Share

Bab 7 Diluar dugaan

Penulis: Dinara L.A
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-07 22:41:59

“Iya, Bu. Foto Dea sewaktu kecil mana?”

“Eeu … anu, itu.”

“Apa, Bu? Kenapa enggak jelas?”

“Foto Dea sewaktu kecil tidak ada.”

“Lha, kok bisa?”

“Hilang, ya, hilang albumnya.”

“Jangan bohong, Bu! Kasih tahu aku yang sebenarnya!” tekanku.

“Ibu tidak bohong, Mantu.”

“Katakan! Dea itu siapa sebenarnya?” bentakku.

“Mantu, kamu bentak Ibu?”

“Ya. Memangnya kenapa? Kaget? Aku bisa bertindak lebih jauh dari ini.” Mataku menyalang.

“Dea itu adiknya Hans. Memang siapa lagi?”

“Jadi Ibu tetap tidak mau bilang? Tidak mau memberitahu aku?”

“Apa yang harus Ibu bilang? Dea itu memang adiknya Hans,” kukuhnya.

“Justru sikap Ibu menunjukkan sebaliknya.”

“Apa maksudnya?”

“Heh! Masih menanyakan apa maksudnya?”

“Ibu benar-benar tidak mengerti.”

“Aku akan memberi Hans, Ibu dan si Dea perhitungan.” Telunjukku mengacung ke mukanya.

“Perhitungan apa, Mantu? Memangnya apa yang telah kami lakukan?”

“Masih bertanya? Lucu!”

Gegas aku beranjak dan menyambar tas untuk pergi dari rumah orang penipu ini.

“Mantu,” panggil ibunya Hans seraya mengejarku yang melenggang keluar rumah.

Sesampai di pintu mobil, aku menoleh. “Oya, uang tadi tidak usah dibayar. Anggap saja itu uang pesangon dariku.”

“Mantu, mantu!” panggilnya lagi dengan berteriak. Sebab aku sudah membunyikan mesin mobil dan siap melaju dari pekarangan.

***

Sesampai di rumah kujatuhkan bobot tubuh di kasur. Air mataku tumpah ruah tanpa izin. Sebenarnya aku benci jika harus menangisi lelaki pengkhianat. Tetapi, hati ini terlampau nyeri. Teremas tanpa ampun.

Aku yakin Hans dan Dea ada apa-apanya. Dea pasti bukan adik kandung Hans. Kenapa selama ini aku tidak peka dengan keakraban Kakak beradik itu? Keakraban yang lebih menjurus romantis.

Kuteringat akan kontrasepsi bekas pakai yang kutemukan di kamar ini. Sungguh tidak ada akhlak jika suamiku melakukan bersama jalang Dea di ranjang milikku.

“Oh Tuhan … kurang apa aku selama ini? Aku begitu royal terhadap mereka semua. Jadi selama ini aku telah membiayai selingkuhan suamiku sendiri? Miris!”

Tiba-tiba aku teringat akan Mami dan Papi di negri Jiran. Bahkan waku itu dengan keras kepalanya aku menolak mentah-mentah ajakan mereka untuk pindah ke sana. Lantaran tidak mau pisah dengan Hans.

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menerima lamarannya. Padahal terang-terangan orang tua tidak merestui. Aku tetap nekat. Dari sejak itulah, hubungan kami kurang baik. Terakhir bertemu hanya di hari pernikahanku saja. Berarti sudah lima tahun tidak saling bertemu.

Kini terasa begitu menyesal karena tidak menuruti dan mendengarkan mereka. Tetapi semuanya terlambat. Aku benar-benar malu jika harus menghubungi Mami secara tiba-tiba. Lebih baik derita rumah tangga ini aku jalani sendiri, tanggung sendiri. Toh, sudah menjadi resiko atas keputusan yang diambil.

Aku tidak menyangka akan memiliki stok air mata sebanyak ini. Kedua mata sudah sangat perih dibuatnya. Akan tetapi, belum mereda juga. Ditambah sekarang, dua makhluk laknat itu tengah asyik liburan di Bali dengan modal uang dariku.

***

Kubuka mata pelan. Kedip-kedip karena silau oleh cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melalui jendela. Kuberingsut dari ranjang. Saat kaki menapaki lantai, dua netra menangkap sosok pantulan diri di cermin. Wajah pucat, rambut awut-awutan, kelopak mata bengkak serta tatapan layu. Nyaris seperti orang yang depresi.

