Bab 4 Peringatan Kecil
Dante duduk di kursi besar di ujung ruangan, memandang gelas kristalnya dengan tatapan menggelap. Di dalam pikirannya, perkataan Belle terus terulang. Seperti gema yang tak mau hilang.
“Itu lebih dari cukup dibandingkan Anda yang memiliki kekayaan … tapi saya yakin … itu bukan hasil kerja keras Anda sendiri,”
Kata-kata itu membakar ego Dante. Wanita itu, seorang rendahan, berani menghinanya. Di depan teman-temannya. Dalam mimpi terburuk Dante sekalipun, itu semua tidak pernah terbayangkan.
Lex yang sedang berbincang dengan Nate dan Jamie, melirik ke arah Dante. Dia menyadari perubahan hati pria itu.
“Apa kau ingin membunuh seseorang, Dan?” tegur Lex sambil menepuk bahu Dante.
Dante mendongak, menatap Lex dengan mata yang penuh amarah. “Wanita itu harus diberi pelajaran. Siapa dia hingga berani menamparku seperti itu?”
Vicky yang duduk di dekat mereka mendengus, menuangkan anggur ke gelasnya. “Dia memang tidak bisa dibiarkan,” sahutnya.
James Calloway—Jamie yang duduk di salah satu sofa dengan segelas bourbon di tangan, berdiri mendekat. “Ayolah, Dan. Dia hanya wanita kelas bawah. Kau tak perlu terlalu memikirkannya,”
“Dia menamparku!” Dante berbalik dengan mata menyala. Suaranya meledak. “Di depan semua orang, dia mempermalukan aku!”
Tangan Dante menyambar vas kristal yang berdiri di atas meja. Tanpa berpikir dua kali, dia melemparkannya ke dinding. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, membuat beberapa pelayan yang sedang bertugas menahan napas ketakutan.
“Dante, hentikan!” Jamie menahan tubuh Dante. “Merusak barang di sini tidak akan membuatmu merasa lebih baik,”
“Aku tidak peduli!” Dante menghentakkan tinjunya ke meja kayu mahoni di depannya. “Dia harus belajar siapa yang berkuasa. Aku akan membuatnya menyesal telah berbicara seperti itu padaku!”
Jamie menghela napas panjang. Dia melangkah mendekati pelayan yang berdiri dengan canggung di sudut ruangan. Dengan gerakan yang tenang, Jamie merogoh dompet kulitnya dan mengeluarkan setumpuk uang tunai.
Selalu seperti itu. Jamie selalu menjadi orang yang membersihkan segala kekacauan yang diperbuat Dante.
“Tapi aku harus akui, dia memang cukup berani. Wanita itu berbeda,” komentar Lex.
“Aku akan menghancurkannya,” kata Dante dingin.
Lex tersenyum licik. “Aku tahu siapa dia,” ucapnya. Semua anggota club tahu Lex memiliki kemampuan meretas handal.
Dante mengangkat satu alis, menunjukkan ketertarikan. “Siapa?”
“Wanita yang mendebatmu semalam,” kata Lex, dengan nada santai namun penuh arti. “Namanya Isabella Monaghan. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang asisten eksekutif di Hudson Group,”
Dante menyipitkan mata. “Asisten eksekutif di Hudson Group?”
“Betul,” Lex mengangguk. “Bekerja di bawah Nate Whitmore. Kau tahu, Nate tipe orang yang menghabiskan waktunya untuk memastikan laporan keuangan perusahaanmu sempurna,” Dia melirik Nate, setengah bergurau.
Nate yang duduk di sudut ruangan dengan segelas scotch di tangan, menatap Lex sedikit kesal. “Hei, aku tidak hanya mengurus laporan keuangan. Aku memastikan bisnis tetap berjalan lancar, oke?” sahutnya.
Lex mengabaikan Nate dan berbalik ke Dante. “Intinya, dia hanya pion kecil dalam perusahaanmu. Tidak penting. Tapi dia berani menginjak-injak harga dirimu. Itu tidak bisa dibiarkan, kan?”
Jamie yang mendengarkan, memutar bola mata. “Ayolah, Lex. Kau mulai lagi,” selorohnya. Dia tahu kebiasaan Lex, yang selalu menuruti setiap amukan Dante.
Dante menatap Lex dengan tajam. “Apa saranmu?”
Lex tersenyum tipis, seperti predator yang menemukan mangsanya. “Kita beri dia peringatan kecil. Tidak perlu sesuatu yang berlebihan. Hanya sesuatu yang membuatnya tahu tempatnya,”
“Lex, aku tidak yakin itu ide bagus,” sela Nate, menaruh gelasnya. “Belle bekerja untukku. Dia cukup kompeten dan tidak pernah menimbulkan masalah sebelumnya. Aku tidak bisa mengganggunya begitu saja,”
Lex terkekeh. “Nate, ini bukan hanya tentang pekerjaanmu. Ini tentang mempertahankan reputasi Dominion Club, reputasi kita,”
“Dia berani melawan di depan semua orang,” tambah Dante, nadanya dingin dan penuh dendam.
