Share

6. AJAKAN MENIKAH

"Kamu?" kata Isna kaget begitu dilihatnya sosok lelaki yang tiba-tiba mendatangi kediamannya.

Lelaki itu adalah lelaki yang sudah dia tabrak mobilnya kemarin malam.

Pasti sekarang lelaki itu datang untuk meminta ganti rugi?

Bagaimana ini?

Isna benar-benar bingung.

"Ng... Maaf," gumam Isna yang benar-benar tak tahu harus bicara apa. Keadaan hidupnya yang begitu memprihatinkan membuatnya cukup malu.

Isna hendak bicara namun tertahan saat dilihatnya gerakan Malik yang tanpa di sangka-sangka justru menerobos masuk ke dalam rumahnya dan menahan aksi para debt collector yang hendak memporak-porandakan seluruh isi perabotan milik Isna di dalam sana.

"Saya yang akan melunasi semua hutang-hutang keluarga ini, tolong hentikan aksi kalian," ucap Malik saat itu.

Isna, Hasna dan Dharma jelas terkejut dan hanya bisa saling melempar pandang.

"Mari, kita bicarakan baik-baik di luar," kata Malik lagi meminta para debt collector itu mengikuti langkahnya keluar karena rumah itu yang begitu sempit.

Mereka duduk di bangku tenda di depan rumah Isna untuk menyelesaikan masalah hutang piutang itu.

Hasna mendorong kursi roda sang Ayah keluar. Wanita itu berdiri di sisi Isna seraya berbisik pada sang Kakak. "Itu siapa, Mba? Mba kenal?"

"Nggak," jawab Isna dengan suara pelan disertai gelengan kepala.

Hasna kembali memperhatikan sosok Malik dengan tatapannya yang meneliti, hingga kedua mata gadis itu membelalak lebar. "Diakan Chef Malik, Mba? Chef terkenal itu," bisik Hasna lagi pada sang Kakak.

Kening Isna berkerut. "Chef terkenal?" tanyanya bingung.

"Iya, Chef Malik. Waktu itu berita seputar kehidupan dia sempet Viral di medsos yang bilang kalau dia itu lelaki tukang kawin! Satu tahun menikah, terus cerai, tahun besoknya menikah lagi, terus cerai lagi, nggak tahu deh mantan istrinya udah berapa."

Tangan Dharma menepuk tangan Hasna memberi kode untuk tidak menggosipi orang lain saat orang itu ada di hadapan mereka. Hasna pun langsung terdiam. Sementara Isna masih larut dalam ketidakmengertiannya tentang siapa sebenarnya sosok lelaki yang sudah ditabraknya itu.

Sejauh ini, kehidupan Isna terlalu disibukkan dengan pekerjaan hingga dia tak ada waktu untuk bersantai-santai ria larut dalam dunia maya.

Setiap harinya, Isna selalu bangun pagi sebelum shubuh untuk pergi ke pasar. Lalu dia memasak lauk pauk untuk dimakan seluruh keluarganya sekalian membuat kue untuk dijual ke warung pinggir jalan yang menyajikan kue-kue basah dan nasi untuk sarapan pagi.

Lalu jam delapan pagi Isna sudah harus berangkat bekerja. Isna bekerja di sebuah rumah sakit sebagai cleaning service. Alasan mengapa Isna memilih rumah sakit sebagai tempatnya bekerja, karena dia yang memang sangat ingin menjadi seorang dokter. Tak apalah cita-citanya itu tak terwujud, setidaknya dia bisa tetap berkecimpung di rumah sakit setiap harinya dan melihat para dokter dan suster yang berseliweran di sekelilingnya dengan seragam putih kebanggaan mereka.

Sepulang bekerja, pukul empat sore, Isna langsung bergegas menuju sebuah restoran di bilangan Kemang Jakarta untuk kembali melanjutkan tugasnya sebagai seorang waitress paruh waktu. Dan pekerjaan ini akan selesai paling cepat pukul sepuluh malam dan paling lambat pukul dua belas malam.

Begitulah seterusnya rutinitas yang Isna jalani setiap harinya. Bahkan di hari libur pun Isna harus tetap bekerja membantu Ibunya mencuci dan menggosok pakaian tetangga.

Isna bekerja keras sedemikian rupa bukan karena semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, namun karena dia ingin melihat adiknya sukses. Tidak seperti dia yang harus memendam cita-cita karena terhalang biaya dan keadaan. Isna rela dirinya berlelah ria bekerja asal semua biaya pendidikan sang adik terpenuhi.

Hasnalah satu-satunya harapan Isna selama ini. Harapan bahwa suatu hari nanti Hasna berhasil dalam menapaki jenjang pendidikan hingga tahap yang tertinggi dan mampu membanggakan Bapak dan Ibu mereka.

"Baiklah, Pak Dharma, Mba Isna, hutang kalian sudah beres. Lain kali jika memang kalian hendak meminjam uang lagi, tolong segera dilunasi jika tidak ingin kejadian seperti ini akan terulang kembali, permisi," ucap salah satu debt collector tadi yang langsung pergi diikuti oleh kelompoknya.

Malik dan Emir tampak berjalan mendekati Isna dan keluarga yang masih terdiam di teras.

"Terima kasih, Nak. Sudah membantu. Biar nanti uang-uang yang sudah kamu keluarkan untuk melunasi hutang-hutang kami, Isna, anak saya yang akan menggantinya," ucap Dharma selaku kepala keluarga.

Malik tersenyum. "Tidak apa-apa Pak. Uang itu tidak usah diganti. Saya ikhlas," kata Malik.

Lagi dan lagi Dharma, Isna dan Hasna dibuat kaget dengan perkataan Malik.

Jelas-jelas hutang mereka pada debt collector itu sangat banyak, hingga puluhan juta, mana mungkin lelaki yang tak mereka kenal begitu baik hati bersedia melunasi semua hutang-hutang itu secara cuma-cuma.

Pasti ada udang di balik batu?

Pikir Isna yang langsung bernegative thingking.

Jelas-jelas kemarin malem, nih om-om ngotot banget minta ganti rugi sama aku cuma gegara mobilnya yang lecet sedikit! Tapi malam ini dia justru dateng bak malaikat dan ngelakuin hal yang bertolak belakang banget sama apa yang dia lakukan kemarin?

Aku nggak boleh percaya gitu aja!

Ucap Batin Isna.

Setelah mengucapkan terima kasih dan meminta Hasna membawa sang Ayah ke dalam, Isna mengajak Malik untuk bicara secara rahasia, hanya dirinya dan Malik saja, bahkan Isna tak mau Emir ikut campur.

"Mobil Om di mana?" tanya Isna saat itu.

"Di pinggir jalan," jawab Malik.

"Yaudah, kita bicara aja di mobil!" Isna langsung menarik tangan Malik keluar dari gang rumahnya dan membiarkan Emir menunggu di tenda depan kediamannya.

"Maaf Om, ini sebenarnya ada apa ya? Kenapa Om dateng tiba-tiba ke rumah saya terus sok-sok baik lunasin semua hutang keluarga saya, secara cuma-cuma lagi? Sebenernya, Om itu mau apa sih?" tanya Isna to the point begitu keduanya kini sudah berada di dalam mobil.

Malik terdiam.

Bukan karena dia tidak tahu harus bicara apa, tapi karena dia terlalu larut dengan perasaan aneh yang terus dia rasakan, tepatnya sejak jemari Isna yang tiba-tiba dengan leluasa menggamit jemarinya dan menggenggamnya erat. Menuntunnya hingga ke lokasi di mana Malik memparkirkan mobil.

Sentuhan Isna membuat pikiran Malik kacau terlebih saat tubuhnya yang terus merasakan getaran-getaran aneh yang menggelitiki area perut dan selangkangannya.

Sentuhan Isna layaknya sengatan listrik ribuan volt yang mampu membuat Malik tegang bahkan hanya dalam hitungan detik.

Malik membuka cardigannya saat suhu di dalam mobilnya terasa panas. Dia menaruh cardigan itu dipangkuannya, berusaha menutupi sesuatu di balik celananya yang saat itu mengeras hingga membuat celana itu menjadi lebih sempit dan sesak.

"Om, jawab dong!" Isna kembali berteriak. Bukan hanya berteriak, tapi dia juga memukul paha Malik, membuat lelaki itu terkejut setengah mati.

Malik menoleh dan menatap Isna dengan deru napasnya yang kian memburu, terbakar oleh nafsu.

Sepertinya, benar apa yang dikatakan Emir padanya.

Malik harus lekas meresmikan hubungannya dengan Isna.

Dia harus menikahi perempuan ini sebelum kekhilafannya menjadi lebih fatal lagi.

HARUS!

"Menikah dengan saya Isna? Anggap saja itu bayaran atas semua hutang-hutang keluargamu yang sudah saya lunasi."

Pada akhirnya, Malik tetap tak bisa berkata jujur tentang apa yang sudah dia lakukan terhadap Isna tadi malam.

Dia memang pengecut!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status