Share

Firasat

"Ayah, Bunda. Kakak sudah siap!"

Pasangan suami istri itu serentak menolehkan kepala. Gadis kecil mereka telah siap dengan pakaian seragam putih merahnya.

"Buku-buku tak ada yang ketinggalan, Kak?" tanya Hanun sembari mengisi nasi goreng ke piring putih lainnya. Untuk Almira, sang puteri kecilnya.

Hanun dan Zaidan memang membiasakan sapaan kakak untuk sulung mereka itu. Biar tak kesulitan untuk mengubah sapaan jika suatu saat ada anak kedua yang akan lahir dari rahim Hanun. Walaupun sampai sekarang tanda-tanda itu tak kunjung hadir jua. Hanya Almira buah hati semata wayang mereka.

"InsyaAllah tak ada, Bun. Kakak bawa bekal apa, Bun?" tanya Almira seraya mendudukkan tubuhnya di salah kursi. Sepiring nasi goreng sudah siap tersaji di hadapannya.

"Ayam goreng saus mentega dan capcai. Kenapa? Mau tambahan bekal apa?" tanya Hanun sembari mengisi kotak bekal puterinya itu ke dalam tas berwarna biru dengan gambar bunga matahari di bagian depannya.

Sebuah botol minuman dan sekotak susu kemasan ikut dimasukkan Hanun. Ada sekotak kecil potongan buah apel juga sebagai pelengkapnya. Almira memang membawa bekal setiap harinya. Dengan sistem sekolah yang full day school membuat puteri kecil Hanun itu akan pulang jam empat sore di hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu dan Minggu menjadi hari liburnya.

"Tak usah, Bun. Ada lebihan tidak?" tanya Almira yang mulai menikmati nasi gorengnya.

"Untuk apa?" tanya Hanun tak paham. Tak biasanya Almira akan menanyakan kelebihan masakannya.

"Untuk teman Kakak, Bun. Si Ruri. Kemarin tak bawa bekal, jadi Kakak bagi bekal Kakak dengannya."

Hanun mengernyitkan dahi mendengar ucapan Almira itu.

"Tak bawa bekal? Ruri itu anaknya Tante Ira kan? Bukannya selama ini Tante Ira rajin masak, Kak?" tanya Hanun dengan rasa ingin tahu.

"Tante Ira pergi dari rumah, Bun. Papanya Ruri selingkuh katanya. Apa sih selingkuh itu, Bun?" tanya Almira dengan wajah polosnya. Tangan mungil gadis kecil itu tetap sibuk memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

Sontak saja Hanun terperangah. Bahkan Zaidan sempat memuncratkan air putih yang sedang diteguknya. Tak menyangka jika Almira akan berkata seperti itu.

"Sementara ini, Bunda tolong lebihkan bekal Kakak! Untuk Ruri. Kasihan. Matanya bengkak karena menangis kemarin malam. Bahkan adiknya sampai tak sekolah kemarin karena tak ada yang menyiapkan keperluannya. Bunda jangan seperti Tante Ira ya? Kakak pasti sedih jika Ayah melakukan hal yang sama seperti papanya Ruri."

Hanun meneguk ludahnya. Sementara itu ekor mata Hanun menangkap perbuatan raut wajah suaminya yang tiba-tiba menjadi gelisah dan serba salah. Mungkinkah laki-laki ini telah melakukan hal yang sama juga? Firasat Hanun semakin menguat saat melihat gelagat mencurigakan suaminya itu.

"Ayah tak akan melakukan hal seperti yang dilakukan papanya Ruri kan?"

Mata indah Almira saat menatap Zaidan. Dan Hanun sukses melihat perubahan raut wajah lelaki halalnya itu.

"Tak akan, Kak," ucap Zaidan dengan senyum yang bagi Hanun seakan dipaksakan.

