Sarah menyadari perubahan sikap Fadhil. Kalau dulu suaminya cenderung padanya, kini sebaliknya. Fadhil kerap berlaku curang pada jatah kunjungan padanya. Lebih sering tidur di kamar anak dengan dalih kangen atau di depan tv sambil nonton bola kesukaan dan tertidur hingga pagi. Sarah tak punya waktu untuk merayunya pindah ke kamar karena kesibukan siang hari sudah menyita tenaganya hingga tertidur lelap saat menemukan bantal di ranjangnya.
“Sibuk.” Begitu alasan yang di dapat saat Sarah minta penjelasan.
“Kau, kan juga sibuk sama anak-anak, nanti kecapekan kalau aku sering pulang ke rumahmu dan minta jatah lebih,” katanya sambil tersenyum tengil menutupi kesalahannya.
Sarah ingin membantah dan mengingatkan kembali agar suami berlaku adil. Namun Sarah memilih diam. Percuma mengajak diskusi suami yang pasti akan berakhir dengan naiknya temperamen masing masing. Pembagian waktu bergilir antara Zubaidah dan Sarah tidak sehat lagi. Sarah berinisiatif mengingatkan madunya.
‘Mbak, tolong ingatkan Mas Fadhil biar adil membagi waktu bergilir kita. Sesuai yang kita sepakati dulu.’
Tulisan Sarah melalui pesan singkat hanya dibaca. Centak berubah biru begitu terkirim yang artinya sudah dibuka. Tak ada jawaban dari Zubaidah, Sarah tidak memaksa. Perhatian Sarah lebih pada anak-anaknya daripada ribut soal gilir kunjungan suami.
“Terserah!” sungut Sarah sembari meletakkan ponsel di nakas dan mematikan lampu di samping ranjang.
Zubaidah mencari cara agar suaminya tetap memilih lebih banyak di sampingnya. Memberikan servis terbaik sebagai seorang istri dan memanjakan suami dengan apa pun yang di milikinya termasuk uang. Fadhil punya kelemahan tersendiri akan lembaran uang. Masalah utama dalam pernikahan pertamanya.
“Bang … kita daftar umroh, yuk,” ajak Zubaidah sambil bergelayut manja di leher sang suami. Mereka tinggal hanya berdua saja hingga memungkinkan bebas bermesraan pun bercinta di sudut mana saja dalam rumah tanpa khawatir orang lain melihatnya.
“Sabar ya. Abang belum ada dana lebih untuk itu,” kata Fadhil sambil meraih dagu istrinya. Mengecup bibir sekilas lalu kembali focus pada layar kotak di depannya.
“Pakai uang Baidah, Bang. Kita pakai berdua buat hadiah karena abang sudah begitu banyak kasih Baidah kebahagiaan,” katanya sambil memainkan jemari di dada sang suami. Entah dari mana wanita itu belajar hingga sekarang pandai membuat Fadhil terbakar.
Layar tv besar di ruang keluarga tak lagi menjadi perhatian meski tetap menyala dengan suara cukup kencang. Mereka berdua justru sibuk sendiri dengan tarian purba yang memabukkan serta desahan hangat.
Zubaidah berhasil mengajak Fadhil mendaftarkan diri menjalankan ibadah umroh bersama. Fadhil menjadi sibuk mengurus ini itu sehubungan rencana keberangkatan mereka ke tanah suci. Zubaidah lebih banyak menguasai Fadhil, bahkan Fadhil lupa di mana menyimpan kunci rumah Sarah.
Sarah tidak punya banyak waktu untuk terus memikirkan masalah giliran. Kepentingan anak-anak adalah utama baginya. Sarah memburu Fadhil tatkala biaya sekolah terlantar dan membengkak. Memintanya datang ke suatu tempat yang pasti bukan di rumah Zubaidah.
“Terserah bagaimana kau mengatur waktumu, Mas, tapi laksanakan kewajibanmu dalam pembiayaan pendidikan anak- anak!” Sarah bicara tegas sambil membulatkan mata.
Harapan bisa bicara dari hati ke hati bersama suami pupus sudah. Entah mengapa, madunya mengikuti Fadhil menemuinya kali ini. Kehadiran Zubaidah di antara mereka membuat emosinya mengembang naik. Sarah tidak mau terlihat lemah. Diusahakannya untuk tetap setenang mungkin di hadapan madunya itu.
Sarah merasa kalah. Uang adalah kelemahan suaminya. Sesuatu yang tak bisa dirinya berikan. Bagi Sarah hak dan kewajiban haruslah jelas hingga masing masing tak harus saling mendzalimi hanya karena memiliki uang lebih. Uang lebih seorang istri bukanlah hal yang bisa membatalkan kewajiban suami untuk menafkahi keluarga.