Nate mendesah. “Aku tidak ingin kehilangan asisten yang kompeten hanya karena egomu,”
Dante mengabaikan peringatan Nate, fokus sepenuhnya pada kata-kata Lex. “Apa yang kau sarankan, Lex?”
Lex menyeringai. Seperti seseorang yang baru saja mendapatkan lampu hijau untuk melakukan sesuatu yang jahat.
“Manfaatkan media sosial. Kita buat dia tahu kalau dia hanyalah masyarakat kelas bawah yang bisa kita kendalikan,”
“Aku bisa bantu soal itu,” sahut Vicky cepat. Vicky memang ahli melakukan sabotase media sosial.
Dante mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. “Aku tidak akan membiarkan hidupnya tenang,”
Nate memijat pelipis, sadar tidak ada yang bisa menghentikan Dante begitu dia sudah memutuskan sesuatu. Namun, Nate juga tahu kalau mencoba melawan hanya akan memperburuk situasi.
“Mereka bersenang-senang seperti anak kecil,” komentar Jamie, yang duduk di samping Nate.
“Dan kau pawang mereka,” sahut Nate, tersenyum miris.
Jamie menghembuskan napas keras. Sejak kecil, selalu seperti itu. Jamie selalu menjadi pembersih kekacauan yang ditimbulkan Dante dan Lex.
“Jangan berlebihan!” teriak Nate.
“Tentu saja,” jawab Dante, sambil melambai tak peduli.
***
Belle sedang duduk di mejanya, sibuk menatap layar komputer sambil mengetik cepat. Dia menghela napas lega saat berhasil menyelesaikan laporan terakhir sebelum istirahat selesai. Baru saja Belle akan menyeruput kopi dinginnya, ketika suara langkah berat bergema di lorong.
Saat Belle mendongak, sosok pria tinggi dengan setelan hitam sempurna sudah berdiri di depannya. Dante Hudson. Kehadiran Dante cukup untuk membuat rekan kerja Belle menghentikan aktivitas mereka. Menatap dengan penuh rasa ingin tahu—dan ketakutan.
“S-Selamat siang, Pak Hudson,” sapa Belle, berusaha ramah. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Belle Monaghan, ya?”
Belle menunduk. Sama sekali tidak berani menatap wajah Dante.
Dua bulan berlalu sejak perjalanan bulan madu mereka di Bora-Bora. Malam ini, Dante dan Belle melangkah memasuki salah satu ballroom termegah di pusat kota Manhattan—Hudson Grand Hall, gedung megah milik keluarga Hudson yang sering menjadi tempat acara-acara besar diadakan. Lampu kristal bergemerlap dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke dinding marmer putih berornamen emas. Musik orkestra klasik mengalun lembut, menambah atmosfer prestisius malam itu.Pesta malam ini diadakan oleh Valeria Hudson sendiri. Tujuannya untuk memperkuat citra keluarga Hudson di mata publik setelah berbagai gejolak rumor dan insiden belakangan ini. Secara khusus, acara ini dikemas sebagai Hudson Charity Gala—malam penggalangan dana untuk yayasan kesehatan dan pendidikan yang berada di bawah naungan Hudson Group. Para tamu undangan adalah deretan orang-orang penting seperti politisi, konglomerat, hingga bangsawan yang datang dari luar negeri.Semua mata seolah otomatis menoleh setiap kali Dante d
Malam itu ruang makan utama terasa lebih hangat dari biasanya. Dante duduk di sisi kanan, Belle di kiri, sementara Valeria di ujung meja, dengan ekspresi tenang namun sulit ditebak. Aroma sup krim bercampur dengan wangi daging panggang memenuhi udara. Tapi yang membuat suasana berbeda adalah kehadiran Valeria yang hingga kini belum juga kembali ke kediamannya sendiri.Sejak Dante pulang, Belle mengira Valeria akan pergi. Tapi kenyataannya sang mertua tetap bertahan, memilih tinggal di rumah ini demi alasan menjaga Adrian. Meski canggung, Belle tidak menolak. Toh Valeria tidak pernah mengomentari apapun tindakannya di rumah.Makan malam berlangsung dengan obrolan singkat. Dante sesekali menatap Belle untuk memastikan kondisinya sudah lebih baik. Belle tersenyum tipis, menegaskan bahwa ia baik-baik saja. Hingga tiba-tiba, Valeria meletakkan garpu dan pisaunya. Lalu menegakkan tubuhnya dengan anggun.“Lawrie,” panggilnya.Dari arah belakang, Lawrie yang sejak tadi berdiri tegak melangkah
