"Sudah enam dukun kudatangi, tapi sama saja ...."
Wanita berambut pirang menghela napas kasar. Nampak seakan putus asa.
"Sampai saat ini dia masih sehat. Paling sakit sebentar setelah itu sembuh lagi," keluhnya kemudian.
Di hadapannya, lelaki tua berpakaian serba hitam mendengar dengan saksama.
Keduanya duduk bersila di atas tikar. Sementara kemenyan masih tercium dari dulang aluminium yang baranya hampir padam.
"Apa yang kau inginkan darinya?" tanya si lelaki, mengelus janggut panjangnya. Ia menambah dua potong kemenyan ke atas dulang dan asap kembali menebal.
"Kematian!" tegas wanita yang diketahui bernama Lastri.
Sejenak menerawang, pria itu berujar datar, "Baiklah, sesuai keinginanmu."
Mulut si pria tua mulai misuh-misuh, merapal mantra. Ia juga menebas asap kemenyan menggunakan kedua belah tangan. Mengerah tenaga dalam dari tubuhnya yang ringkih.
Lastri membatuk oleh asap yang mengepul ke arahnya. Ia menunduk, berusaha mengikat rambut yang tergerai.
Saat mengangkat wajah, pandangan kami bertemu. Lastri setengah terkejut, mendapatiku mengintip dari balik tirai.
"Bone, sini kauu!" panggil si lelaki tua yang adalah Bapakku. "Cepat kau bantu Non Lastri!"
Kusingkap tirai pintu lalu melangkah ke ruang tamu, tempat biasa Bapak melayani pasien kami.
Lastri menghujaniku dengan tatapan jijik. Mulutnya menahan mual kala menyaksi kaki dekilku yang penuh luka. Tanpa alas kaki.
Aku duduk di tikar yang sama tapi menjaga jarak cukup jauh dari Lastri. Baru melihat kakiku dia sudah geli, apalagi nanti saat aku berganti wujud.
"Mana foto dan alamat musuhmu itu?" Bapak meminta.
Lastri segera membuka tas, mengambil dompet lalu mengeluarkan selembar foto yang di belakangnya dituliskan sebuah alamat.
Menyerahkan foto pada Bapak, ia lantas mengeluarkan segepok uang berjumlah lima puluh juta."Untuk apa?" Bapak bereaksi.
"Ini sebagai deposit, jika dia beneran mati akan kutambah lima puluh juta lagi."
"Tahan dulu. Jangan samakan saya dengan dukun lain. Saya hanya dibayar ketika pekerjaan beres!"
"Jadi aku harus apa sekarang?" tanya Lastri usai mengembalikan uang ke dalam tas.
"Cukup menunggu beberapa jam di sini. Saya akan mengirim santet melalui Bone," jelas Ayah.
Tatapan Lastri berpindah padaku. Dahinya mengerut, kelihatan sekali kalau dia khawatir.
"Bone ini siapa?" Ia bertanya. "Mohon jangan bertamu ke rumah wanita itu, nanti dicurigai. Aku takut ketahuan menyantet," imbuhnya kemudian.
"Bone ini anak saya," jawab Bapak sembari tertawa. "Kemampuan kami tak perlu diragukan karena Bone akan berangkat dengan badan lain."
Lastri mengesot mundur dengan wajahnya ketakutan. Mungkin ia berpikir bahwa metode perdukunan kami kelewat seram.
"Badan lain? Aku tak paham." Lastri berujar bingung.
Belum sempat Bapak menjawab, aku langsung berubah wujud di hadapan mereka. Biar makin jelas seperti apa badan lain yang dimaksud.
"Aaaaa!!" Lastri berteriak ketakutan. Menutup wajah dengan tas, ia mengesot mundur makin jauh ke ujung tikar.
Aku merayap ke tengah tikar di mana Bapak meletakkan foto target. Kudengar Lastri masih memekik ketakutan dan Bapak berusaha menenangkan. Mengatakan bahwa aku sama sekali tak berbahaya.
Itu bohong!
Kutatap foto si target dalam cetakan warna berukuran 4×6 cm. Lumayan cantik. Pantas saja Lastri iri hati dan nekat menyantet.
"Cepat berangkat, Bone!" Bapak mengelus sisik kepalaku mengunakan telunjuknya.
"Hati-hatilah, luka di ekormu belum sembuh betul," pesannya lagi.
Aku memutar ke kiri lalu merayap ke luar pintu.
***
Beberapa saat kemudian, aku tiba di hutan kecil yang dilewati aliran sungai.
Tiga ekor ular asyik melengkor di sela akar pohon beringin. Mereka kabur saat melihatku. Begitu juga dengan kawanan kambing yang digiring seorang petani. Lari terbirit-birit membuat si petani terheran-heran.
Binatang memang tak punya nurani. Namun dianugerahi kepekaan melebihi manusia. Sedangkan manusia yang punya nurani, memilih bersikap macam binatang.
Kepekaan itulah yang membuat mereka sadar akan keberadaanku sebagai binatang jadi-jadian.
