Share

Bab 6 Janggal

Author: Dinara L.A
last update Last Updated: 2023-06-07 22:40:04

KB-7

Heh, dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja? Dengan perginya dari rumah ini, si Meti telah menabuh genderang perang.

Nomer yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Silahkan coba beberapa saat lagi. Suara operator seluler terdengar saat kucoba menghubungi nomer ponselnya. “Sudah kuduga.”

Meski sedang tidak aktif, aku tetap mengirimkan sebuah pesan. Kuyakin sesekali ia akan mengaktifkannya untuk mengecek.

[Beritahu aku, kalau tidak akan kudatangi keluargamu dan mempermalukanmu di sana.]

Sejam, dua jam, pesan itu masih centang satu. Aku mondar-mandir dengan pikiran semrawut. Kalau sampai terbukti suamiku selingkuh dengannya, awas saja! Kuremas kepala yang kian pusing. Lambat laun, dadaku bergemuruh berdenyut nyeri.

Apa mungkin suami sebaik Hans tega melakukan pengkianatan? Setelah apa yang kuberi selama ini. Dia juga selalu ada untukku. Bagaimana mungkin sampai kecolongan? Apa lagi kalau ia melakukannya dengan pembantu sialan itu.

Oh, tidak! Kamarku, ranjangku, dipakai bersama wanita lain. Jahat sekali! Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Buliran bening berjatuhan tanpa bisa kucegah.

Ting tong … tiba-tiba bel rumah ada yang menekan. Kuberingsut dari sofa menuju pintu depan. Tidak lupa kuhapus air mata yang masih ingin menetes.

“Oh, Hendra, ya? Maaf ada perlu apa?” tanyaku setelah membuka pintu.

“Maaf, Mbak, Meti-nya ada? Soalnya dihubungi kok, enggak aktif-aktif. ”

“Kamu pacarnya Meti?”

“Hehe … iya, Mbak,” akunya malu-malu.

“Tapi Meti-nya sudah pergi.”

“Maksudnya?”

“Dia kabur begitu saja dari rumah. Ini saya lagi kebingungan mau mencari dia kemana.”

“Kabur? Kenapa sampai bisa kabur?”

“Itu dia yang saya mau tanyakan juga. Apa kamu punya masalah dengannya? ”

“Tidak, Mbak.”

“Kalau kamu nanti dapat kabar tentang dia, tolong kabari saya, ya!”

“Baik, Mbak. Kalau begitu saya permisi.”

Hendra sudah berlalu. Kini aku mematung di depan pintu. Jadi benar si Meti menjalin hubungan dengan anak Bu Laras.

Terus apa mungkin menjalin hubungan dengan Hans juga? Rasanya tidak mungkin. Secara fisik, Hendra menang telak dari suamiku. Tetapi, kenapa Meti harus kabur segala, sih?

Kucek kembali chat yang kukirim tadi. Akhirnya sudah centang biru. Langsung kulakukan panggilan.

[Angkat, barusan Hendra dari rumahku. Kalau tidak kuberitahu dia betapa murahannya dirimu.] Pesan yang kulayangkan sebelum menyentuh nomernya.

Klik ….

“Hallo, Nyak. Tolong jangan beritahu Kak Hendra yang aneh-aneh.”

Ruapanya Hendra adalah kelemahan jalang kecil ini.

“Beritahu aku sebenarnya apa yang terjadi? Kamu main gila dengan Tuan-mu hah?”

“Tidak Nyonya! Bukan saya. Saya justru membantu Nyonya agar bisa mengendus perselingkuhan Tuan.”

“Maksudmu?”

“Selebihnya Nyonya cari tahu sendiri. Mertua Nyonya juga tahu akan hal ini. Saya sudah cukup tertekan selama ini. Tolong jangan menambah beban.”

“Lucu sekali kamu. Yang ada kamulah yang membebaniku. Dasar tidak tahu diri!” hardikku.

“Terserahlah, Nyonya.”

Tuutt … dia mematikan sambungan sepihak.

“Arrggh!”

Kutelaah dan renungkan apa yang telah dikatakan Meti barusan. Dia bilang mertuaku tahu soal ini.

***

Kudatangi rumah mertuaku dengan alasan mau meminjam uang yang ia minta di telepon.

“Ya, ampun mantu, tidak usah repot-repot sampai diantarkan segala. Kan bisa transfer,” ucap mertua semringah.