Sarah tetap berusaha setegar karang. Cukup bantal di kamar nanti yang menjadi saksi kepedihan hati. Kelemahannya akan kebutuhan keuangan membuat Zubaidah merasa di atas angin. Senyumnya kini tak lagi polos seperti saat mereka pertama bertemu. Membut Sarah tiba tiba merasa mual.
“Apa Sarah masih mencintaimu, Mas? dia mencari cuma untuk uang.” Zubaidah mencoba mengaduk perasaan Fadhil. Sang suami hanya mengangkat bahu dan beranjak meninggalkannya.
Fadhil sudah terbiasa dituntut segala biaya. Dia sadar Sarah hanya mengingatkan kewajibannya. Sejak dulu Fadhil tidak pernah terganggu bahkan menikmati rengekan istrinya itu saat meminta sesuatu. Memang diakui dirinya senang kalau tak ada tuntutan keuangan dari istri. Entahlah...
Zubaidah memiliki segalanya. Jangankan merengek, meminta pun tidak pernah. Bahkan Fadhil tidak pernah bisa bilang tidak untuk segala yang dilakukan Zubaidah untuknya. Itu membuat Fadhil sedikit tidak nyaman, karena seolah-olah dirinya yang bergantung pada istri, kini.
~
Jadwal keberangkatan Fadhil dan Zubaidah telah dekat. Zubaidah mengundang tetangga dan kerabat untuk mohon doa restu agar perjalanan lancar dan kembali selamat serta menjadi pribadi yang lebih baik di hadapan Illah.
Sesuai perjajian, Sarah tidak pernah hadir dalam acara mereka. Ketika harinya tiba, mereka berdua diantar kerabat yang menangis haru. Rebana mengiringi langkah Fadhil dan Zubaidah memasuki kendaraan yang membawanya.
Menjelang keberangkatan di bandara Fadhil tiba-tiba merasa takut. Takut tak bisa kembali dengan selamat ketanah air. Pulang ke pangkuan Tuhan di tanah suci menjadi dambaan sebagian ummat. Hanya saja bagi Fadhil, ada banyak hal belum terselesaikan terutama oleh hatinya.
Bayangan seraut wajah menghantuinya. Dia mengingat Sarah. Segera saja diambil ponsel dan mencoba menghubungi sederet nomor. Tersambung. Suara salam dari seberang sana membuat dada Fadhil menghangat. Dia menyadari tengah merindukan pemiliknya.
~
“Kelak, kalau biaya sekolah anak-anak menipis, kita nabung untuk ke tanah suci, ya...,” kata Fadhil kala itu.
“Kalau baru cukup untuk satu, berangkatlah dulu! Aku akan tetap dipanggil Bu Haji.” Fadhil menggelengkan kepala untuk menepis bayangan tawa Sarah yang berderai.
“Mas!” Fadhil tergagap. Diujung sana, Sarah menunggunya bicara.
“Sarah, aku di bandara. Kau tahu kan? Kami berangkat ke tanah suci hari ini. Sarah do’akan aku ya... maafkan salah suamimu ini agar kembali dengan selamat.”
“Tentu. Jangan minta maaf! Beribadahlah yang khusuk dan berdoa yang terbaik. Doa di sana biasanya diijabah oleh-Nya. Do’a kan Sarah ya, Mas. Sarah ikut bahagia untukmu.” Fadhil menutup telephone setelah salam. Ekor matanya menangkap Zubaidah melambai dari jauh pertanda rombongan akan segera memasuki pesawat.
“Ah, Sarah. Kemana kemarahanmu yang kemarin?” Gumam fadhil sambil bergegas.
~
Kelelahan setelah perjalanan panjang dengan rentetan pengalaman spiritual terbayar sudah. Kembali membawa hati yang lebih damai dalam kepasrahan pada yang kuasa serta rasa taqwa yang bertambah membuat Fadhil dan Zubaidah sangat bersyukur.
“Alhamdulillah” senyum mereka merekah.
Setelah beberapa hari beristirahat Zubaidah kembali mengundang kerabat dan tetangga. Berdo’a dan berucap syukur bersama dilanjutkan makan-makan dan pembagian oleh-oleh membuat suasana semarak. Hingga malam acara telah usai, masih saja beberapa tamu betah berlama-lama mendengarkan Zubaidah berkisah tentang menakjubkannya kota Mekkah juga Baitullah. Fadhil yang mulai jenuh menyelinap keluar. Zubaidah yang menangkap bayangan suaminya pergi, menahan diri untuk tidak mencegahnya karena masih ada para tamu. Zubaidah tahu kamana Fadhil bisa pergi larut malam begitu.
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap