Share

Bab 6 Janggal

KB-7

Heh, dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja? Dengan perginya dari rumah ini, si Meti telah menabuh genderang perang.

Nomer yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Silahkan coba beberapa saat lagi. Suara operator seluler terdengar saat kucoba menghubungi nomer ponselnya. “Sudah kuduga.”

Meski sedang tidak aktif, aku tetap mengirimkan sebuah pesan. Kuyakin sesekali ia akan mengaktifkannya untuk mengecek.

[Beritahu aku, kalau tidak akan kudatangi keluargamu dan mempermalukanmu di sana.]

Sejam, dua jam, pesan itu masih centang satu. Aku mondar-mandir dengan pikiran semrawut. Kalau sampai terbukti suamiku selingkuh dengannya, awas saja! Kuremas kepala yang kian pusing. Lambat laun, dadaku bergemuruh berdenyut nyeri.

Apa mungkin suami sebaik Hans tega melakukan pengkianatan? Setelah apa yang kuberi selama ini. Dia juga selalu ada untukku. Bagaimana mungkin sampai kecolongan? Apa lagi kalau ia melakukannya dengan pembantu sialan itu.

Oh, tidak! Kamarku, ranjangku, dipakai bersama wanita lain. Jahat sekali! Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Buliran bening berjatuhan tanpa bisa kucegah.

Ting tong … tiba-tiba bel rumah ada yang menekan. Kuberingsut dari sofa menuju pintu depan. Tidak lupa kuhapus air mata yang masih ingin menetes.

“Oh, Hendra, ya? Maaf ada perlu apa?” tanyaku setelah membuka pintu.

“Maaf, Mbak, Meti-nya ada? Soalnya dihubungi kok, enggak aktif-aktif. ”

“Kamu pacarnya Meti?”

“Hehe … iya, Mbak,” akunya malu-malu.

“Tapi Meti-nya sudah pergi.”

“Maksudnya?”

“Dia kabur begitu saja dari rumah. Ini saya lagi kebingungan mau mencari dia kemana.”

“Kabur? Kenapa sampai bisa kabur?”

“Itu dia yang saya mau tanyakan juga. Apa kamu punya masalah dengannya? ”

“Tidak, Mbak.”

“Kalau kamu nanti dapat kabar tentang dia, tolong kabari saya, ya!”

“Baik, Mbak. Kalau begitu saya permisi.”

Hendra sudah berlalu. Kini aku mematung di depan pintu. Jadi benar si Meti menjalin hubungan dengan anak Bu Laras.

Terus apa mungkin menjalin hubungan dengan Hans juga? Rasanya tidak mungkin. Secara fisik, Hendra menang telak dari suamiku. Tetapi, kenapa Meti harus kabur segala, sih?

Kucek kembali chat yang kukirim tadi. Akhirnya sudah centang biru. Langsung kulakukan panggilan.

[Angkat, barusan Hendra dari rumahku. Kalau tidak kuberitahu dia betapa murahannya dirimu.] Pesan yang kulayangkan sebelum menyentuh nomernya.

Klik ….

“Hallo, Nyak. Tolong jangan beritahu Kak Hendra yang aneh-aneh.”

Ruapanya Hendra adalah kelemahan jalang kecil ini.

“Beritahu aku sebenarnya apa yang terjadi? Kamu main gila dengan Tuan-mu hah?”

“Tidak Nyonya! Bukan saya. Saya justru membantu Nyonya agar bisa mengendus perselingkuhan Tuan.”

“Maksudmu?”

“Selebihnya Nyonya cari tahu sendiri. Mertua Nyonya juga tahu akan hal ini. Saya sudah cukup tertekan selama ini. Tolong jangan menambah beban.”

“Lucu sekali kamu. Yang ada kamulah yang membebaniku. Dasar tidak tahu diri!” hardikku.

“Terserahlah, Nyonya.”

Tuutt … dia mematikan sambungan sepihak.

“Arrggh!”

Kutelaah dan renungkan apa yang telah dikatakan Meti barusan. Dia bilang mertuaku tahu soal ini.

***

Kudatangi rumah mertuaku dengan alasan mau meminjam uang yang ia minta di telepon.

“Ya, ampun mantu, tidak usah repot-repot sampai diantarkan segala. Kan bisa transfer,” ucap mertua semringah.

“Tidak repot, Bu. Sekalian aku ingin silaturahmi juga. Sudah lama ‘kan aku tidak berkunjung.”

“Hans memang tidak salah pilih cari istri. Kamu ini memang yang terbaik.”

“Ah, Ibu berlebihan.”

“Serius Mantu. Oya, katanya lagi tidak ada uang? Kenapa memaksakan seperti ini?”

“Tadi kebetulan, Bos memberikan bonusan. Jadi aku langsung teringat Ibu.”

“Oh ya Tuhan, terima kasih Mantu.” Ibu Hans tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya. “Eh, lupa! Kenapa datang sendirian? Memangnya Hans kemana?”

Apa ibu menanyakan Hans? Apa dia tidak tahu kalau dia pergi ke Bali mengikuti Dea.

“Mas Hans ke Bali bareng Dea, Bu. Kok, Ibu enggak tahu?”

“Ke Bali bareng Dea?” Tampaknya syok.

“Bu, kenapa Bu?” tegurku kepada mertua yang mematung sejenak.

“Oh, iya-iya. Ibu lupa. Akhir-akhir ini entah kenapa Ibu memang pelupa. Hehe ….” Mertuaku kali ini memaksakan senyuman.

Dia tidak pandai sekali dalam bersandiwara. Aroma kebohongan menguar kuat di sekelilingku. Benar ternyata kata si Meti, wanita paru baya ini tahu sesuatu.

Allahu akbar, allahu akbar … azan magrib berkumandang dari salah satu stasiun TV.

“Tidak terasa sudah magrib saja. Bu, aku ikut solat, ya!”

“Boleh-boleh, tentu saja.”

Sengaja aku memilih solat di kamar Dea. Saat solat kukunci pintu kamarnya. Dengan cepat kuselesaikan lebih cepat tiga rakaat tersebut. Sisanya kugeledah isi lemari dan laci-laci yang ada di dalamnya.

Tok, tok, suara pintu kamar diketuk. Hadeuh, padahal belum menemukan apa-apa.

“Mantu, kok lama? Ayo, kita makan malam dulu,” ajak mertuaku dari luar kamar.

“Oh, iya, Bu. Sebentar.”

Tidak lama aku keluar agar tidak mencurigakan. Kami pun menikmati makan malam hanya berdua. Ayah Hans memang sudah lama meninggal. Sedangkan pembantu di rumah ini selalu bekerja sampai sore hari saja.

“Bagaimana enak tidak masakan Ibu?”

“Masakan Ibu selalu enak. Chef restoran saja kalah,” pujiku.

“Ah Mantu, kamu bisa saja. Masa masakan Ibu disamakan dengan chef. Hehe,” kekehnya.

“Bu, apa boleh aku menginap. Mas Hans ‘kan lagi di Bali, jadi di rumah aku sendirian. Si Meti lagi menginap di rumah temannya.”

“Gimana sih, pembantu kamu. Bukannya temenin majikan, malah menginap,” gerutunya.

“Tak apa Bu. Dia jarang sekali menginap, kok. Jadi gimana apa boleh aku menginap?”

“Ya tentu boleh, Mantu.”

Usai makan malam kami menghabiskan waktu bersama di depan TV. Tiba-tiba mataku menangkap sebuah album foto di rak lemari yang tidak jauh dari rak TV. Tumben sekali ada album foto. Sebelumnya aku tidak pernah menemukan setiap kali berkunjung ke rumah mertua. Setelah meminta izin untuk mengambilnya, aku langsung melihat-lihat. Ternyata sebuah album foto yang telah usang.

“Bu, ini foto siapa?” Aku menunjuk deretan foto bayi mungil nan menggemaskan.

“Itu Hans. Lucu, ya?”

“Iya.”

Kubuka lembar demi lembar hingga halaman terakhir. Kok, aku merasa ada yang janggal? Perasaan aku tidak menemukan foto bayi atau balita lain selain Hans.

“Kenapa, Mantu? ” tanya ibu saat melihatku terus membuka ulang album tersebut.

“Kalau foto Dea yang mana, ya, Bu?”

“Dea?” Seketika riak ibu yang tengah santai menonton sinetron kesayangannya berubah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status