Fadhil melangkah pelan-pelan menuju rumah Sarah. Ia menyusupkan tangan ke saku celana. Udara malam mebuatnya merasa sejuk. Sampai depan pagar dirinya tertegun. Suasana sangat sepi. Tak seorang pun terlihat di luar rumah. Hari memang sudah larut.
“Ah, iya, kuncinya. Aku lupa di mana menyimpannya.” Fadhil hanya bisa terpaku menatap rumah.
Pandangannya menyapu ke seluruh bagian di area depan rumahnya. Bangunan yang menjadi saksi perjuangannya bersama Sarah. Saat dirinya hanyalah pegawai lapangan dengan gaji mingguan yang sangat minim untuk mencukupin kebutuhan keluarga, Istrinya masih bisa menyisihkan untuk ditabung sampai terbeli sebuah rumah sederhana yang bangunannya telah rusak di sana sini.
“Kita bangun rumah ini dengan keringat dan akrab sama lapar demi satu sak semen.” Fadhil menyentuk ujung matanya yang basah.
Baru disadari rumah itu lebih asri dari sebelumnya. Tanaman bunga tumbuh subur menjuntai dari teras lantai dua. Rumahnya yang semula beratap terbuka menjadi sangat tertutup dan angkuh. Fadhil tahu, Sarah sengaja menutup bagian rumah yang terbuka juga menutup diri demi menghindari gunjingan tetangga.
Tetangga mengenal baik Zubaidah juga Sarah, hingga tumbuh berbagai persepsi tentang rumah tangga mereka. Sarah tidak mau selalu menjelaskan berbagai hal yang tak henti membuat mereka penasaran. Tak selalu hal baik. Seringkali mereka mengorek segala kekurangan Sarah untuk mencari alasan, mengapa suaminya mendua. Itu semua beban yang tidak ringan baginya. Fadhil menyadari penuh hal itu.
“Begitu banyak yang harus kau tanggung, Sayang.” Fadhil mengela napas panjang. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Jika kata seandainya ada gunanya.
Fadhil berbalik dan melangkah bermaksud kembali, ketika sebuah pantulan cahaya berkilat dari balkon. Fadhil menajamkan mata. Sebuah layar yang berkedip, batinnya bersorak.
Sarah suka menulis di sela kesibukan. Hobi yang telah menerbitkan beberapa buku. Karya nyata yang tidak penah mendapat dukungannya. Fadhil tak suka diabaikan karena Sarah akan melupakan segalanya kalau jemarinya sudah menari dia atas keybort. Ketika mengikuti event dan terbentur deadline, Sarah memburunnya di balkon rumah.
Biasanya selain menghindari gangguan Fadhil , udara segar dan beberapa buah tomat yang dipetik dari pot di atas sana membuat mata Sarah kembali terjaga dari kantuk. Tentu saja bersama mug besar beisi kopi hitam juga disanding.
Fadhil cepat mengambil ponsel dari saku menekannya mengetik beberapa kata. Cemas menunggu karena takut wanita diatas sana tak menyadari pesan yang masuk.
Beberapa saat kemudian senyumnya merekah ketika bayangan Sarah melesat turun. Tak lama pintu terbuka. Fadhil memburu dan memeluk tubuh mungil Sarah dengan erat begitu pintu kembali menutup.
“Selamat datang Pak Haji.” Seloroh Sarah yang menuai sentil di hidungnya.
“Mas, masih saja melakukan itu. Aku bukan anak kecil.” Suara Sarah yang manja membuat Fadhil enggan melepas pelukannya.
“Kami, kan cuma umroh.”
“Aamiin, kan saja.” Mereka tergelak bersama sambil melangkah menuju ke kamar.
“Sssstt … nanti anak anak terbangun,” kata Sarah sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
Seperti hari-hari lalu mereka yang tanpa beban seolah lupa akan segala permasalahan dan perdebatan yang meruncing belakangan ini. Mereka berbaring berdua diatas pembaringan dengan tangan saling menggenggam, Fadhil dan Sarah, hangat dalam pikiran masing-masing.
“Sarah...”
“Hmmm...”
“Aku lelah... memiliki dua istri bukanlah hal indah indah saja seperti bayangan para lelaki yang sangat mengidamkannya. Beban batinnya melebihi apa yang di sebut indah. Aku mulai merasa tertekan.” Sarah mempererat genggaman tangannya.
“Mas Fadhil... bagaimanapun kami cuma dua orang wanita yang kau miliki. Jadilah kuat. Berusahalah adil. Jangan terganggu oleh tuntutan kewajiban. Jangan juga terlena manja dengan harta. Itu cobaan berat, harta bisa menjelma jadi syetan.” Sarah bicara sambil memanyunkan bibir teringat lagi akan kekesalan pada sang suami yang kini justru gemas melihatnya.
Fadhil memburu wajah istrinya demi mendapatkan bibir mungil yang terus bergerak. Sarah hapal tingkah suami yang tak suka karena merasa tersindir, berusaha menghindar. Hal itu justru membuat sumi istri ini menikmati kebersamaan dalam canda canda manis.
Penampilan Sarah jadi berantakan. Sang suami justru merapikannya dengan melepas hingga menjadi polos. Sarah hanya bisa pasrah menerima serangan suami. Menjadikan semua sebagai ibadah dalam mahligai mereka .
“Sarah, biar kau minta ribuan kali bagaimana aku bisa melepasmu kalau kau begitu membuatku merasa lebih baik dan lebih baik lagi saat sama kamu?” Fadhil bicara sambil merapikan anak rambut istrinya di dahi yang basah oleh keringat selepas aktifitas mereka.
“Sarah tidak benar-benar menginginkannya, Mas. Itu karena aku marah dan cemburu.” Wanita itu menyusupkan wajah pada bantal menghindari tangan Fadhil.
“Kau yang mengawali semua ini, kan?”
“Dan, Mas menerimanya tanpa berpikir itu bisa menyakitiku.” Tatapan mereka bertemu dan saling mengunci.
“Kita sama sama salah. Takdir sudah bicara jadi mari jalani dengan sabar.” Fadhil mengngguk.
“Tidurlah sudah malam. Atau kau akan menyelesaikan tulisanmu?”
“Sudah selesai, Mas.”
Bib! Bib! Suara ponsel bergetar membuat keduanya terdiam. Nama Zubaidah menari-nari di layar kecil milik Fadhil.
“Apa, Mas tak pamit? Mungkin dia khawatir. Terima saja tak apa apa.”
“Dia telah mengambil jatahmu terlalu banyak, biarkan bersabar sedikit,” kata Fadhil sambil menjauhkan ponsel yang tetap bergetar dan berbunyi. Bib! Bib!
Fadhil kembali merengkuh istrinya dan membawanya berbaring. Mejamkan mata meski tahu Sarah tak melepas tatapan padanya sebelum ikut menyerah dan terlelap dalam pelukan suaminya.
~
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap