Cahaya matahari pagi menerobos jendela lantai dua rumah sakit, menghangatkan wajah Fadhil yang kuyu. Lelaki itu duduk bersandar di sebuah kursi sambil membaca Al-Quran, sesekali menatap pintu kaca tempat isterinya berada. Hatinya sedikit tenang. Dokter mengatakan masa kritis Sarah sudah lewat meski kini masih belum sadar seharusnya itu tidak akan lama.
“Allah pasti berikan yang terbaik, Sayang,” bisik Fadhil seolah tengah bicara di telinga istrinya.
Ketenangan tiba-tiba terusik oleh suara tangis ibu Sarah yang datang bersama bapaknya. Rupanya mereka langsung berangkat dari kampung halaman begitu Fadhil mengabari keadaan putri mereka semalam.
“Bapak. Ibu.” Fadhil menyalami dan mencium tangan mereka khidmad, tapi ibu menariknya dengan kasar.
“Apa yang kau lakukan pada anak ibu!?”
“Ibu ....”
Fadhil tak bisa berkata kata melihat kemarahan meluap di
Duduk kaku di antara kedua mertuanya yang menatap sengit sungguh menyiksa. Fadhil serasa menjadi terdakwa yang duduk di kursi pesakitan ruang sidang. Dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin bagi Fadhil membela diri dan mengatakan bahwa pada awalnya Sarahlah yang menginginkan dirinya berpoligami. Ketegangan melingkupi batin Fadhil terlebih saat suara bariton bapak memecah kesunyian.“Setelah bayinya lahir, kembalikan Sarah pada kami, Nak Fadhil!”Suara yang tenang itu bagai menggelegar di telinga lelaki yang kini telah goyah dalam berpijak.Tubuh Fadhil luruh bersimpuh dan memegang tangan bapak mertuanya. Wajah kuyu menjelaskan betapa gundah dan frustasi batinnya.“Maafkan saya, Pak. Sekarang Sarah belum sadar, tolong jangan membahas ini dulu. Tolonglah, Pak ....”Fadhil tak sanggup menahan tangisnya. Tak peduli apa tanggapan orang tentang lelaki yang cengeng. Namun
Fadhil berjalan keluar rumah sakit dengan linglung mencapai jalan raya. Memorinya berisi banyak hal berdesakan hilang timbul membuatnya mengernyit sakit karena berusaha focus. Dia meninggalkan mobilnya di rumah sakit dan pulang dengan taksi. Pikirannya yang tengah kalut tidak memungkinkan untuk menyetir. Berbahaya.Bayangan wajah Sarah menari di pelupuk mata. Begitu pun perjalanan pernikahannya dengan wanita yang akan memberinya 3 anak itu. Perempuan yang selalu kuat dan tegar menghadapi sikap kekanakan suami, lebih banyak memberi dari pada meminta, bekerja keras dalam membantu ekonomi keluarga, juga rajin mengingatkan agar suaminya lebih baik dan lebih baik lagi menjalankan kewajiban sebagai suami dan ayah.Dia rela diajak berjuang sejak awal pernikahan, saat keluarga kecilnya belum memiliki apa-apa tapi tidak pernah menuntut lebih saat suami mulai berjaya. Kenyataan ini membuat dadanya berdenyut sakit me
Rumah asri di sebuah perkampungan padat penduduk itu tampak ramai oleh celoteh anak usia TK hingga SD. Mereka duduk melingkar mengerubungi seorang wanita cantik berkerudung biru panjang menjuntai membingkai wajah oval berkulit terang. Dia adalah Laras guru mengaji di lingkungan tempat tinggalnya.Sore itu Zubaidah berkunjung ke rumah Laras. Sambil menunggu adiknya itu selesai dalam memberikan bimbingan dirinya membaur bersama beberapa orang anak yang sedang duduk memainkan karet gelang.“Tante mau ikut main?” tanya seorang anak perempuan lucu berwajah bulat.“Memang boleh?” Zubaidah balik bertanya.Wajah itu mengedarkan pandangan pada temantemannya yang lain seolah meminta persetujuan. Zubaidah menapilkan wajah memelas yang membuat mereka mengangguk berbarengan. Zubaidah tertawa karena merasa konyol. Beban di hatinya teralihkan sepenuhnya saat ini berkat kepolosan mereka. Anga
Rumah asri di sebuah perkampungan padat penduduk itu tampak ramai oleh celoteh anak usia TK hingga SD. Mereka duduk melingkar mengerubungi seorang wanita cantik berkerudung biru panjang menjuntai membingkai wajah oval berkulit terang. Dia adalah Laras guru mengaji di lingkungan tempat tinggalnya.Sore itu Zubaidah berkunjung ke rumah Laras. Sambil menunggu adiknya itu selesai dalam memberikan bimbingan dirinya membaur bersama beberapa orang anak yang sedang duduk memainkan karet gelang.“Tante mau ikut main?” tanya seorang anak perempuan lucu berwajah bulat.“Memang boleh?” Zubaidah balik bertanya.Wajah itu mengedarkan pandangan pada temantemannya yang lain seolah meminta persetujuan. Zubaidah menapilkan wajah memelas yang membuat mereka mengangguk berbarengan. Zubaidah tertawa karena merasa konyol. Beban di hatinya teralihkan sepenuhnya saat ini berkat kepolosan mereka. Anga
