Belle berdiri diam sejenak. Matanya terpaku pada Vicky yang masih memasang ekspresi puas. Cairan sampanye yang dingin dan lengket mengalir di kulit Belle. Punggungnya panas. Rasanya Belle ingin meledak, menangis karena malu. Namun dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang itu.
Belle memutuskan untuk segera memutar tubuh dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Kepalanya tertunduk, sedikit berlari agar segera bebas dari mereka.
Begitu Belle keluar dari aula itu dan menemukan sudut sunyi di lorong belakang, dia berhenti. Kemarahan, penghinaan, dan rasa sakit bercampur menjadi satu dalam dadanya. Dia merasa seperti tak mampu bernapas.
“Kenapa harus seperti ini?” gumamnya pelan di antara isak tangisnya.
Belle baru saja melangkah pergi dari sudut lorong, mencoba menghapus sisa air mata dengan tangan. Namun, cairan lengket dari sampanye di gaunnya membuat semua menjadi tidak nyaman.
“Sepertinya kau membutuhkan ini,”
Sebuah suara lembut memecah keheningan. Belle menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara. Di hadapannya berdiri seorang pria yang mengenakan setelan jas hitam. Wajahnya tampan, dengan senyum yang hangat.
Pria itu mengulurkan sapu tangan berwarna putih bersih ke arah Belle.
Belle menatap sapu tangan itu ragu. Dia mengerutkan alis, tidak yakin apakah harus menerimanya.
“Ini hanya sapu tangan,” kata pria itu.
Akhirnya Belle menerima. “Terima kasih,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Pria itu tersenyum lagi. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Belle mengangguk, meskipun matanya masih sembab dan tubuhnya terasa lengket akibat insiden tadi. “Aku akan baik-baik saja,” katanya.
Pria itu perlahan mundur. Saat dia pergi, Belle merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah rasa hangat yang jarang dia rasakan sebelumnya, di tempat mewah penuh kekejaman seperti ini.
***
Keesokan harinya, Belle duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempat dia dan sahabatnya, Lila, sering bertemu. Lila Stewart, seorang wanita yang berprofesi sebagai pengacara magang. Dia sosok ceria dengan rambut keriting dan senyum yang selalu ramah. Sesekali Lila menyesap latte-nya sambil menatap Belle dengan penuh antusias.
“Jadi, bagaimana rasanya bekerja di salah satu perusahaan paling bergengsi di kota ini?” tanya Lila sambil menyandarkan dagunya di tangan.
Belle tersenyum kecil, meskipun dia masih teringat kejadian semalam. Beruntung hari ini adalah akhir pekan, yang artinya dia tidak perlu bertemu Nate.
“Hudson Group memang nama besar,” timpal Belle. Dia mengaduk cappuccino-nya perlahan. “Tapi berada di sana tidak seindah yang kamu bayangkan, Lila. Percayalah,”
Lila mengernyitkan kening. “Kenapa?” tanyanya. “Rapat mewah, atasan tampan, naik jet pribadi ... begitu, kan?”
Belle tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. “Atasanku bernama Nate Whitmore. Dia memang tampan, kalau itu yang kau maksud,” Belle meringis membayangkan wajah Nate yang marah. “Tapi dia juga salah satu orang paling perfeksionis yang pernah aku temui. Kerja di bawahnya itu seperti tidak ada habisnya. Dia terus-menerus meminta ini dan itu, bahkan di tengah acara gala tadi malam,”
“Dia menyebalkan?” tanya Lila, alisnya terangkat.
“Bukan menyebalkan, lebih ke ... menantang,” Belle memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku harus selalu siap menjawab, selalu tahu apa yang dia butuhkan. Bahkan sebelum dia meminta. Dan itu melelahkan,”
Lila mengangguk. “Tapi kau bisa mengatasinya, kan? Kau selalu pintar dan cepat belajar,”
“Ya, aku bisa,” kata Belle dengan nada yakin, meskipun senyumnya masih samar. “Aku hanya harus terus bertahan,” Untuk kalimat satu ini, Belle merasa tidak yakin.
Lila meletakkan cangkir latte-nya. Matanya berbinar penuh semangat. “Belle, kau tahu tentang The Dominion Club, kan?” tanyanya, sedikit mencondongkan tubuh ke depan. Suaranya nyaris berbisik.
Belle memiringkan kepala, mengerutkan dahi. “The Dominion Club?”
“Itu adalah klub paling eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang super kaya dan berpengaruh di kota ini. Dan aku tidak bicara soal orang kaya biasa, aku bicara tentang para pewaris kerajaan bisnis, CEO besar, atau mereka yang memiliki kekuasaan politik,” Lila menjelaskan dengan penuh semangat.
Belle mendengarkan meskipun sedikit skeptis. “Lalu apa yang mereka lakukan di klub itu?”
