Share

Firasat

last update Huling Na-update: 2022-07-26 15:50:51

"Ayah, Bunda. Kakak sudah siap!"

Pasangan suami istri itu serentak menolehkan kepala. Gadis kecil mereka telah siap dengan pakaian seragam putih merahnya.

"Buku-buku tak ada yang ketinggalan, Kak?" tanya Hanun sembari mengisi nasi goreng ke piring putih lainnya. Untuk Almira, sang puteri kecilnya.

Hanun dan Zaidan memang membiasakan sapaan kakak untuk sulung mereka itu. Biar tak kesulitan untuk mengubah sapaan jika suatu saat ada anak kedua yang akan lahir dari rahim Hanun. Walaupun sampai sekarang tanda-tanda itu tak kunjung hadir jua. Hanya Almira buah hati semata wayang mereka.

"InsyaAllah tak ada, Bun. Kakak bawa bekal apa, Bun?" tanya Almira seraya mendudukkan tubuhnya di salah kursi. Sepiring nasi goreng sudah siap tersaji di hadapannya.

"Ayam goreng saus mentega dan capcai. Kenapa? Mau tambahan bekal apa?" tanya Hanun sembari mengisi kotak bekal puterinya itu ke dalam tas berwarna biru dengan gambar bunga matahari di bagian depannya.

Sebuah botol minuman dan sekotak susu kemasan ikut dimasukkan Hanun. Ada sekotak kecil potongan buah apel juga sebagai pelengkapnya. Almira memang membawa bekal setiap harinya. Dengan sistem sekolah yang full day school membuat puteri kecil Hanun itu akan pulang jam empat sore di hari Senin sampai Jumat. Hari Sabtu dan Minggu menjadi hari liburnya.

"Tak usah, Bun. Ada lebihan tidak?" tanya Almira yang mulai menikmati nasi gorengnya.

"Untuk apa?" tanya Hanun tak paham. Tak biasanya Almira akan menanyakan kelebihan masakannya.

"Untuk teman Kakak, Bun. Si Ruri. Kemarin tak bawa bekal, jadi Kakak bagi bekal Kakak dengannya."

Hanun mengernyitkan dahi mendengar ucapan Almira itu.

"Tak bawa bekal? Ruri itu anaknya Tante Ira kan? Bukannya selama ini Tante Ira rajin masak, Kak?" tanya Hanun dengan rasa ingin tahu.

"Tante Ira pergi dari rumah, Bun. Papanya Ruri selingkuh katanya. Apa sih selingkuh itu, Bun?" tanya Almira dengan wajah polosnya. Tangan mungil gadis kecil itu tetap sibuk memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

Sontak saja Hanun terperangah. Bahkan Zaidan sempat memuncratkan air putih yang sedang diteguknya. Tak menyangka jika Almira akan berkata seperti itu.

"Sementara ini, Bunda tolong lebihkan bekal Kakak! Untuk Ruri. Kasihan. Matanya bengkak karena menangis kemarin malam. Bahkan adiknya sampai tak sekolah kemarin karena tak ada yang menyiapkan keperluannya. Bunda jangan seperti Tante Ira ya? Kakak pasti sedih jika Ayah melakukan hal yang sama seperti papanya Ruri."

Hanun meneguk ludahnya. Sementara itu ekor mata Hanun menangkap perbuatan raut wajah suaminya yang tiba-tiba menjadi gelisah dan serba salah. Mungkinkah laki-laki ini telah melakukan hal yang sama juga? Firasat Hanun semakin menguat saat melihat gelagat mencurigakan suaminya itu.

"Ayah tak akan melakukan hal seperti yang dilakukan papanya Ruri kan?"

Mata indah Almira saat menatap Zaidan. Dan Hanun sukses melihat perubahan raut wajah lelaki halalnya itu.

"Tak akan, Kak," ucap Zaidan dengan senyum yang bagi Hanun seakan dipaksakan.

Gegas Hanun melangkah ke lemari tempat penyimpanan wadah makanan. Lemari berbahan aluminium yang dipadukan dengan kaca hitam ada di sudut kanan area makan. Tangan Hanun bergerak cepat membuka pintunya dan mengambil sebuah kotak bekal lagi.

Kembali ke meja makan, Hanun mengisi kotak bekal berwarna biru itu dengan menu yang sama. Setelah memasukkan kotak bekal ke dalam tas, Hanun menyerahkannya kepada sang puteri.

"Kak, buahnya patungan saja ya dengan Ruri. Biar tak terlalu banyak bawaannya."

Almira yang telah menyelesaikan sarapannya menganggukkan kepala lantas meraih gelas berisi air putih di dekatnya. Gadis kecil itu menegakkan tubuhnya, meraih tas bekal yang disodorkan sang bunda.

"Kakak pergi dulu, Bun," ucap Almira sembari menyalami tangan kanan Hanun.

Zaidan yang memang sudah siap sejak tadi ikut menegakkan tubuhnya. Menunggu giliran sang istri untuk menciumi tangannya. Tak lupa sebuah kecupan hangat diberikan Zaidan untuk Hanun. Rutinitas bertahun-tahun itu masih berlanjut hingga sekarang, walaupun hari ini Hanun merasakan kehangatan kecupan itu tak lagi sama.

Hanun melambaikan tangan ketika kendaraan roda empat milik Aidan melaju meninggalkan halaman rumah mereka. Gegas Hanun menutup pagar yang terbuka dan masuk kembali ke dalam rumah.

Dengan gerakan cepat, Hanun membereskan sisa makan pagi suami dan anaknya. Menyisakan sepiring nasi goreng yang akan dinikmatinya nanti. Hanun biasanya makan sarapan pukul sembilan pagi, setelah menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah yang tentunya menguras energi.

Tiba-tiba Hanun ingat sesuatu. Hari ini Hanun untuk berencana ke toko emas, membuat sebuah cincin menggunakan batu satam yang pernah diberikan istri kepala cabang kantor Zaidan saat pindah tugas beberapa bulan yang lalu. Batu satam khas pulau Belitung itu dijadikan kenang-kenangan oleh Bu Indira saat acara perpisahan kala itu.

Beberapa hari ini Hanun berpikir untuk menjadikan batu satam itu sebagai hiasan mata cincin, daripada tak terpakai sama sekali. Sayang rasanya jika pemberian yang istimewa itu diabaikan begitu saja.

Gegas Hanun melangkah menuju kamarnya. Keberadaan batu satam itu entah dimana. Hanun lupa dimana persisnya batu berwana hitam itu disimpan olehnya.

Dengan gerakan cepat Hanun memhuka setiap laci lemari untuk menemukannya. Di dalam laci tempatnya menyimpan dokumen tak ada. Seingat Hanun, batu hitam itu diberikan dalam sebuah kotak segi empat berwarna hitam juga. Hanya saja karena saat itu menyimpannya dalam keadaan terburu-buru, Hanun lupa posisi penyimpanannya.

Tiga laci sudah dibuka, namun si batu hitam itu gagal ditemukan Hanun. Hanun cemas dan gelisah, barang yang dicari entah kemana raibnya. Akhirnya Hanun melangkah ke arah lemari kecil yang ada di sudut kamar tidur mereka. Lemari sudut berukuran setengah tinggi badannya yang jarang dibuka selama ini.

Lafaz Hamdalah diucapkan Hanun saat menemukan kotak hitam yang dicarinya itu di laci bagian paling bawah. Senyum lega terukir di wajahnya. Namun seketika mata Hanun memicing saat melihat kotak lain yang sama sekali belum pernah dilihatnya selama ini.

Ragu tangan kanan Hanun meraih kotak itu. Perlahan dibukanya kotak yang ternyata berisikan sebuah arloji pria yang mungkin merupakan milik suaminya. Tapi kapan Zaidan membelinya? Bukankah selama ini setiap membeli barang-barang aksesoris seperti ini Zaidan akan selalu melibatkannya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DUSTA SEORANG SUAMI   Cinta Terakhir (ENDING)

    "Kami sudah lama menikah, Wid. Lagi pula saat kami menikah, kamu sudah cukup banyak membantu. Tak perlulah dengan hadiah seperti ini lagi."Hanun sungguh berhutang budi kepada Widya. Dukungan Widya saat menjalani fase-fase sulit dalam hidupnya sungguh tak akan pernah mampu dibalas sampai kapanpun. Widya sama seperti ibunya, selalu mendukung keputusan apa pun yang diambil Hanun saat itu. Dan disinilah mereka berada ada saat ini. Di Parai Tenggiri Beach Hotel and Resort, kawasan wisata yang terletak di Sungailiat, Bangka Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi wisata yang berjarak sekitar 50,9 kilometer dari Bandara Depati Amir Pangkalpinang, ibukota provinsi yang dijuluki negeri Serumpun Sebalai.Keindahan pasir putih dan bebatuan besar yang menghiasinya menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan dari dalam dan luar negeri untuk kembali berkunjung di kawasan wisata ini. Pasir putih sangat kontras saat berpadu dengan air laut yang berwarna biru muda. Sebuah jembatan ka

  • DUSTA SEORANG SUAMI   Membuka Hati

    Wahyu, laki-laki yang tak lelah menunjukkan keseriusannya untuk mendapatkan hati Hanun itu merapatkan dekapan pada wanita halalnya. Memastikan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu tak kedinginan oleh terpaan angin malam ini. Wanita yang telah dimintanya menjadi pelengkap separuh agamanya. Apalagi Hanun saat ini sedang mengandung tiga bulan, buah cinta mereka.Bukan waktu yang singkat bagi Wahyu untuk mendapatkan hati wanita idamannya ini. Butuh lima tahun sejak status janda disandang hingga akhirnya Hanun membuka hati untuk menerima sebuah komitmen baru dalam kehidupannya. Itu pun karena desakan sang ibu dan Widya.Kembali memori itu berputar di kepalanya. Bagaimana ibu yang sangat dihormatinya meminta agar hatinya dapat menerima kehadiran Wahyu, sosok yang secara terang-terangan menyukainya sejak masih berstatus sebagai istri Zaidan kala itu."Tak semua laki-laki akan menjadi pecundang, Nun. Ibu sudah tua. Entah berapa lama sisa usia wanita tua ini. Tak akan m