Segera kutanggalkan baju dan masuk kamar mandi. Di bawah guyuran sower kukembali terisak. Akan tetapi, ini akan menjadi isakan yang terakhir. Kuharap segala nestapa dan kepedihan tergerus habis oleh air yang mengaliri tubuh.

Setengah jam berlalu. Kini sudah berada di depan cermin. Merias diri ala kadarnya seperti biasa. Polesan lipstik ombre membuat bibir sensualku tampak segar. Kusapukan sedikit blush on merah muda ke tulang pipi. Dua sudut bibir terangkat menerbitkan senyum untuk pagi ini.

Keputusan sudah bulat. Kurasa tak perlu penjelasan darinya. Aku tak mau hati ini goyah apa lagi luluh. Kemudian akan kudepak ia saat pulang. Mengusirnya tanpa satu pun barang yang ikut serta. Sebab semua yang ada di rumah ini milikku termasuk baju-baju mahalnya di lemari.

Masih ada sehari sebelum lelaki itu pulang. Hari ini aku akan menyiapkan dokumen untuk menggugat cerai. Surat nikah asli, KTP, KK serta fotokopian-nya telah dikumpulkan dalam satu map. Sekarang aku harus ke kelurahan terlebih dahulu untuk membuat surat keterangan.

Baju terusan yang kukenakan hari ini berwarna coklat tua. Tentu tas yang akan kutengteng warnanya harus matching. Kubuka lemari tempat menyimpan koleksi tas branded. Akan tetapi, tas warna coklat susu yang kucari tidak ada di tempatnya.

Tas itu memang sudah lama tidak kupakai. Tetapi, kuyakin selalu menyimpannya di sini. berulang kali mataku menyapu deretan tas. Siapa tahu mataku melewatkannya.

“Ah, kemana, sih? Kok, enggak ada.”

Kubuka-buka lemari lainnya. Mungkin saja salah simpan. Tak kunjung aku temukan juga. Kini hanya lemari baju Hans satu-satunya harapanku. Semoga tas itu ada di sana. Sayang sekali kalau sampai hilang. Itu tas, harganya cukup fantastis meski modelnya sangat sederhana. Justru karenya aku jatuh cinta saat pertama kali melihat.

Kus***k-s***k deretan kemeja Hans yang tergantung. Kubidik setiap sudut dalam lemari. Apa yang kucari masih tidak ketemu.

“Dimana, sih? Aneh banget. Apa si Hans menjualnya? Atau si Meti mencurinya sebelum kabur?” Aku mendumbel sendiri. “Arghh!”

Saking kesal kuobrak-abrik saja isian lemari Hans. Baju-bajunya kutarik dari gantungan hingga berantakan.

Guprakk! Hanger yang terbuat dari kayu berjatuhan. Kupungut kasar beberapa dan melemparnya ke dalam lemari.

Seketia ada bunyi terdengar Bipp.

Aku melangkah lebih dekat ke dalam lemari berukuran tiga meter persegi yang hampir menyentuh langit-langit kamar. Lemari bergaya klasik ini, dulu Hans pesan khusus dari toko furniture sahabatnya.

Kutelusuri bunyi yang tidak sengaja keluar akibat lemparan hanger. “Dari mana ya, asalnya? Bunyi apa, sih?”

Di dalam lemari tidak ada apa-apa. Tetapi, aku yakin barusan tidak salah dengar. Walau bunyi itu pelan, pendengaranku masih cukup normal untuk menjangkaunya.

Kuambil lagi tiga hanger kayu, kulempar ulang persis seperti sebelumnya.

Bipp! Kulempar ulang lagi dan lagi.

Bunyi yang sama keluar. Kuperhatikan lekat-lekat dinding lemari dalam yang menjadi sasaran lemparan. Karena penasaran, iseng kuraba-raba permukaan yang tampak rata dengan sedikit menekan.

Terjadilah sesuatu. Sungguh di luar dugaan sampai tubuhku terlonjak mundur.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 75 Cinta Sejati

    Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 74 Masalah Daffa

    Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 73 Anugerah

    Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 72 Keputusan

    Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 71 Rencana

    POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 70 Mendung

    Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status