalah yang teramat sangat.Sebut Malik bodoh!Ya, Malik memang manusia super bodoh yang sudah kalah dengan nafsunya sendiri.Nafsu iblis yang membawanya pada jurang penyesalan yang mendalam.Tak Malik pungkiri, dia sangat menikmati kejadian tadi malam hingga dia melakukan hal itu berulang-ulang. Setan sudah benar-benar membuatnya buta dan khilaf.Padahal selama ini, Malik tak pernah bersikap kurang ajar pada wanita mana pun.Malik menegakkan tubuhnya condong ke arah Emir. Dia menatap ke sekeliling tempat di mana dirinya dan Emir saat ini duduk.Di sana memang ramai, tapi semua orang yang menjadi kru terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Sepertinya, Malik tidak bisa merahasiakan hal ini dari Emir lebih jauh. Dia butuh teman untuk membagi masalahnya. Membantunya mencari jalan keluar agar dia tidak terus menerus dihantui perasaan bersalah.Malik menatap Emir lekat dan berbisik."Gue udah memperkosa cewek itu, Mir!"Emir pun tertegun mendengarnya.*****Sore harinya selepas syuting, Emir mengajak Malik untuk membicarakan lebih lanjut perihal kejadian tadi malam yang telah dilakukan sahabat sekaligus bosnya itu.Mereka memilih kediaman Emir sebagai tempat yang paling aman untuk membicarakan hal-hal yang berbau rahasia."Silahkan diminum kopinya Mas Malik," Lani, istri Emir mempersilahkan sang tamu untuk meminum kopi yang dia suguhkan."Iya, terima kasih Lan," jawab Malik yang juga sudah kenal dekat dengan Lani.Sepeninggal Lani, Emir kembali mengintrogasi Malik."Lo serius Lik, udah perkosa tuh cewek? Tapi bukannya lo..." Emir menggantung kalimatnya. Merasa tak enak untuk meneruskan karena hal ini memang sangat memalukan bagi seorang lelaki."Justru karena hal itu, gue pada akhirnya nggak bisa nahan diri, Mir! Cewek itu mabok, dan berada dalam pengaruh obat perangsang, dia agresif banget. Dan anehnya, sentuhan tuh cewek bikin punya gue turn on! Gue juga bingung kenapa bisa begitu?" tutur Malik menjelaskan.Emir cukup terkejut mendengar pengakuan Malik. Hal ini memang terdengar tidak masuk akal, karena sebelumnya yang Emir ketahui, Malik bahkan sudah digugat cerai empat kali oleh istri-istrinya karena lelaki itu lemah syahwat. Jadi, mana mungkin dia bisa turn on dengan begitu tiba-tiba oleh wanita yang bahkan tidak dia kenali?"Lo bener-bener nggak kenal sama tuh cewek?" tanya Emir lagi."Nggak! Dia nggak bawa apapun pas ketemu gue tadi malem," jawab Malik jujur."Terus gimana cerita awalnya dia bisa masuk ke kamar lo?""Jadi gini..."Malik pun menceritakan kronologi kejadian yang dia alami tadi malam di hotel, sampai pada kejadian kecelakaan saat dia bertemu dengan wanita itu untuk pertama kalinya di jalanan. Tak ada sedikit pun hal yang dia sembunyikan dari Emir."Lo kan punya nomornya, coba lo hubungi?" perintah Emir setelahnya."Terus, gue harus ngomong apa? Kalo gue jujur, terus dia lapor polisi gimana, Mir?" balas Malik khawatir."Semua perbuatan itu harus ada pertanggung jawabannya Lik, lo nggak bisa lari dari tanggung jawab lo yang udah menodai wanita yang sedang mabuk. Jangan jadi pengecut!" saran Emir telak. "Kalau lo nggak mau di penjara, satu-satunya cara untuk lo memperbaiki semuanya, ya dengan cara menikahi cewek itu."Kedua bola mata Malik terbelalak lebar. "Nikahin tuh cewek? Gila kali lo! Nggak ada saran lain apa?""Sayangnya nggak ada. Pilihannya cuma dua, lo tanggung jawab dengan menikahi cewek itu, atau lo bakal masuk penjara! Pilih mana?""Kalo gue di penjara, lo bakal kehilangan pekerjaan, Mir!" ancam Malik agar Emir tak terus menyudutkannya."Pekerjaan masih banyak kali," jawab Emir dengan santai. "Gue tinggal cari pekerjaan lain! Lagipula, kalau memang lo tetap kekeuh pada pendirian lo untuk lari dari tanggung jawab, gue juga akan memilih untuk mundur jadi asisten lo!""Kok lo gitu sih?" Malik semakin serba salah. Dia tahu betul watak Emir yang memang paling anti berhubungan dengan lelaki brengsek yang suka mempermainkan hati wanita. Emir itu sosok lelaki religius yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Itulah sebabnya dirinya dan Emir bisa menjalin hubungan baik sampai sekarang, karena sejak awal sikap mereka terhadap perempuan memang sama, sama-sama menghormati dan menghargai."Lo tau guekan? Kalau dulu gue merasa prihatin dan simpatik sama kehidupan lo sejak Kinara meninggal, tapi setelah mendengar tentang apa yang udah lo lakuin tadi malam itu bener-bener buat gue ilfeel, Lik! Jujur gue kecewa sama lo, kok bisa-bisanya lo ambil kesempatan dalam kesempitan dengan memperkosa perempuan mabuk!" Emir jadi geleng-geleng kepala.Malik mengesah. Dia menegakkan posisi duduknya, berupaya untuk menjelaskan kembali apa yang sudah dia alami