Pov Miranda
"Aku bisa menerima semua rasa sakit akibat menikah denganmu Mas, aku bisa menerima bagaimana ibumu menghinaku dan memperlakukan aku seperti pembantu, tapi sungguh aku tidak bisa menerima pengkhianatanmu!" Ucapku pada Mas Raja saat dia mengakui bahwa ia memang menjalin hubungan dengan Alexa. "Mir, maaf aku sungguh bersalah sama kamu! aku memang tak layak sebagai suami, tapi kumohon maafkan aku Mir, aku khilaf, please kasih aku kesempatan lagi!" Mas Raja bersimpuh dan memohon padaku, tapi aku benar-benar telah kehilangan rasaku padanya. "Kau tau Mas, untuk memutuskan menikah denganmu aku sudah mengorbankan karirku, mimpi-mimpiku, cita-citaku manjadi psikolog dan juga keluargaku dikampung?" ucapku dengan terengah-engah karena emosi yang meluap dari hatiku "Aku mengorbankan seluruh hidupku hanya untuk menikah denganmu dan sekarang kau mengkhianati ku? sungguh kamu benar-benar kejam Mas Raja!" lanjutku meluapkan seluruh emosiku padanya. Kulihat wajah Mas Raja yang penuh sesal menatapku dan berharap maaf dariku, membuatku semakin jengah. Aku lalu memutuskan keluar dari kamar untuk mengakhiri pembicaraan dengan Mas Raja. "Mir, kamu mau kemana?" "Aku mau menenangkan diri Mas, ijin pamit keluar sebentar" Aku meraih kunci mobil yang tergantung di atas meja rias kamar ku, sementara Mas Raja diam tak bereaksi, entah apa yang dia pikirkan. Saat aku membuka pintu kamar, ternyata ada ibu mertuaku yang menguping pembicaraan ku dengan Mas Raja tadi. "Miranda dengar baik-baik, sekalipun kamu bercerai dengan anaku Rajasa, ingat tak sepeserpun uang akan kamu dapatkan!" "Bu, saya tak ingin bercerai dari Mas Raja dan saya juga tidak menginginkan harta darinya!" "Kalau begitu kamu harus siap dimadu, karena sebentar lagi Rajasa akan menikahi Alexa!" Bu Merry mengatakan dengan sinis, aku diam dan tak ingin menjawab apapun. Ku hampiri Mahesa anaku yang sedang asyik bermain sendiran di depan TV, "Ayo ikut mama nak!" ajaku "Kemana mama?" tanya Mahesa polos "Jalan-jalan sayang" "Holee!!" Mahesa yang masih polos nampak girang mendengar kata jalan-jalan Aku segera menggendong Mahesa ke mobil dan membawanya pergi, entah kemana aku juga belum memiliki arah tujuan, yang jelas aku ingin menenangkan diri dan berfikir apa langkah selanjutnya. Aku paham sekali dengan karakter Bu Merry mertuaku, dia memang menginginkan aku berpisah dengan Mas Raja, tapi saking bencinya dia padaku sudah pasti dia tak akan membiarkan sepeserpun harta Mas Raja terbagi untuku. Namun aku tak mungkin melanjutkan pernikahanku dengan Mas Raja, dia telah berkhianat. Rasa sakit hatiku kian bertambah ketika mengingat kedua orangtuaku di desa. Dulu aku memiliki karir yang bagus disebuah perusahaan skala internasional. Aku adalah tulang punggung bagi mereka, aku berhasil mengentaskan keluargaku dari kemiskinan dan menguliahkan adiku. Tapi setelah menikah dengan Rajasa, jangankan untuk mengirim uang pada orangtuaku di desa, untuk kebutuhanku dan anaku saja sangat pas pasan. Mas Raja memang sangat berkecukupan secara ekonomi, dia menjalankan bisnis keluarga yang bergerak di bidang export dan import, aku tinggal dirumah keluarga yang besar dan mewah, Mas Raja juga memberikan satu unit mobil khusus untuku, namun seluruh keuangan keluarga berada di tangan Bu Merry, aku hanya mendapatkan jatah 1 juta rupiah per bulan. Sangat miris memang, bagaimana mungkin