Lila melirik sekeliling kafe, seolah memastikan tidak ada yang mendengarkan. “Aku dengar dari temanku yang bekerja di salah satu gala mereka. Klub itu seperti ... tempat di mana mereka merasa bisa melakukan apa saja. Mereka punya pesta mewah, membuat taruhan besar dan ... yah, kadang-kadang mereka mempermainkan orang seperti kita. Orang-orang biasa,”
Belle menelan ludah. Dia tiba-tiba teringat akan percakapan Dante dan kawan-kawannya tadi malam. Tentang orang-orang kelas bawah yang disebut sebagai ‘beban’.
“Dan siapa saja anggota klub itu?” tanya Belle.
Lila menghela napas. “Aku tahu beberapa nama anggota inti. Ada Dante Hudson, misalnya. Dia ketua klub itu. Pewaris Hudson Group. Semua orang bilang dia sangat berkuasa, tidak hanya di klub tapi juga di banyak aspek bisnis di kota ini,”
Belle terdiam, hatinya mencelos. Nama itu terdengar familiar. Perlahan wajah pria sombong yang mendebatnya tadi malam muncul di pikiran Belle.
“Lalu ada Alexander Harrington. Terkenal dengan nama Lex,” lanjut Lila. “Dia sahabat dekat Dante dan mungkin orang yang paling bisa menyaingi Dante dalam hal kekuasaan dan pengaruh. Dia dikenal sebagai otak di balik banyak keputusan penting di klub,”
Lila berhenti sejenak, menyesap kopinya sebelum melanjutkan. “Ada juga Edward Kingsley. Dia anak konglomerat properti terkenal. Dia lebih pendiam dibandingkan yang lain, tapi kabarnya dia masih setia pada tradisi dan aturan klub,”
“Siapa lagi?” tanya Belle, merasa penjelasan Lila cukup menarik.
“Victoria Albright,” kata Lila, suaranya lebih pelan. “Dia salah satu wanita di lingkaran inti mereka. Keluarganya punya bisnis mode internasional. Dia terkenal angkuh dan tidak segan-segan menggunakan pengaruhnya untuk menghancurkan orang yang dia tidak suka,”
Lila mengambil ponsel. Wajahnya berseri-seri seperti seorang konspirator yang siap membocorkan rahasia besar. “Kau tidak akan percaya ini, Belle. Aku bahkan punya foto-foto mereka,”
Belle mengangkat alis. Dia mendekat, menatap layar ponsel Lila yang kini menampilkan foto sekelompok pria dan dua orang wanita. Mereka terlihat elegan, mengenakan setelan formal mahal dengan ekspresi dingin khas para orang kaya.
Mata Belle melebar saat mengenali seseorang. Itu pria yang semalam memberinya sapu tangan di lorong belakang!
“Dia siapa?” Belle menunjuk wajah pria itu.
“Yang ini Edward Kingsley. Orang mengenalnya dengan nama Eddie. Dia terlihat lebih tenang dibanding yang lain, kan? Tapi jangan tertipu. Dia tetap bagian dari mereka,” jawab Lila.
“Apa kau yakin dia bagian dari klub itu?” Suara Belle gemetar.
“Eddie?” Lila menatap Belle, bingung. “Tentu saja. Kenapa?”
Belle menggigit bibir. Bagaimana mungkin pria yang terlihat begitu baik hati—begitu berbeda dari Dante dan Nate, bisa menjadi anggota dari grup yang menganggap kelas bawah sebagai beban?
Dua bulan berlalu sejak perjalanan bulan madu mereka di Bora-Bora. Malam ini, Dante dan Belle melangkah memasuki salah satu ballroom termegah di pusat kota Manhattan—Hudson Grand Hall, gedung megah milik keluarga Hudson yang sering menjadi tempat acara-acara besar diadakan. Lampu kristal bergemerlap dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke dinding marmer putih berornamen emas. Musik orkestra klasik mengalun lembut, menambah atmosfer prestisius malam itu.Pesta malam ini diadakan oleh Valeria Hudson sendiri. Tujuannya untuk memperkuat citra keluarga Hudson di mata publik setelah berbagai gejolak rumor dan insiden belakangan ini. Secara khusus, acara ini dikemas sebagai Hudson Charity Gala—malam penggalangan dana untuk yayasan kesehatan dan pendidikan yang berada di bawah naungan Hudson Group. Para tamu undangan adalah deretan orang-orang penting seperti politisi, konglomerat, hingga bangsawan yang datang dari luar negeri.Semua mata seolah otomatis menoleh setiap kali Dante d