Kabar penyerangan itu sampai ke Dante lebih cepat dari yang diduga. Lawrie langsung melaporkan insiden tersebut lewat sambungan khusus yang hanya bisa diakses oleh Dante Hudson. Begitu mendengar detailnya—bagaimana Belle hampir ditusuk pria bayaran Evelyn, darah Dante mendidih.Setelahnya, tidak ada lagi rapat atau agenda bisnis yang berarti. Fabian melihat tuannya bertransformasi, dari pebisnis tenang menjadi sosok yang siap membunuh siapa pun yang menyentuh keluarganya.Malam itu, mereka menuju ke sebuah penthouse mewah di distrik Shinjuku, tempat Evelyn menginap. Dua penjaga pribadi Evelyn di pintu hanya sempat menoleh sebelum Dante dan Fabian melangkah masuk tanpa permisi. Aura yang Dante pancarkan membuat siapa pun tak berani menghalanginya.Evelyn sedang duduk anggun di sofa, dengan segelas anggur merah di tangan. Bibirnya melengkung sinis saat melihat Dante datang. “Oh, Dante. Kau benar-benar tidak bisa jauh dariku, ya?”Dante tidak menjawab. Ia melempar sebuah map tebal ke me
Siang itu Dante berada di Tokyo, tepatnya di lantai atas sebuah hotel mewah yang digunakan Hudson Group untuk mengadakan pertemuan dengan mitra Jepang. Dari jendela kaca besar ruang VIP tempatnya menunggu, pemandangan kota tampak jelas. Gedung pencakar langit berkilauan, jalanan sibuk, dan papan neon warna-warni yang tak pernah mati.Fabian berdiri tak jauh, sibuk meninjau dokumen di dalam tablet. “Tuan, rapat dengan Yamashita Corporation dimulai lima belas menit lagi. Mereka sudah tiba di ruang konferensi.”Dante mengangguk singkat, tapi matanya tidak lepas dari layar ponsel yang baru saja bergetar di tangannya. Sebuah pesan masuk dari nomor asing.Dengan alis sedikit berkerut, ia membuka pesan itu. Dan seketika napasnya tertahan sepersekian detik.Salah satu foto menampilkan Belle tersenyum sambil menyentuh lengan Eddie, seolah mereka tengah berbagi momen intim. Di foto lain, Eddie berdiri dekat sekali dengan Belle saat membawa kotak besar. Sudut pengambilan foto membuat segalanya t
Sore itu, rumah baru Belle dipenuhi aroma masakan hangat. Meja makan besar di ruang makan sudah ditata rapi dengan piring porselen putih bergaris emas, lilin-lilin kecil beraroma vanila di tengah meja, dan bunga mawar segar di vas kaca.Belle sedang memeriksa pengaturan kursi ketika suara bel pintu terdengar. Salah satu pelayan membukakan pintu. Dan di sana osok Lex dan Lila datang bersamaan.“Lumayan juga. Untuk ukuran rumah yang bukan mansion Hudson,” tukas Lex, pandangannya menyapu seluruh area ruangan.Belle menahan tawa, sudah terbiasa dengan komentar sekenanya itu. Sebelum ia sempat membalas, Lila memutar bola matanya dan menepuk lengan Lex.“Apa itu ucapan selamat versimu? Kalau iya, jelek sekali caranya,” gerutu Lila.Lex hanya mengangkat bahu, menyeringai tipis. “Hei, aku jujur.”Belle terkekeh, lalu memeluk Lila sebentar. “Terima kasih sudah datang.”Tak lama, suara pintu kembali terdengar. Kali ini, Jamie melangkah masuk. Penampilannya rapi dengan setelan kasual. Senyumnya
Pagi itu, udara masih dingin dan lembut ketika cahaya matahari baru mulai menyelinap di balik tirai rumah. Belle sudah bangun lebih dulu. Ia menyiapkan secangkir kopi hitam untuk Dante dan segelas susu hangat untuk dirinya sendiri, sambil sesekali melirik jam dinding.Di ruang tamu, koper hitam besar milik Dante sudah tertata rapi di dekat pintu masuk. Fabian berdiri tak jauh dari situ, memegang tablet berisi jadwal dan dokumen perjalanan.“Kau mau kopi, Fab?” tegur Belle.Fabian sedikit menunduk. Pertanda bahwa dia baik-baik saja meski tampak berdiri diam seperti robot.Dante muncul dari lorong kamar, mengenakan mantel panjang warna hitam di atas setelan gelapnya. Matanya langsung mencari Belle begitu i