aku bisa cukup dengan satu juta rupiah perbulan sedangkan aku punya anak balita yang sudah pasti memiliki banyak kebutuhan. Aku menepikan mobilku ke pinggiran jalan dan menangis tergugu didalam mobil, meluapkan semua sesak di dada yang sedari tadi tertahan. Aku tak ingin menangis dihadapan suamiku ataupun Bu Merry mertuaku, aku tak ingin terlihat lemah dihadapan mereka. "Mama tenapa nanis? Mama tedih ya?" Tanya Mahesa polos. Aku menoleh kearahnya dan mengelus rambut anaku "Iya sayang, mamah sedih, Mahesa sayang mamah yah biar mamah gak sedih lagi!" "iya Mahe tayang mamah, mamah danan tedih yah!" "Iya sayang, mamah ga sedih lagi kalo Mahesa sayang sama mamah" Aku menyeka air mataku. Mahesa adalah satu-satunya kekuatanku saat ini."Sayang, aku harus kembali ke Bandung untuk menyelesaikan tesisku" ucap Miranda, meminta ijin pada suaminya.Miranda kini kembali tinggal di kediaman keluarga Rajasa. Bedanya, kini sikap Bu Merry berbeda seratus delapan puluh derajat dari pada dahulu. Bu Merry kini sangat menyayangi Miranda dan Mahesa, ia baru menyadari bahwa Miranda adalah perempuan yang baik dan berhati tulus. Miranda kembali fokus menyelesaikan study pasca sarjananya, sebentar lagi Miranda akan mendapatkan gelar psikolog sesuai dengan keinginanya."Mau aku temani?" Tanya Rajasa, kali ini ia benar-benar tak ingin membiarkan istrinya sendirian di Bandung."Tak usah Mas, aku hanya sebentar di sana, nanti aku pulanh setiap Sabtu dan Minggu. Kalo boleh apakah Mahesa bisa tinggal di sini saja sementara aku di Bandung, Mas?" tanya Miranda, ia masih sedikit trauma meninggalkan Mahesa di daycare saat dia bekerja dan kuliah di Bandung."Tentu saja, Mahesa akan aman bersamaku" ucap Rajasa. Miranda tersenyum lega mendengar jaw
"Aku harus melapor ke polisi!" Ucap Rajasa serius"Untuk apa, Mas?" Tanya Miranda khawatir melihat reaksi suaminya setelah mengetahui bahwa Tommy yang menculik Mahesa."Tentu saja untuk memberikan dia hukuman!" Rajasa menjawab dengan amarah yang membara di hatinya."Aku rasa tidak perlu, bukankah Mahesa bilang, Tommy memperlakukanya dengan baik? Bahkan Mahesa juga sampai merindukanya" Miranda mencoba menjelaskan dengan hati-hati, ia hanya tidak ingin memperpanjang masalah dengan melaporkan pada polisi. Namun Miranda juga khawatir jika Rajasa salah paham dengan sikapnya."Dia sudah membahayakan Mahesa, Mir? Kamu mau diamkan dia begitu saja?" Benar saja, Rajasa tak terima dengan sikap istrinya."Tidak Mas, aku kenal Tommy dengan baik" Miranda merasa yakin, ada alasan yang masuk akal mengapa Tommy sampai tega menculik Mahesa."Kamu kenal dia dengan baik? Lalu bagaimana dengan aku Mir? Apakah kamu juga mengenalku dengan baik? Aku suamimu dan dia orang lain, kamu sedang membela laki-laki l
Kondisi Mahesa semakin hari semakin membaik. Miranda dengan telaten menunggui putranya, ia sangat siaga jika Mahesa membutuhkan sesuatu. Begitu juga dengan Rajasa, ia pun rela meninggalkan pekerjaanya di perusahaan untuk sementara demi menemani Miranda dan Mahesa di rumah sakit.Hingga saat ini, belum diketahui siapa yang telah menculik Mahesa. Miranda dan Rajasa pun masih enggan menanyakan langsung pada putranya yang baru sembuh dari sakit dengan alasan khawatir akan memunculkan trauma. Mereka lebih berfokus pada kesembuhan Mahesa dari pada harus mengusut penculik tersebut untuk saat ini.HP Rajasa bergetar, ternyata Bu Merry yang menelpon. Rajasa pun segera mengangkat telpon dari mamahnya."Halo, Mah" Ucap Rajasa menjawab panggilan dari Bu Merry"Rajasa, bagaimana keadaan Mahesa? Apakah sudah bisa di bawa ke Jakarta? Mamah sudah kangen" Ucap Bu Merry"Sudah mulai membaik Mah, tapi untuk saat ini biarkan dulu kondisi Mahesa stabil baru kita bawa pulang. Begitu saran dokter" Rajasa me