Malam itu ruang makan utama terasa lebih hangat dari biasanya. Dante duduk di sisi kanan, Belle di kiri, sementara Valeria di ujung meja, dengan ekspresi tenang namun sulit ditebak. Aroma sup krim bercampur dengan wangi daging panggang memenuhi udara. Tapi yang membuat suasana berbeda adalah kehadiran Valeria yang hingga kini belum juga kembali ke kediamannya sendiri.Sejak Dante pulang, Belle mengira Valeria akan pergi. Tapi kenyataannya sang mertua tetap bertahan, memilih tinggal di rumah ini demi alasan menjaga Adrian. Meski canggung, Belle tidak menolak. Toh Valeria tidak pernah mengomentari apapun tindakannya di rumah.Makan malam berlangsung dengan obrolan singkat. Dante sesekali menatap Belle untuk memastikan kondisinya sudah lebih baik. Belle tersenyum tipis, menegaskan bahwa ia baik-baik saja. Hingga tiba-tiba, Valeria meletakkan garpu dan pisaunya. Lalu menegakkan tubuhnya dengan anggun.“Lawrie,” panggilnya.Dari arah belakang, Lawrie yang sejak tadi berdiri tegak melangkah
Kabar penyerangan itu sampai ke Dante lebih cepat dari yang diduga. Lawrie langsung melaporkan insiden tersebut lewat sambungan khusus yang hanya bisa diakses oleh Dante Hudson. Begitu mendengar detailnya—bagaimana Belle hampir ditusuk pria bayaran Evelyn, darah Dante mendidih.Setelahnya, tidak ada lagi rapat atau agenda bisnis yang berarti. Fabian melihat tuannya bertransformasi, dari pebisnis tenang menjadi sosok yang siap membunuh siapa pun yang menyentuh keluarganya.Malam itu, mereka menuju ke sebuah penthouse mewah di distrik Shinjuku, tempat Evelyn menginap. Dua penjaga pribadi Evelyn di pintu hanya sempat menoleh sebelum Dante dan Fabian melangkah masuk tanpa permisi. Aura yang Dante pancarkan membuat siapa pun tak berani menghalanginya.Evelyn sedang duduk anggun di sofa, dengan segelas anggur merah di tangan. Bibirnya melengkung sinis saat melihat Dante datang. “Oh, Dante. Kau benar-benar tidak bisa jauh dariku, ya?”Dante tidak menjawab. Ia melempar sebuah map tebal ke me
Siang itu Dante berada di Tokyo, tepatnya di lantai atas sebuah hotel mewah yang digunakan Hudson Group untuk mengadakan pertemuan dengan mitra Jepang. Dari jendela kaca besar ruang VIP tempatnya menunggu, pemandangan kota tampak jelas. Gedung pencakar langit berkilauan, jalanan sibuk, dan papan neon warna-warni yang tak pernah mati.Fabian berdiri tak jauh, sibuk meninjau dokumen di dalam tablet. “Tuan, rapat dengan Yamashita Corporation dimulai lima belas menit lagi. Mereka sudah tiba di ruang konferensi.”Dante mengangguk singkat, tapi matanya tidak lepas dari layar ponsel yang baru saja bergetar di tangannya. Sebuah pesan masuk dari nomor asing.Dengan alis sedikit berkerut, ia membuka pesan itu. Dan seketika napasnya tertahan sepersekian detik.Salah satu foto menampilkan Belle tersenyum sambil menyentuh lengan Eddie, seolah mereka tengah berbagi momen intim. Di foto lain, Eddie berdiri dekat sekali dengan Belle saat membawa kotak besar. Sudut pengambilan foto membuat segalanya t
Sore itu, rumah baru Belle dipenuhi aroma masakan hangat. Meja makan besar di ruang makan sudah ditata rapi dengan piring porselen putih bergaris emas, lilin-lilin kecil beraroma vanila di tengah meja, dan bunga mawar segar di vas kaca.Belle sedang memeriksa pengaturan kursi ketika suara bel pintu terdengar. Salah satu pelayan membukakan pintu. Dan di sana osok Lex dan Lila datang bersamaan.“Lumayan juga. Untuk ukuran rumah yang bukan mansion Hudson,” tukas Lex, pandangannya menyapu seluruh area ruangan.Belle menahan tawa, sudah terbiasa dengan komentar sekenanya itu. Sebelum ia sempat membalas, Lila memutar bola matanya dan menepuk lengan Lex.“Apa itu ucapan selamat versimu? Kalau iya, jelek sekali caranya,” gerutu Lila.Lex hanya mengangkat bahu, menyeringai tipis. “Hei, aku jujur.”Belle terkekeh, lalu memeluk Lila sebentar. “Terima kasih sudah datang.”Tak lama, suara pintu kembali terdengar. Kali ini, Jamie melangkah masuk. Penampilannya rapi dengan setelan kasual. Senyumnya
Pagi itu, udara masih dingin dan lembut ketika cahaya matahari baru mulai menyelinap di balik tirai rumah. Belle sudah bangun lebih dulu. Ia menyiapkan secangkir kopi hitam untuk Dante dan segelas susu hangat untuk dirinya sendiri, sambil sesekali melirik jam dinding.Di ruang tamu, koper hitam besar milik Dante sudah tertata rapi di dekat pintu masuk. Fabian berdiri tak jauh dari situ, memegang tablet berisi jadwal dan dokumen perjalanan.“Kau mau kopi, Fab?” tegur Belle.Fabian sedikit menunduk. Pertanda bahwa dia baik-baik saja meski tampak berdiri diam seperti robot.Dante muncul dari lorong kamar, mengenakan mantel panjang warna hitam di atas setelan gelapnya. Matanya langsung mencari Belle begitu i