Gegas Hanun melangkah ke lemari tempat penyimpanan wadah makanan. Lemari berbahan aluminium yang dipadukan dengan kaca hitam ada di sudut kanan area makan. Tangan Hanun bergerak cepat membuka pintunya dan mengambil sebuah kotak bekal lagi.

Kembali ke meja makan, Hanun mengisi kotak bekal berwarna biru itu dengan menu yang sama. Setelah memasukkan kotak bekal ke dalam tas, Hanun menyerahkannya kepada sang puteri.

"Kak, buahnya patungan saja ya dengan Ruri. Biar tak terlalu banyak bawaannya."

Almira yang telah menyelesaikan sarapannya menganggukkan kepala lantas meraih gelas berisi air putih di dekatnya. Gadis kecil itu menegakkan tubuhnya, meraih tas bekal yang disodorkan sang bunda.

"Kakak pergi dulu, Bun," ucap Almira sembari menyalami tangan kanan Hanun.

Zaidan yang memang sudah siap sejak tadi ikut menegakkan tubuhnya. Menunggu giliran sang istri untuk menciumi tangannya. Tak lupa sebuah kecupan hangat diberikan Zaidan untuk Hanun. Rutinitas bertahun-tahun itu masih berlanjut hingga sekarang, walaupun hari ini Hanun merasakan kehangatan kecupan itu tak lagi sama.

Hanun melambaikan tangan ketika kendaraan roda empat milik Aidan melaju meninggalkan halaman rumah mereka. Gegas Hanun menutup pagar yang terbuka dan masuk kembali ke dalam rumah.

Dengan gerakan cepat, Hanun membereskan sisa makan pagi suami dan anaknya. Menyisakan sepiring nasi goreng yang akan dinikmatinya nanti. Hanun biasanya makan sarapan pukul sembilan pagi, setelah menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah yang tentunya menguras energi.

Tiba-tiba Hanun ingat sesuatu. Hari ini Hanun untuk berencana ke toko emas, membuat sebuah cincin menggunakan batu satam yang pernah diberikan istri kepala cabang kantor Zaidan saat pindah tugas beberapa bulan yang lalu. Batu satam khas pulau Belitung itu dijadikan kenang-kenangan oleh Bu Indira saat acara perpisahan kala itu.

Beberapa hari ini Hanun berpikir untuk menjadikan batu satam itu sebagai hiasan mata cincin, daripada tak terpakai sama sekali. Sayang rasanya jika pemberian yang istimewa itu diabaikan begitu saja.

Gegas Hanun melangkah menuju kamarnya. Keberadaan batu satam itu entah dimana. Hanun lupa dimana persisnya batu berwana hitam itu disimpan olehnya.

Dengan gerakan cepat Hanun memhuka setiap laci lemari untuk menemukannya. Di dalam laci tempatnya menyimpan dokumen tak ada. Seingat Hanun, batu hitam itu diberikan dalam sebuah kotak segi empat berwarna hitam juga. Hanya saja karena saat itu menyimpannya dalam keadaan terburu-buru, Hanun lupa posisi penyimpanannya.

Tiga laci sudah dibuka, namun si batu hitam itu gagal ditemukan Hanun. Hanun cemas dan gelisah, barang yang dicari entah kemana raibnya. Akhirnya Hanun melangkah ke arah lemari kecil yang ada di sudut kamar tidur mereka. Lemari sudut berukuran setengah tinggi badannya yang jarang dibuka selama ini.

Lafaz Hamdalah diucapkan Hanun saat menemukan kotak hitam yang dicarinya itu di laci bagian paling bawah. Senyum lega terukir di wajahnya. Namun seketika mata Hanun memicing saat melihat kotak lain yang sama sekali belum pernah dilihatnya selama ini.

Ragu tangan kanan Hanun meraih kotak itu. Perlahan dibukanya kotak yang ternyata berisikan sebuah arloji pria yang mungkin merupakan milik suaminya. Tapi kapan Zaidan membelinya? Bukankah selama ini setiap membeli barang-barang aksesoris seperti ini Zaidan akan selalu melibatkannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status