dan rasakan selama ini."Oke, gue akui gue emang brengsek! Tapi, lo nggak pernah ngerasain jadi gue, Mir! Tujuh belas tahun, Mir! Tujuh belas tahun gue hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah gue terhadap Kinara! Dan semua itu nggak mudah untuk gue lalui! Gue udah coba untuk berdamai dengan diri gue sendiri, bahkan gue berusaha membuka hati gue buat orang lain, mengajak mereka menikah dengan harapan gue bisa kembali menjalani kehidupan normal seperti laki-laki kebanyakan, tapi apa? Pada akhirnya gue cuma bisa menelan kekecewaankan? Bahkan dari semua perempuan yang udah gue nikahi, nggak ada yang bisa bertahan lebih dari satu tahun hidup sama gue!""Intinya apapun itu alasannya, lo tetap salah dan harus bertanggung jawab kalau lo mau hidup lo berubah menjadi lebih baik," potong Emir yang tetap dengan pendiriannya. Meski dalam hati dia merasa begitu prihatin dengan takdir kehidupan yang dijalani sahabatnya itu, namun Emir tetaplah Emir yang berusaha memutuskan hal terbaik bagi masalah yang sedang dialami Malik saat ini."Tapi gue udah janji sama Aryan untuk nggak menikah lagi, Mir," ucap Malik putus asa.Mendengar nama Aryan disebut, Emir jadi serba salah. Sebagai orang terdekat, Emir jelas tahu bagaimana sikap Aryan terhadap Malik selama ini."Kita kesampingkan dulu masalah Aryan. Intinya, sekarang, lo temui dulu baik-baik cewek itu. Bicarakan semuanya secara baik-baik dulu, gimana?"Malik terdiam.Hingga akhirnya, lelaki itu mengangguk juga.Malam itu, diantar oleh Emir, Malik berusaha menghubungi wanita itu melalui nomor ponsel yang dia berikan tadi pagi di kamar hotel.Sayangnya puluhan kali Malik mencoba hubungi tapi tak kunjung ada jawaban.Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melacak keberadaan ponsel itu saat ini.Setelah mengikuti petunjuk, akhirnya Malik dan Emir sampai di sebuah Gang bernama Gang Belimbing.Karena lokasi gang yang sempit akhirnya Malik memparkirkan kendaraannya di tepi jalan. Keduanya berjalan kaki memasuki Gang tersebut.Sampai di sebuah rumah sederhana paling ujung, Malik memberitahu Emir bahwa di sinilah lokasi keberadaan ponsel tersebut.Bendera kuning dan tenda yang terpasang di sana menandakan bahwa si pemilik rumah kini sedang berduka.Tak ingin mengulur waktu, Emir langsung berinisiatif untuk bertanya pada warga setempat."Permisi Pak, ini siapa yang meninggal ya?" Tanya Emir pada salah satu pelayat."Ibunya Isna, Mas," jawab si Bapak tua itu."Isna? Isna itu pemilik rumah ini?" tanya Emir lagi."Iya, dia anak pertama Pak Dharma dan Ibu Sari. Pemilik rumah ini."Emir menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kalau boleh tau, meninggalnya kenapa Pak? Sakit?" tanya Emir lebih lanjut."Bukan, Ibu Sari itu sehat awalnya. Dia meninggal karena jatuh dari kamar mandi. Pembuluh darah otaknya pecah dan dia tidak tertolong. Kasihan sih, padahal selama ini, dia yang cari uang jadi kuli gosok dan cuci untuk biaya kehidupan keluarganya semenjak suaminya kecelakaan," jelas si Bapak panjang lebar.Setelah mendapat cukup informasi, Emir pun berterima kasih pada bapak itu.Kini, kedua lelaki itu berembuk untuk memutuskan apa yang akan mereka lakukan setelah ini.Dan hasilnya, Emir meminta Malik untuk menunggu sampai acara tahlilan itu selesai dan para warga pulang.Pukul sembilan malam, kediaman Isna sudah sepi.Malik dan Emir pun hendak menyambangi kediaman Isna, namun lagi-lagi mereka justru dikejutkan dengan suara bentakan dan bantingan beberapa barang yang terjadi dari dalam rumah Isna.Dan betapa terkejutnya Malik dan Emir ketika mendapati beberapa lelaki bertato dengan tubuh besar layaknya preman pasar kini sedang memporak-porandakan kediaman Isna."Ini udah jatuh tempo! Kalian harus bayar hutang kalian! Kalau tidak rumah ini kami sita!" teriak salah satu lelaki itu."Saya akan segera lunasi hutang-hutang kami, tolong beri kami waktu sedikit lagi, tolong..." terdengar suara Isna berteriak.Isna dan Hasna hendak menghalangi aksi premanisme para penagih hutang yang hendak menghancurkan barang-barang mereka tapi tubuh Isna yang justru malah ikut terkena sasaran amukan mereka.Tubuh Isna terdorong keluar dari rumahnya hingga kepalanya terbentur lantai dan berdarah.Isna menangis tersedu-sedu.Seorang lelaki yang tiba-tiba mendekatinya dan membantunya bangkit membuat Isna terkejut."Kamu?" gumam Isna dalam ketidakberdayaannya.Bagaimana ini?Belum selesai masalah dengan para debt collector itu, kini Isna harus berhadapan dengan lelaki yang sudah dia tabrak mobilnya kemarin malam.Pasti, lelaki ini pun hendak meminta ganti rugi padanya?Isna benar-benar bingung."Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van