Aku hanya membalas dengan anggukan."Emang, ya, Hera itu orangnya enggak jelas. Tertutup. Hanya Pak RT yang sering ketangkap basah bolak balik ke rumahnya. Secara Pak RT itu duda," terang salah satu tetangga."Tahun depan, kita ganti saja RT-nya," seru tukang warung."Iya, pasti ada apa-apanya," sahut si ibu tambun.Karena tidak terbiasa bergosip, kupingku berasa panas saat mendengar gunjingan mereka. Menyimak sebentar saja, bahuku diam-diam bergidik. Buru-buru kuselesaikan proses transaksi beli telurnya."Jadi berapa, Bu?""Dua puluh lima ribu, Neng."Kusodorkan uang selembar Soekarno-Hatta. Setelah mendapat kembalian aku lekas meninggalkan warung."Mari semua," pamitku."Iya, silahkan, Mbak."Sehabis dari warung aku langsung menuju dapur. Kuambil wajan dan menuangkan minyak goreng seperti yang biasa Hans lakukan."Telur ceplok sajalah yang gampang." Aku bergumam sendiri.Satu telur kupecahkan ke atas penggorengan dengan hati-hati. Eh, ya Allah, lupa kompornya belum dinyalakan. Karen
"Mas, apa-apaan ini? Jelaskan!""Ayang, maaf!" Dia menggenggam tanganku. Kutepis kasar. "Dea bukan adikmu 'kan?" Mata ini menyelidik tajam. "Bukan adik kandung," akunya lesu. "Sudah kuduga," sinisku. "Maksudnya?" "Lekas kemasi barangmu! Angkat kaki dari rumahku sekarang juga! Satu lagi, jangan bawa mobil yang telah kubelikan untukmu!" Murkaku langsung tersulut. Meski tungkai terasa lunglai, tetap berusaha berpijak dengan kepalan tangan. "Ayang, ada apa? Kenapa kamu mengusirku?""Masih bertanya? Tidak tahu malu!" Urat-urat leher terasa mau putus saja. "Yang, sungguh aku tak paham.""Kamu ada main gila 'kan dengan Dea? Tega kamu, Mas!" Tubuh yang gemetar kini luruh ke lantai. Begitu pun dengan tangis yang pecah. "Astaghfirullah, Yang. Pikiran apa yang telah merasukimu?" Hans mendekat dan hendak meraih kedua bahuku yang terguncang hebat. "Jangan sentuh aku! Jijik!""Yang, kumohon, kenapa kamu berpikiran aku serendah itu?"Aku terus menangis, air mata tumpah ruah seolah tak akan
Gerak cepat aku memasuki ruang rahasia yang tampak seperti gudang itu. Ada pintu terkunci menuju ruang lain. Kuyakin di ruang tersebut akan mendapatkan jawaban. Jika kubuka paksa, pintu pasti rusak dan meninggalkan jejak. Bagaimanapun harus menemukan kuncinya.Kulihat sekeliling ruangan. Mencari keberadaan kunci pintu. Ada sebuah nakas tua dengan laci-laci. Lekas kuperiksa. Bibir menyunggingkan senyuman, tatkala mata menangkap apa yang kucari di salah satu laci. Terasa begitu Tuhan memberi kemudahan agar aku mengetahui kebenaran.Klik, kunci kuputar dan handle ditekan. Berhasil! Lha, jadi ini sebuah kamar juga? Kuedarkan pandangan ke ruang yang didominasi warna merah dan sangat rapi. Kesadaranku tersentak saat melihat tas yang kukira hilang ternyata ada di sini. Kudekati lemari kaca di mana tas bertengger. "Benar. Ini tasku." Aku berseru setelah memastikan. Selanjutnya meja rias mencuri perhatian. Dari make up yang berjejer, sudah pasti ini kamar perempuan. Jadi si Hans pelihara gu
Kutitipkan mobil yang biasa aku pakai di salah satu tetangga. Tentu saja mereka tidak keberatan, karena aku membayar. Bukan hanya itu, aku temui Ceu Lia dan kawan-kawan yang sering bergosip di warung. Mereka akan kuajak menonton sebuah pertunjukan gratis. Diam-diam, Kukembali ke rumah. Bersembunyi di kamar tamu yang Hans jarang mendatanginya. Cukup lama juga menunggu kepulangan dia. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba setelah satu jam. Terdengar derap langkah kaki memasuki rumah.Aku mengintai dengan degup jantung yang tak karuan. Apalagi ketika Hans tampak tak sabar memasuki kamar. Untunglah dia tidak mengunci pintunya, jadi aku bisa leluasa masuk. Biipp ... Bahkan dia langsung menuju si gundik--bekas pembantuku melalui jalur rahasia itu. Pertempuran pasti akan segera dimulai sesuai janjinya tadi.[Ceu, cepat! Tapi pelan-pelan, ya! Jangan sampai gaduh.] Kulayangkan chat dan langsung centang biru. Rupanya Ceu Lia dkk. sudah standby.[Ok, Mbak Bos.] Balasnya.Hanya menunggu lima
"Bang, kamu berani menamparku?" Meti meradang."Ma-maaf, Sweety!" sesalnya."Apa, Sweety?" Geli sekali rasanya aku mendengar panggilan si Hans kepada gundiknya."Eh, maksudnya Meti," jelasnya sambil nyengir.Tiba-tiba Hera dan Pak Rt menerobos kamar."Ada apa ini ribut-ri--" tanya Hera menggantung saat melihat keberadaanku, ceu Lia dan kawan-kawan."Oh, jadi di rumah ini kalian doble date, doble zina gitu?" sinis Ceu Lia."Diam kamu, Ceu! Kalian semua yang masuk tanpa izin akan saya persulit jika butuh sesuatu menyangkut ke-RTan," gertak Pak Rt."Haha ... jabatan Rt aja belagu! Ada juga Pak Rt yang akan kami lengserkan," teman Ceu Lia gertak balik."Iya. Kami tak sudi punya Rt model begitu," imbuh teman yang lain.Keributan tidak bisa dihindari lagi. Semuanya beradu mulut bahkan saling dorong. Kalau saja tidak melihat perut si Hera yang besar, sudah kubejek-bejek juga dia."Kalian semua akan saya laporkan ke polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan," cetus Hera tidak tahu malu
"Yang, kamu belum tidur?" Hans menghampiriku di kamar depan.Ya, semenjak kejadian hari itu, aku tidak pernah lagi memasuki kamarku sendiri. Mengingat kalau ranjangku sudah pernah dipakai duo laknat berzina. Aku juga sudah menutup permanen pintu ke ruang rahasia itu. Rumah ini pun sudah kuniatkan akan dijual segera."Apa kamu tidak pernah mencintaiku?" pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja dari bibirku."Tentu saja cinta. Ya, aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Seluas samudera, sedalam lautan. Sungguh-sungguh cinta. Kamu wanita paling berarti, paling berharga bagiku," cerocos Hans membual.Kalau dulu, mungkin hidungku kembung kempis saat mendengarnya. Tetapi sekarang, aku mendengarnya seperti sebuah olok-olokan. Muak!"Aishh!" Aku mendesis sebal. Namun, Hans sama sekali tidak peka. "Ekhm, Yank, sudah lama kita enggak bercinta. Aku tidak bisa menahannya lagi," tuturnya sambil menelan saliva. "Aku kangen. Kamu juga sama 'kan? Ayo, seperti biasa aku akan memuaskanmu," sambung Hans.
Aku sejenak menahan Hans pergi."Kamu lupa, ya? Itu baju yang kamu pakai, aku yang belikan." Dengan angkuh kulipat kedua tangan di dad4."Ok. Nih!" Hans membuka, terus melemparnya asal."Celananya juga, aku yang beli." Aku semakin merendahkan."Ok. Nih!" Hans melemparkan lagi lebih kasar.Sekarang dia hanya memakai kolor dan bertel*njang d4da. Kemudian pergi ke gudang mencari baju-baju bekas yang ia beli dengan uangnya sendiri. Tidak lama ia keluar dengan baju lusuhnya masih tanpa celana."Kenapa? Enggak nemu celana?" sinisku."Iya. Aku lupa, kalau celananya dulu udah aku bagikan ke tetangga." Hans ketus."Ya, sudah. Go!" usirku."Aku pinjam dulu, ya! Celana yang tadi. Nanti pasti aku balikkin." Hans berubah mengemis."Enak saja. Itu juga kolor, aku yang beli. Jadi sudah untung tidak kuminta!" sentakku."Astaga! Masa aku keluar rumah hanya memakai kolor. Kan malu.""Tanggung! Kelakuanmulah yang lebih jauh memalukan.""Ok. Aku tidak akan pernah ngemis sama wanita sombong sepertimu," pu
Aku memang menyewa jasa seorang mata-mata untuk mengawasi segala tindak tanduk Hans. Tujuannya hanya untuk memastikan hidupnya susah. Akan kupastikan tidak satu pun perusahaan atau orang yang memperkerjakan dia. Aku ingin hidupnya terlunta-lunta seperti gembel.Namun, laporan yang kuterima hari ini sangat mengejutkan. Kupikir si Meti tidak akan mau menerima Hans, lelaki kere yang tak punya harta sepeser pun. Akan tetapi mereka malah hidup satu atap di sebuah kontrakan yang telah disewa si j*lang. Kudengar si Meti menjadi buruh cuci-setrika di daerah sana.Kupastikan, mereka tidak akan bertahan lama. Sebuah rumor segera ditabur. Aku tinggal menunggu hasilnya.Seminggu kemudian."Bu Bos, Hans dan Meti sudah terusir dari kontrakan," lapor mata-mataku."Good job!" Terus sekarang mereka tinggal dimana?""Mereka menginap di rumah temannya Meti.""Berapa lama mereka akan menginap?""Belum tahu, Bu Bos.""Terus selidiki!""Siap."***Sore hari aku hanya duduk sendiri di teras sambil menikmati