Dari hutan aku lantas menghilang, lalu tiba di alamat tujuan.Sebuah salon mewah di area ruko berlantai merah bata. Salon dwi fungsi di mana lantai satu sebagai tempat usaha dan lantai dua dijadikan hunian.
Ia mempekerjakan belasan pegawai wanita di dalamnya. Mereka tidak jelek. Kelihatan terawat sempurna dari wajah nan bening dan rambut berurai sehat.
Ada yang sibuk mewarnai rambut pelanggan. Melayani facial wajah, hingga sulam alis. Sungguh aku benci wanita pesolek. Kebanyakan wajah mereka saja yang cantik, tapi hati tidak.
Menit lamanya aku mengamati dari balik pot bunga di depan salon. Mencari tahu di mana letak kelemahan hingga dukun lain tak berhasil menghancurkannya.
Dia duduk di balik meja kasir, sibuk menerima pembayaran dari pelanggan yang hendak pulang.
"Terima kasih, Mbak Nanda. Kuku saya jadi bagus," ujar seorang pengunjung memamerkan jemarinya. Ia berlalu pergi usai berbasa-basi sebentar.
Sebelum pintu kacanya tertutup lagi, aku buru-buru menyelinap masuk. Bersembunyi di bawah meja kasir tempat Nanda duduk.
Nanda memang kuat. Terasa dari hawa mistis di salonnya.
Di pintu masuk ia menempatkan dua tuyul yang bertugas menarik pelanggan agar ramai. Biar tuyulnya betah, tembok dicat warna-warni dan diberi pernak-pernik lucu.
Di area facial & massage, empat genderuwo ditugasi menggodai pelanggan. Menghembuskan hawa penuh gairah sensualitas. Sehingga pelanggan menjadi kecanduan merawat diri di salon Nanda.
Aku merayap menuju sisi tengah salon. Makhluk besar setinggi lima meter berjaga di situ. Berbadan kuda tapi berkepala manusia. Sejenis jin yang telah berumur ribuan tahun.
Ia bertugas menghempaskan serangan gaib dari musuh Nanda. Sebagai balasan, Nanda dikawini olehnya. Menghasilkan Anak-anak gaib hasil perkawinan silang dua dunia. Berkaki kuda, berkepala manusia, mereka asyik bermain. Berlarian ke sana ke mari. Tapal kaki mereka hampir menginjak badanku.
Pantas saja Lastri tak berhasil merenggut nyawa Nanda.
Nanda tidak mempan jika disantet hanya dengan sihir boneka atau mengutus jin biasa. Ia harus dihadapi langsung seperti saat ini.
Setelah memahami situasi, aku lalu menyusun siasat.
Sebab sehebat apapun ilmu hitam sesedukun, jika menyerang tanpa perhitungan maka bohong hasilnya.
Bab 75 Berita tentang kematian Bapak tersiar ke sepenjuru desa. Warga berbondong-bondong datang melayat. Di hari yang sama, kami langsung menguburkan jenasah Bapak.Mang Asep masih menekuri makam Bapak kala semua pelayat telah pulang. Sementara rombongan kami tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Aku menghampiri Mang Asep lantas berdeham pelan. Pria itu mendongak sepintas dan kembali menatap makam."Kau sudah jadi manusia normal, Bone. Dan aku jadi dukun sakti menggantikan Tarso. Kita doakan semoga ia tenang di alam sana." Aku terdiam. Hanya memandangi gerak-gerik Mang Asep yang bangkit dari berjongkok di makam, hingga ia berpamitan pulang."Bu Amira, kami harus pulang ke Jakarta sekarang. Ada jadwal pelayanan di tempat lain," tegur salah satu Pastor. "Tidak. Kalian masih harus membantuku." Aku menginterupsi.Ketiga Pastor itu mengernyitkan dahi. Mereka menatapku heran. "Aku sudah dipulihkan dan bukan siluman ular lagi. Tapi dosaku di masa lalu mengakibatkan Nadia jadi kambing
Bab 74Di ruang tamu tempat biasa melayani pasien, Bapak terkulai lemah. Aku hampir tak kenal wajah aslinya. Kulit Bapak menghitam legam dan bola matanya terus-terusan mengeluarkan cairan.Jemarinya yang kaku dipaksa bergerak saat melihatku. Aku turun dari badan Beni, lalu segera merayap ke tempat Bapak terbaring.Sedikit senyum mengembang di wajahnya. Orang-orang yang datang menjenguk, haru menyaksikan kami. "Pastor, apakah Mbah Tarso bisa disembuhkan?" Ibuku menatap iba."Sepertinya tidak, Bu Amira. Orang ini sedang menuai hasil perbuatannya selama hidup di dunia." Si Pastor berucap lugas. "Dia terlalu menyimpang dari jalan kebenaran. Sekalipun ia banyak mengamalkan ilmu putih untuk menyembuhkan orang, tetap saja dosa. Sebab yang memberi kemampuan itu bukanlah Tuhan, melainkan iblis." Orang-orang yang menjenguk Bapak, merasa tersinggung atas ucapan si Pastor. Ini wajar, karena mereka pernah disembuhkan oleh Bapak.Mang Asep cepat-cepat menengahi situasi. Ia meminta warga untuk p