"Mahesa, itu Mahesa kita Mas!" Pekik Miranda saat melihat Mahesa di ruang ICU rumah sakit.Miranda tak dapat menahan air matanya, perempuan muda itu menangis di pelukan Rajasa. Perasaan Miranda dan Rajasa campur aduk saat ini, mereka senang karena bisa kembali melihat putranya namun juga sedih karena kondisi Mahesa saat ini. Di sisi lain, mereka penasaran bagaimana Mahesa bisa sampai di rumah sakit ini. Namun juga bersyukur karena ada yang menolong putranya."Apakah Bapak dan Ibu adalah orang tua pasien?" Ucap seorang dokter yang tiba-tiba mendekati Miranda dan Rajasa. Miranda langsung menghapus air matanya demi melihat dokter tersebut."Ya, benar! Kami orang tuanya, kami juga membawa semua dokumen yang dibutuhkan sebagai bukti bahwa kami adalah orang tua kandungnya" Ucap Rajasa mantap."Baiklah, ikut saya!" Ucap dokter tersebut tanpa basa-basi. Dokter laki-laki yang terlihat seumuran dengan Rajasa tersebut berjalan menuju sebuah ruangan, diikuti oleh Miranda dan Rajasa.Miranda dan R
"Mas, ada telpon dari rumah sakit" Ucap Miranda menyampaikan pada suaminya dengan penuh harap."Apa ada kabar baik, Mir?" Rajasa pun tak kalah berharap mendapatkan kabar baik"Ya, ada pasien anak tanpa orang tua dan tanpa identitas yang baru saja dirujuk ke rumah sakit tersebut, mungkin saja itu Mahesa, Mas!" Ucap Miranda bersemangat"Ayo kita ke sana sekarang juga, Mir!" Ajak Rajasa, Miranda pun setuju.Mereka tidak mau membuang waktu lagi untuk segera menemukan putra semata wayangnya. Miranda pun segera bersiap dengan membawa berbagai macam perlengkapan, mulai dari alat mandi dan bantu ganti, mengingat daerah yang akan di tuju cukup jauh dari kediaman mereka."Perjalanan kita cukup jauh Mas, apakah tidak apa-apa jika menggunakan mobil? Aku khawatir Mas akan kecapean di jalan" Ucap Miranda pada suaminya."Tak apa sayang, kita akan lebih fleksibel jika menggunakan kendaraan pribadi" Jawab Rajasa sambil menaikan koper ke dalam bagasi.Tak menunggu lama, mereka kemudian segera berjalan
"Om, Mahesa pusing, mau bobo" Ucap Mahesa pada pria yang ada di dekatnya. Pria itu kemudian membopong Mahesa ke dalam kamar dan menidurkanya. Ia menyadari bahwa suhu tubuh anak kecil itu terasa sangat panas, tidak seperti biasanya. "Gawat, anak ini demam" Ucap pria tersebut."Mahe, om keluar sebentar membeli obat dan makanan, Mahe bobo dulu ya!" Ucap pria tersebut."Om, kapan Mahe pulang? Mahe kangen Mamah om" Ucap Mahesa menyampaikan kerinduanya pada Miranda."Hm,, sabar yah! Nanti kalau sudah waktunya Mahesa bisa bertemu Mamah!" Pria itu beralasan. Mahesa mengangguk pelan, Anak kecil itu terlihat sangat lemah dan lelah. Ia kemudian memejamkan matanya dan tertidur sambil merasakan rasa lelah di tubuhnya. Tak menunggu lama, pria penculik itu kemudian pergi meninggalkan Mahesa. Ia membeli obat penurun panas untuk anak dan sebungkus bubur ayam. Setelah keduanya didapatkan, pria itu segera kembali ke rumah di mana Mahesa berada."Mahesa, Om datang! Mahesa makan dulu terus minum obat y