Dalam perjalanan Fadhil masih terbayang wajah kesal pura kecilnya. Ada sedikit rasa menyesal tidak mengabulkan keinginannya untuk ikut menjenguk Sang Bunda. Batin lelaki yang kali ini tampil sedikit berantakan itu saling berdebat membenarkan tindakan. Satu sisi mengatakan sebaiknya anak anak tidak mendekati rumah sakit karena banyak virus takut tertular. Namun sisi lain menyangkalnya. “Mungkin saja Sarah akan senang bertemu Habbil,” gumamnya. Sarah sangat menyayangi anak dan mereka juga sangat dekat dengan ibunya. Sarah sangat pandai mengambil hati dan menjadikan dirinya teman curhat yang asyik. Gelak tawa ceria mereka berdengung di telinga. Mengingat semuanya Fadhil tersenyum getir. Rasa bersalah kembali menguasai, sadar semua kekacauan ini karena kebodohannya sebagai suami dan ayah. Keluarga yang begitu sempurna terkoyak hanya oleh sifat kikir dan arogannya selama ini. Memalukan! Menyeti
Seperti angin Fadhil melarikan mobilnya dengan kencang. Jeritan klakson kembali bersahutan memperingatkannya tapi dihiraukan. Petugas keamanan kantor di pintu masuk bahkan tersentak mendapati sebuah mobil yang nyelonong masuk tanpa memelankan laju apalagi klakson kecil sebagai ganti sapaan seperti biasa. Petugas itu berlari mendekat untuk bertanya. Barangkali ada sesuatu yang darurat hingga pemilik mobil yang dikenalnya bertindak tidak wajar. Sayangnya begitu turun Fadhil justru menghiraukannya dan bergegas masuk dengan kepala menunduk memperhatikan langkah kaki seolah takut tersandung. “Kenapa dengan Pak Fadhil?” gumam lelaki berseragam biru dengan pentungan tergantung di pinggang itu bingung. Sampai di ruang kerjanya pun Fadhil hanya perlu duduk dan menyalakan computer di meja kerja tanpa sedikit berbasa basi dengan rekan seruangan seperti biasa. Jelas keadaannya juga sikap yang janggal memancing perhatian. Anton
Perjalanan Jawa-Jakarta memakan waktu kurang dari 8jam naik kereta api. Sarah sengaja memilih transportasi ini untuk menyamankan diri. Meski kandungannya sudah cukup kuat di usia 3 bulan, dirinya tidak memilih bus demi rasa lebih aman saat harus berganti tranportasi di stasiun kereta tujuan ke rumahnya. Sarah juga enggan meminta jemput suaminya karena ada sesuatu yang hendak dilakukan sebelum bertemu Fadhil. Wanita berkimar panjang berwarna gading itu sungguh ingin tahu apakah suami dan madunya juga seperti orangorang pada umumnya? Setiap pagi bercengkerama bersama di hadapan teko yang mengepulkan asap dan sepiring kue khas favorite dua jagoan yang teramat dia rindukan? Oh tdak! Batinnya menolak percaya. “Kenapa aku jadi terus terusan berburuk sangka?” Sarah menepuk dahi merasa frustasi. Ransel di punggung terasa lebih berat dari pertama disandang kemarin. Perjalanannya menguras energy meski dirinya ber
~//~ FlasfbackRuang keluarga bernuansa klasik dengan banyak kayu berukir khas Jepara di setiap sudut ruang menjadi saksi kehangatan keluarga Sarah. Pak Wiryo Adi dan Bu Sukamti hanya memiliki dua anak yang semua perempuan. Anak pertama, Salma dibawa ke luar Jawa oleh suaminya setelah menikah dan sangat jarang pulang atau berkunjung setelah menetap di sana. Wajar jika Sarah sangat disayang dan dijaga serta diusahakan kebahagiaannya.Nasihat terus diberikan oleh dua orang yang sangat menyayanginya seperti gerimis yang bertabur lembut di luar sana. Hatinya pun jadi terenyuh hingga mengeratkan pelukan dibahu Sang Bapak.“Jangan main-main sama perasaan, Nduk. Hati manusia gampang terbujuk rayu syetan oleh hal-hal duniawi.”Tiba tiba perasaan Sarah menjadi takut. Benarkah suaminya seperti yang bapaknya umpamakan? Tekadnya semakin bulat untuk segera pulang dan membuktikan sendiri bagaimana kirakira kelanjuta