  • DUSTA SEORANG SUAMI   Mengenang Masa Lalu

    Hembusan angin pantai terpaksa membuat Hanun berkali-kali memegang erat kedua bagian sisi kerudungnya agar tidak membuat bagian lehernya kelihatan. Udara malam yang dingin ditambah deburan ombak pantai yang ada di hadapannya benar-benar dinikmati Hanun. Suara ombak yang pecah saat bertemu batu karang seakan mengantarkan Hanun pada kisah panjang hidupnya yang sungguh terlalu pahit untuk diingatnya kembali.Menyerahkan hati dan cintanya pada seorang laki-laki, mengabdikan seluruh hidupnya untuk rumah tangga yang ternyata pondasinya goyah saat badai menerpa. Bukan, itu bukan badai. Hanya hujan lebat yang harusnya tak meninggalkan jejak saat matahari kembali memancarkan sinar teriknya. Laki-laki yang dipujanya saat pertama kali mengenal cinta terlalu lemah untuk mengalah pada hujan lebat itu. Laki-laki itu tak cukup tangguh menerjang hujan yang seharusnya menjadi bukti bahwa dirinya cukup tangguh menjadi perisai bagi keluarga kecil mereka. Zaidan gagal untuk membuktikan b

  • DUSTA SEORANG SUAMI   Menata Hati

    Hanun terkekeh. Tak layak rasanya kalimat itu terdengar dari mulut laki-laki yang pernah meminta kesediaannya untuk dipoligami. "Bukankah Abang sendiri yang pernah meminta kesediaanku untuk diduakan? Dan aku rasa Abang cukup menikmati kekhilafan itu. Bukankah Abang menikmati saat-saat bersama dengan Rindu kala itu? Itu bukan khilaf, Bang! Itu perbuatan sadar yang Abang sengaja! Jangan buat aku ingin tertawa mendengar alasan yang sangat menggelikan ini, Bang!" Zaidan diam, tak mampu lagi berkata. Pukulan telak sudah dilemparkan Hanun kepadanya. Sungguh, Zaidan sangat menyesali semua yang sudah dilakukannya. "Kapan Abang akan menikah dengan Rindu?" tanya Hanun sembari memainkan gawainya.Menikah, mungkin itu yang diinginkan mereka selama ini. Mereka hanya menunggu waktu untuk mewujudkan impian yang sempat tertunda itu. "Rasanya tak ada niat untuk menikahi Rindu lagi, Dek. Abang hanya mencintai dirimu saja. Abang tak ingin wanita lainnya."Hanun hanya

  • DUSTA SEORANG SUAMI   Khilaf?

    Tak ada tanggapan dari bibir Rindu. Seolah wanita pecundang itu sengaja membiarkan orang-orang akan menganggap jika Zaidan merupakan suaminya. Padahal seharusnya wanita itu melakukan klarifikasi. Menjelaskan hubungan di antara mereka berdua. Tapi apa yang terjadi. Wanita itu malah menikmatinya.Hanun memilih masuk ke dalam mobilnya kembali saat Rindu berlalu dengan membawa lelaki yang pernah mengisi hatinya itu. Rumah sakit. Pasti itu yang menjadi tujuan wanita itu.Hati Hanun meringis. Belum pernah rasanya dirinya menjadi manusia yang egois seperti ini. Bahkan saat melihat kecemasan Rindu tadi, Hanun merasa seolah dirinya tak ada lagi arti dalam kehidupan laki-laki yang menyandang predikat sebagai ayah anaknya itu. Biarlah. Waktunya sudah habis untuk mendampingi lelaki itu. "Om Zaidan sering membicarakan tentang Tante dan Almira kepada saya."Hanun tersentak dari lamunannya kala mendengar ucapan Ilham itu. Entah berapa lama dirinya larut dalam kelebat bay

  • DUSTA SEORANG SUAMI   Suami?

    Hanun hanya duduk saja di sofa. Memperhatikan Almira yang sedang berbincang dengan ayahnya. Hanya mengamati saja, tidak untuk terlibat dengan mereka.Hari ini Hanun sengaja meluangkan waktunya. Hari Minggu yang seharusnya dapat dimanfaatkan Hanun untuk beristirahat di rumah melepas lelah setelah enam hari bekerja terpaksa diabaikan hari ini. "Ibu mau minum apa?" tanya Ilham, seorang pemuda yang sejak hampir sebulan ini menemani Zaidan setiap harinya. Pemuda yang masih tergolong keluarga jauh Zaidan itu tak keberatan melakukannya tentu saja dengan sejumlah imbalan."Tak usah, Ham. Tante sudah bawa," sahut Hanun sembari mengangkat botol minuman yang berisi air putih dengan tambahan beberapa potong buah strawberry, lemon dan kurma.Hanun kembali melemparkan pandangannya ke arah Almira dan Zaidan. Dua orang yang sedang duduk berhadapan di taman belakang rumah yang sebelumnya banyak dipenuhi koleksi tanaman hias miliknya.Sekarang hanya beberapa pot saja tanama

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status