Bab 73Beda dengan alam barzah di mana waktunya lebih cepat dari waktu di bumi. Di lubang neraka ini, hitungan waktunya sama persis dengan waktu di bumi. Aku tahu, karena detik demi detik terasa begitu nyata di tempat ini. Dari balik jeruji besi, aku memperhatikan bagaimana para iblis hilir mudik mendatangi tahta kebesaran Lucifer. Mereka melaporkan hasil kerja, bahkan mendiskusikan trik yang cocok untuk mempengaruhi manusia. Terbahak-bahak mereka tertawa kala manusia berhasil jatuh ke dalam dosa. Tiap iblis dengan kepiawaiannya masing-masing.Ada yang ahli dalam merusak tali pernikahan. Meniupkan ruh tidak setia yang membuat para suami berselingkuh. Setelah itu bercerai. Ada yang piawai meniupkan ruh mamon. Membuat manusia cinta uang, gila harta, tahta dan jabatan. Para iblis ini terus membisikkan ide-ide busuk ke telinga manusia. Agar mereka mengambil jalan pintas seperti berjudi, trading saham, korupsi, bisnis narkotik dan mafia lainnya. Aku mendengar mereka memanggil Lucifer
Bab 72Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini? Gara-gara tertarik pada ajakan Beni untuk penelusuran, sekarang Bang Bone tak sadarkan diri.Apa hanya pingsan atau sudah meninggal. Aku dan Beni jadinya bertengkar karena panik. Panik, mau dibawa ke rumah sakit atau rumah orang tua Bang Bone. Kalau ke rumah, sudah pasti Bu Amira akan marah besar. Akhirnya kami membawa tubuh Bang Bone ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku menangis sesenggukan.Tak bisa kubanyangkan jika Bang Bone tidak bangun lagi. Sungguh, a ku belum siap kehilangan orang tercinta. "Dia belum meninggal," ujar dokter di ruang ICU. "Dia mengalami gagal napas, atau yang sering disebut koma." "Kami akan memasang alat bantu pernapasan," imbuh dokter.Aku, Beni dan Ando tak henti membisikkan doa-doa kecil. Di hadapan kami, dokter yang dibantu oleh tim medis, memompa dada Bang Bone. Mereka memasang ventilator yang menutupi hidung dan mulut. Garis hijau muncul di layar monitor. Naik turun seiring denyut jantung. Dokter memin
Bab 71Ando menendang pintu ruang direktur hingga terbuka lebar. Jemarinya meraba tombol saklar demi menyalakan lampu. Sayang, listrik di ruang ini pun tak berfungsi lagi. "Hahaha ...." Beni kembali tertawa. Ia duduk berpangku kaki di kursi kebesaran direktur. "Kau!!!" Telunjuknya mengarah padaku. "Barusan kau menjelek-jelekkan namaku, bukan? Aku tersentak mundur. Langsung menarik lengan Abigail agar tak mendekati Beni. Sebab sosok yang merasuki Beni sangatlah berbahaya."Wahai manusia bodoh!" Ia memekik. "Membicarakan namaku sama dengan mengundangku datang." "Aku Luciferr!!" ucapnya bersamaan dengan matanya menyala merah. Di saat yang sama, suatu energi gelap melempar kami ke tembok. Rasanya sakit sekali. Aku segera mendekap tubuh Abigail. Gadisku itu meringis meraba tubuhnya. Sementara Lucifer kembali tertawa melalui raga Beni. Kesal, aku membaca mantra lantas melesakkan kanuragan hitam lewat mulutku. Gumpalan asap hitam menghantam Lusifer, tapi tak memberi efek sama sekali.
Bab 70Segera kupijat pelipis dan tengkuk Beni. Beberapa saat kemudian, kondisinya berangsur membaik sehingganya kami melanjutkan penelusuran. "Kalian tahu gak?" Beni bersuara pelan. "Sewaktu tanganku memegang gagang pintu tadi, aku menyaksikan pertengkaran sengit yang terjadi antara suami istri pemilik pabrik ini. Mereka ribut soal uang. Tapi belum selesai pertengkaran itu, tiba-tiba muncul banyak iblis di dekatku. Ingin memasuki tubuhku. Aku terhempas dan rasanya tuh pusing banget." Beni mengurai apa yang dialaminya. Ia tampak lemas. Aku menepuk pundaknya, "Setelah ini, kamu kudu tahu seberapa besar gelombang yang ada dalam jiwamu. Setiap kita memiliki gelombang energi yang berbeda, begitu pun dengan makhluk gaib. Jadi, tidak semua makhluk gaib bisa merasuki kita, melainkan hanya yang se-frekwensi saja." "Oh gitu? Pantesan!" keluh Beni. "Kok aku jadi penasaran pada pertengkaran yang disaksikan Beni," celetuk Ando. Kamera ia arahkan ke wajahku. "Bisa gak, Abang sentuh gagang pin