“Tidak repot, Bu. Sekalian aku ingin silaturahmi juga. Sudah lama ‘kan aku tidak berkunjung.”

“Hans memang tidak salah pilih cari istri. Kamu ini memang yang terbaik.”

“Ah, Ibu berlebihan.”

“Serius Mantu. Oya, katanya lagi tidak ada uang? Kenapa memaksakan seperti ini?”

“Tadi kebetulan, Bos memberikan bonusan. Jadi aku langsung teringat Ibu.”

“Oh ya Tuhan, terima kasih Mantu.” Ibu Hans tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya. “Eh, lupa! Kenapa datang sendirian? Memangnya Hans kemana?”

Apa ibu menanyakan Hans? Apa dia tidak tahu kalau dia pergi ke Bali mengikuti Dea.

“Mas Hans ke Bali bareng Dea, Bu. Kok, Ibu enggak tahu?”

“Ke Bali bareng Dea?” Tampaknya syok.

“Bu, kenapa Bu?” tegurku kepada mertua yang mematung sejenak.

“Oh, iya-iya. Ibu lupa. Akhir-akhir ini entah kenapa Ibu memang pelupa. Hehe ….” Mertuaku kali ini memaksakan senyuman.

Dia tidak pandai sekali dalam bersandiwara. Aroma kebohongan menguar kuat di sekelilingku. Benar ternyata kata si Meti, wanita paru baya ini tahu sesuatu.

Allahu akbar, allahu akbar … azan magrib berkumandang dari salah satu stasiun TV.

“Tidak terasa sudah magrib saja. Bu, aku ikut solat, ya!”

“Boleh-boleh, tentu saja.”

Sengaja aku memilih solat di kamar Dea. Saat solat kukunci pintu kamarnya. Dengan cepat kuselesaikan lebih cepat tiga rakaat tersebut. Sisanya kugeledah isi lemari dan laci-laci yang ada di dalamnya.

Tok, tok, suara pintu kamar diketuk. Hadeuh, padahal belum menemukan apa-apa.

“Mantu, kok lama? Ayo, kita makan malam dulu,” ajak mertuaku dari luar kamar.

“Oh, iya, Bu. Sebentar.”

Tidak lama aku keluar agar tidak mencurigakan. Kami pun menikmati makan malam hanya berdua. Ayah Hans memang sudah lama meninggal. Sedangkan pembantu di rumah ini selalu bekerja sampai sore hari saja.

“Bagaimana enak tidak masakan Ibu?”

“Masakan Ibu selalu enak. Chef restoran saja kalah,” pujiku.

“Ah Mantu, kamu bisa saja. Masa masakan Ibu disamakan dengan chef. Hehe,” kekehnya.

“Bu, apa boleh aku menginap. Mas Hans ‘kan lagi di Bali, jadi di rumah aku sendirian. Si Meti lagi menginap di rumah temannya.”

“Gimana sih, pembantu kamu. Bukannya temenin majikan, malah menginap,” gerutunya.

“Tak apa Bu. Dia jarang sekali menginap, kok. Jadi gimana apa boleh aku menginap?”

“Ya tentu boleh, Mantu.”

Usai makan malam kami menghabiskan waktu bersama di depan TV. Tiba-tiba mataku menangkap sebuah album foto di rak lemari yang tidak jauh dari rak TV. Tumben sekali ada album foto. Sebelumnya aku tidak pernah menemukan setiap kali berkunjung ke rumah mertua. Setelah meminta izin untuk mengambilnya, aku langsung melihat-lihat. Ternyata sebuah album foto yang telah usang.

“Bu, ini foto siapa?” Aku menunjuk deretan foto bayi mungil nan menggemaskan.

“Itu Hans. Lucu, ya?”

“Iya.”

Kubuka lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Kok, aku merasa ada yang janggal? Perasaan aku tidak menemukan foto bayi atau balita lain selain Hans.

“Kenapa, Mantu? ” tanya ibu saat melihatku terus membuka ulang album tersebut.

“Kalau foto Dea yang mana, ya, Bu?”

“Dea?” Seketika riak ibu yang tengah santai menonton sinetron kesayangannya berubah.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 75 Cinta Sejati

    Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 74 Masalah Daffa

    Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 73 Anugerah

    Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 72 Keputusan

    Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 71 Rencana

    POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 70 Mendung

    Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status